News

Tudingan Pimpinan KPK Sengaja Merusak Upaya Pemberantasan Korupsi Ada Benarnya, BW Ungkap Ini  

Tudingan Pimpinan KPK Sengaja Merusak Upaya Pemberantasan Korupsi Ada Benarnya, BW Ungkap Ini  
Ilustrasi gedung KPK (AKURAT.CO)

AKURAT.CO, Tudingan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sengaja mendelegitimasi kehormatan dan mendekonsturksi kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi betul-betul mengusik Bambang Widjojanto.

Melalui tulisan cukup panjang, mantan komisioner KPK yang biasa disapa BW itu memberikan pandangannya terkait tudingan tersebut.

Dalam tulisannya, BW menyebut tiga soal yang berkaitan satu dan lainnya yang dapat menyimpulkan tudingan pimpinan KPK saat ini memang sengaja mendelegitimasi kehormatan lembaga dan mendekonstruksi kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi. 

baca juga:

"Kesatu, mundurnya Fitroh Rohcahyanto, Direktur Penuntutan KPK karena diduga musababnya pemaksaan; kedua, 'jebloknya' capaian angka CPI Indonesia yang setback sekitar 10 tahunan; serta ketiga, merebaknya syakwasangka yang berujung pada indikasi kuat pelanggaran UU KPK, paska pengiriman surat 'cinta' yang ditujukan pada Ketua KPK," kata BW dalam tulisan berjudul 'Pemberantasan Korupsi Telah Dikorupsi?' dikutip Akurat.co di Jakarta, Senin (6/2/2023). 

Fitroh mengundurkan diri belum lima tahun dari jabatan direktur penuntutan. Kendati tidak mau menjelaskan secara langsung tapi Fitroh terus menegakkan integritasnya. Katanya, dia mundur dengan tidak tersenyum namun menegakan kepala saat kembali ke kejaksaan sebagai institusi asalnya.

BW pun menyingggung merebak informasi di media yang sangat kuat, bahwa Fitroh diduga menolak skenario Ketua KPK dalam kasus Formula E.

"Berpijak dari informasi itu maka dapat diduga, ada upaya pemaksaan untuk meningkatkan status tahapan penyidikan dalam kasus formula E dan kemudian menetapkan Anis Baswedan sebagai tersangka dan inilah kriminalisasi," kata BW.

Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam kasus mundurnya Fitroh. Pertama, sinyalemen berupa percakapan berkaitan dengan kasus Formula E yang diduga dikemukakan salah satu pimpinan KPK, "..jika nggak setuju maka silahkan keluar dari grup…". Frasa kata 'silahkan keluar, menurutnya, punya konotasi sebagai bentuk ancaman dan hal itu juga bisa disebut sebagai kekerasan verbal.

"Untuk itu perlu dipertanyakan, bukankah hal ini sebagai pelanggaran atas tiga dari lima asas KPK, yaitu: akuntabilitas, kepastian hukum dan kepentingan umum," katanya.

Kemudian, BW menyinggung pengakuan Menko Polhukam Mahfud MD yang bertanya ke KPK mengapa ribut au panggil Anies. Mengutip jawaban KPK, Mahfuf menyatakan 'Pak kami ini serba susah. Setiap kami mempersoalkan dana Formula E dan sebagainya lalu dituduh mempolitisi Anies, padahal ndak urusan ini dengan Anies, ini temuan BPK".

"Pernyataan ini jelas bohong dan politisasi. Bohong karena tidak ada temuan BPK yang menegaskan adanya suatu perbuatan melawan hukum dalam peyelenggaraan Formula E. Bisa jadi malah KPK sendiri yang dapat dituding sedang “bermain politik” dan diperkuat oleh Mahfud yang menyebutkan adanya politisasi," ulas BW.

Dikatakan Dosen Pasca Sarjana UNIDA ini, bila tiga hal pertama dikaitkan dengan pernyataan Mahfud MD maka dapat dikonstruksi sebuah kenyataan, bahwa sebagian Pimpinan KPK berupaya memaksakan kepentingannya untuk mentersangkakan Anies sehingga menyebabkan salah satunya, Direktur Penuntutan KPK mengundurkan diri.

