
AKURAT.CO Petani tembakau mati di tangan penguasa. Lewat RUU Kesehatan di beberapa pasal yang terkesan tendensius dan diboncengi oleh kepentingan perang bisnis antara industri farmasi vs industri rokok.
Perang dagang antara industri rokok asing vs industri rokok nasional. Bahkan di level yang lebih rumit, diam-diam ada kompetisi yang tidak sehat sesama industri rokok putih, kretek dalam negeri, dan pedagang obat.
Di balik perang dagang yang berlapis-lapis motif dan kepentingan politik ekonomi tersebut, tentu ada lapisan paling bawah yang paling dirugikan. Mereka adalah petani.
baca juga:
Tentu juga jutaan buruh pabrik, dan semua wong cilik yang nasibnya bergantung pada mata rantai perekonomian produk tembakau.
Gajah berkelahi lawan gajah, yang mati semut. Negara tidak menjadi wasit yang adil dalam perang dagang, tapi memihak kepentingan pemodal. Pemodal yang dibela adalah pemodal yang hendak menghabisi kedaulatan industri rokok nasional.
Negara lupa atau sengaja membiarkan jutaan petani dan buruh yang terncam mati kalau regulasi dan seluruh norma hukum memojokkan, mendiskreditkan, menghambat dan mematikan industri rokok.
Negara mau menerima cukai rokok yang jumlahnya jauh di atas pajak tambang, pajak migas dan lainnya. Tapi ketika rezim kesehatan global memerangi tembakau, negara ikut membuka ruang legislasi yang isinya pesanan pedagang obat.
Pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang memasukkan tembakau dalam kluster narkotika, psikotropika, ganja dan alkohol, jelas mengarah pada kriminalisasi barang legal.
Rokok dan tembakau itu legal, karena tidak ada satu pun norma yang melarang dan menyatakan ilegal. Tapi RUU Kesehatan, bahkan beberapa regulasi sudah memperlakukan seperti barang haram.
Sebaliknya, narkotika dan barang haram lainnya yang jelas diharamkan negara dan agama, diperlakukan seolah-olah seperti barang legal.
Ini RUU Kesehatan yang tendensius, diam-diam membawa misi bisnis yang culas dan tidak nasionalis.
Sejak kapan, tembakau itu sama dan setara dengan ganja, pil koplo, dan alkohol?
Apakah pengusul atau inisiator pengusul RUU Kesehatan ini tidak melakukan riset ilmiah dari berbagai sudut pandang?
Apakah RUU ini tidak dilengkapi naskah akademik, hasil kajian yang obyektif dan bebas nilai, yang menjelaskan dengan terang dari sisi filosofis dan sosiologisnya?
Apakah hanya sisi yuridis yang dipaksakan oleh penguasa, tanpa melihat bagaimana sisi historis barang yang bernama kretek itu menjadi produk kebudayaan, bukan semata komoditas industri.
Ketika Haji Jamhari Kudus menemukan kretek sebagai karya adiluhung, warisan luhur budaya bangsa, yang meramu dan mengolah ciptaan Tuhan menjadi kebanggaan bangsa.
Mengapa RUU ini terkesan tergesa-gesa tanpa mendengarkan suara petani, suara butuh, masukan industri, terutama pelaku industri mikro dan menengah yang juga berperan dalam memajujan perekonomian nasional.
Kenapa RUU pertembakauan yang sudah berpuluh puluh tahun tidak jadi lolos di Senayan. Seharusnya RUU pertembakauan yang melindungi dan mengatur hulu-hilir, sampai dana bagi hasil cukai tembakau di sahkan untuk mengawal road map perindustrian nasional.
Dari sisi keuangan negara, mana yang lebih menguntungkan selain penerimaan cukai rokok. Investasi batu bara yang kotor dan berbahaya, tambang yang membunuh bangsa Indonesia, sawit yang meminggirkan petani miskin?
Tidak ada pilihan lain kecuali menunda pengesahan RUU Kesehatan sepanjang pasal-pasal tentang pengaturan tembakau.
RUU Kesehatan yang penyusunannya dengan metode omnibus law ini akan menjadi produk politik yang mengancam masa depan industri dan petani tembakau kalau dipaksakan untuk disahkan secara terburu-buru.[]