Rahmah

Hukum Salat Di Atas Kendaraan Saat Berpergian

Hukum Salat Di Atas Kendaraan Saat Berpergian
Ilustrasi salat (freepik.com)

AKURAT.CO Salat lima waktu merupakan salah satu kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam dan tidak boleh ditinggalkan. Walaupun dihadang dengan kesibukan yang dari berbagai aktivitas, tetapi Ibadah salat ini harus tetap dilakukan tanpa terkecuali, meski saat perjalanan jauh atau sedang mudik ke luar kota.

Untuk menekuni pekerjaan atau pergi ke luar kota, sebagian orang memilih kendaraan transportasi umum seperti kereta api, bus, kapal, dan pesawat. Angkutan umum menjadi pilihan banyak orang karena selain harganya relatif murah, sarana ini juga mudah dijangkau bagi yang ingin bepergian jauh. 

Ketika saat perjalanan jauh dan sedang berada di kendaraan, tentu saja ini menjadi penghalang untuk melakukan salat, terlebih lagi tidak akan berhenti sama sekali atau tidak ada tempat untuk menepi sama sekali untuk menjalankan salat wajib kita. Dari hal ini salat tetap bisa dilaksanakan meski di dalam kendaraan sekalipun.

baca juga:

Namun, beberapa masalah muncul, terutama mengenai waktu salat. Banyak penumpang yang masih bingung dengan teknik melakukan salat yang benar pada kendaraan tersebut. Kebanyakan dari mereka melakukan ini dengan duduk dan menggerakkan tubuh mereka, seolah-olah mereka sedang memindahkan rukun yang mereka lakukan. Bahkan ada orang yang berdiri untuk salat tepat di tengah-tengah bus, kereta api atau pesawat, sekalipun itu jalan umum yang dilalui penumpang. 

Selain melakukan dari kedua cara salat tersebut, tidak jarang juga menemui penumpang untuk lebih memilih untuk mengqada salat itu di rumah atau ketika sudah sampai tujuan mereka masing–masing, menurut mereka bahwa salat di atas kendaraan cukup ribet dan tidak praktis.

Lalu bagaimana yang tepat salat di atas kendaraan saat berpergian?

Dalam Islam, salat merupakan ibadah serta kewajiban bagi seorang mukallaf yang tidak dapat gugur selama akalnya masih dianggap normal. Sebagaimana hal ini sudah diungkapkan oleh pakar fikih ternama asal Suriah yaitu Syekh Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam ensiklopedi fikihnya:

“Dan kewajiban salat ini tidak bisa gugur dari seorang mukallaf selama akalnya masih berfungsi, sebab ia masih mampu untuk berniat dengan hatinya, disertai memberikan isyarat dengan anggota tubuh atau selainnya. Juga karena keumuman dalil wajibnya salat.” (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh)

Dalam literatur fikih dijelaskan bahwa teknik salat dalam kendaraan adalah pelaksanaan rukun dan syarat salat yang sempurna, seperti menghadap kiblat, rukuk, sujud dan lain-lain bila memungkinkan dan mampu. Namun, jika tidak mampu melakukannya, maka dapat memenuhi rukun dan syarat salat sebanyak yang kita bisa, bahkan dengan gerakan isyarat dalam rangka salat li hurmatil waqti (salat dalam kerangka kepatuhan waktu). Ketetapan ini selaras dengan pernyataan mazhab Syafi’i Imam An-Nawawi:

“Ashab Syafi’i berkata, apabila waktu pelaksanaan salat fardu telah tiba sedangkan musafir dalam kondisi perjalanan, dan khawatir bila turun untuk salat dengan menghadap kiblat tertinggal oleh rombongannya, khawatir terhadap keselamatan​​​​​ dirinya atau hartanya, maka dia tidak diperkenankan meninggalkan salat dan mengeluarkan salat dari waktunya. Bahkan, ia harus melaksanakan salat di atas kendaraan li hurmatil waqti (dalam rangka menghormati waktu), dan wajib baginya untuk i’adah (mengulang kembali salatnya) karena termasuk kategori uzur yang jarang terjadi.” (Syarafuddin Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab).

dari hal ini juga pernah ditulis oleh Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Kaff dalam kitabnya At-Taqriratus Sadidah:

“Apabila seseorang melaksanakan salat di atas perahu, kereta api, begitu pula di atas tandu dan​​​​​​ kasur yang berada di atas hewan kendaraan dan sebagainya, maka ia wajib menyempurnakan rukuk dan sujudnya apabila mudah untuk dilakukan, dan wajib baginya untuk menghadap kiblat dalam seluruh salatnya apabila mudah dilakukan. Apabila tidak, maka tidak wajib. Sama halnya dengan kasus di atas ialah salat dalam pesawat terbang, maka boleh dan sah melakukan salat sunah. Adapun salat fardhu yang hanya bisa dilakukan di tengah perjalanan jauh, dengan gambaran tidak mampu melakukan salat sebelum lepas landas pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing) secara tepat waktu, meski dengan cara jama’ taqdim atau jama’ ta’khir, maka dalam keadaan tersebut ia wajib melakukan salat untuk menghormati waktu dengan tetap menghadap kiblat. Dalam hal ini, terdapat dua kondisi: 

  1. Apabila ia salat dengan menyempurnakan rukuk dan sujud, maka dalam hukum mengulangi salatnya terdapat perbedaan pendapat, dikarenakan pesawat tidak berpijak di atas bumi. Menurut pendapat mu’tamad ia wajib mengqadha' salatnya.
  2. Apabila ia salat dengan tidak menyempurnakan rukuk maupun sujudnya, atau tidak menghadap kiblat namun menyempurnakan rukunnya, maka ia wajib untuk mengqadha' salatnya tanpa ada perbedaan pendapat.” (Hasan bin Ahmad Al-Kaff, At-Taqriratus Sadidah fil Masailil Mufidah)

Demikian berikut di atas adalah, salat di atas kendaraan saat berpergian. kesimpulannya teknis pelaksanaan salat di atas kendaraan saat dalam bepergian ialah dengan melaksanakan rukun dan syarat salat secara sempurna, seperti menghadap kiblat, ruku’, sujud dan lain-lain apabila mampu serta mungkin dilakukan. Namun, jika tidak mampu serta tidak mungkin dilakukan, maka ia diperkenankan untuk melaksanakan rukun dan syarat salat semampunya meskipun hanya dengan isyarat, dalam rangka salat li hurmatil wakti (salat dalam rangka menghormati waktu). []