Kemudian, KPK memolitisir fakta pemaksaan itu dengan seolah-olah sedang menghadapi situasi serba susah karena dituduh mempolitisir kasus formula E.

Berikutnya, Menko Mahfud MD menambah tekanan politisasi dengan menegaskan, apa yang dilakukan KPK bukan politisasi atau kriminalisasi tetapi penegakan hukum. Tapi justru pernyataan itulan bentuk politisasi dan kriminalisasi.

"Apakah dapat dikualifikasi penegakan hukum jika dilakukan dengan memaksakan suatu kasus yang tidak ada casenya karena tidak ada buktinya? Apa maksudnya ekspose ke BPK sehingga memicu “pertengkaran” di BPK antara Pimpinan KPK dengan Deputi Penindakan dan Direktur Penyidikan.

Bukankan ini suatu upaya pemaksaan untuk “menjebak” BPK agar melanggar hukum? Apa maksudnya, Deputi dan direktur di didewaskan paska pertikaian internal di BPK. Bukankah jawaban atas kesemua pertanyaan di atas adalah bentuk politisasi yang berbungkus kriminalisasi," tanya BW.

Fakta lain yang tak bisa disangkal, kinerja pimpinan KPK sangat buruk  dan memalukan bila dikaitkan dengan nilai Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2022. Menurut BW, KPK harus ikut bertanggungjawab dan menjadi salah satu pihak yang dapat dipersoalkan atas defisit dan merosot tajamnya nilai capaian CPI Indonesia yang hanya 34 dari skor 38 pada tahun 2021.

"Ini kali pertama, angka penilaian CPI merosot empat poin dan angka 34 itu di bawah nilai CPI di awal satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi di tahun 2015 yang mencapai 36. CPI Indonesia tahun 2022 adalah jeblok, bukan sekedar merosot.

"Yang paling megerikan bila capaian di atas ditelisik lebih dalam lagi. Indonesia menjadi negara yang sangat beresiko bagi investasi dari sisi politik, keuangan dan ekonomi. Pada indikator PRS (Political Risk Service) International Country Risk Guide (ICRG), ada penurunan 13 poin dari angka 48 menjadi 35," tambahnya.

Selain itu, BW juga menyinggung soal gaya kepemimpinan Firli Bahuri yang di dalam berita dituding komisioner KPK lainnya, Nawawi Pomolango, cenderung one man show. Dalam kalimat langsung disebutkan "Pak Firli aja yang tahu apa janji yang dibisikin ke tersangka." Pernyataan itu muncul setelah Ketua KPK mendapatkan “surat cinta” yang bersifat pribadi dari Lukas Enembe, tersangka korupsi, yang menagih “janjinya”.

BW menegaskan tidak pernah terjadi dalam proses penegakan hukum selama ini, Ketua KPK memberikan janji kepada tersangka secara “privat”.

Tudingan Nawawi, dalam hemat BW, adalah fakta yang terkonfirmasi. Oleh karena itu, Ketua KPK tidak hanya melanggar prinsip kolegialitas tapi juga sekaligus terbukti telah melakukan pelanggaran pidana.

Pasal 36 huruf a juncto Pasal 65 UU KPK secara tegas menyatakan Pimpinan KPK tidak boleh melakukan hubungan langsung atau tidak dengan tersangka dengan alasan apapun dan jika dilanggar dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

"Nampaknya, enough is enough, upaya pemberantasan korupsi dan marwah KPK di periode saat ini kian kritis dan tengah berkalang tanah. Hanya akal budi dan nurani yang dapat digunakan untuk menjaga kewarasan pemberantasan korupsi dan marwah KPK.

Wujud dari akal budi dan nurani adalah meminta Ketua KPK untuk mundur dari jabatannya sebagai Pimpinan KPK karena inilah salah satu upaya untuk meninggikan kewarasan," kata BW.[]