News

RUU Perampasan Aset Momok Politisi

RUU Perampasan Aset Momok Politisi
Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai keengganan DPR membahas RUU Perampasan Aset jadi bukti politisi tidak memihak rakyat. (Akurat.co/Muslimin)

AKURAT.CO Tak kunjung disahkannya RUU Perampasan Aset yang diyakini menjadi alat ampuh memiskinkan koruptor sekaligus memberikan efek jera, terjawab sudah.

Pernyataan Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, dalam rapat dengar pendapat umum bersama Ketua Komite TPPU, Mahfud MD, pada Rabu (29/3/2023), menjadi jawabnya.

"Lobi jangan di sini pak," kata Bambang Pacul menjawab pertanyaan Mahfud yang meminta agar DPR segera membahas RUU Perampasan Aset.

baca juga:

"Ini 'korea-korea' (anggota Komisi III) di sini nurut bosnya (ketum partai) masing-masing pak," selorohnya yang disambut tawa peserta rapat.

Pernyataan Bambang membuktikan RUU Perampasan tidak populer bagi politisi. Silakan saja mendorong RUU yang sudah sejak periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diusulkan ke DPR untuk dibahas, asalkan telah mengomunikasikannya terlebih dulu kepada para ketua umum partai.

RUU Perampasan Aset diketahui sudah masuk dalam Prolegnas 2023 namun hingga kini belum dibahas. Pernyataan Bambang Pacul, yang secara implisit menunjukkan adanya keengganan legislator untuk memproses RUU tersebut, seolah mengonfirmasi kekhawatiran politisi yang tak mau penegakan hukum bergerak progresif dan potensi mengganggu kepentingan mereka. Singkatnya, RUU Perampasan Aset menjadi momok politisi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, keengganan DPR menjadi bukti nyata politisi tidak berpihak pada rakyat namun kepada oligarki. Padahal, mereka dipilih rakyat selaku pemegang mandat tertinggi namun ketika sudah terpilih malah manut pada ketum partai, bukan kepada kepentingan negara.

Sikap DPR yang merespons adanya transaksi tak wajar dengan mewacanakan pembentukan pansus atau mengajukan hak angket juga menandakan parlemen memilih menjadi tembok penghalang bagi proses hukum. Padahal, pernyataan Mahfud yang meminta dukungan RUU Perampasan Aset untuk mengungkap transaksi tak wajar secara tak langsung mengajak DPR berkontribusi dalam merampas aset hasil kejahatan.

"Lebih baik Komisi III DPR memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan aset dibanding mewacanakan pansus atau angket," katanya di Jakarta, Sabtu (1/4/2023).

Indonesia sepatutnya memiliki UU Perampasan Aset mengikuti Konvensi Antikorupsi PBB Tahun 2003 yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam rapat bersama Komisi III, Mahfud mengungkapkan urgensi RUU Perampasan Aset ini.

"Tolong, kami sudah mengusulkan sejak tahun 2020 dan sudah disetujui di Baleg (Badan Legislasi), terus tiba-tiba keluar lagi," kata Mahfud di Komisi III.

Dia menjelaskan, dengan adanya UU Perampasan Aset, penegak hukum akan mudah merampas aset-aset hasil kejahatan yang kerap kali disamarkan. UU Perampasan Aset menjadi alat pamungkas menjangkau hasil kejahatan yang disembunyikan lantaran UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) belum cukup memadai.

Sikap DPR yang mewacanakan pembentukan pansus dan angket turut membuktikan pula parlemen tidak mendukung upaya pengusutan transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Mahfud yang juga Menko Polhukam sudah memastikan tak ada perbedaan data dengan Kemenkeu terkait agregat transaksi mencurigakan yang terindikasi pidana pencucian uang.

Pengamat politik Ujang Komarudin turut mengkritisi langkah DPR yang memilih untuk meributkan hal-hal remeh, bukan turut berkontribusi membongkar adanya transaksi mencurigakan. Mendukung RUU Perampasan Aset tidak mau, mendorong pengusutan transaksi mencurigakan juga enggan. Artinya, tak ada kemauan politik kuat untuk mendukung pengungkapan atau khawatir boroknya ikut terungkap.

"DPR bukannya mendukung penegakan hukum malah begitu, tidak bergerak," keluhnya.