Achmad Fachrudin

Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia DKI
News

Redesain Pilkada di Tengah Covid-19

Redesain Pilkada di Tengah Covid-19
Pemungutan Suara Ulang di TPS 13, Kelurahan Dwi Kora, Medan Helvetia, Kota Medan, Sumatera Utara (AKURAT.CO/Muhlis)

AKURAT.CO, Menghadapi Pilkada Serentak di tengah pagebluk Covid-19, KPU dan pemerintah pusat sudah mengajukan sejumlah jurus. Dari mulai keputusan penundaan jadwal pemungutan suara hingga penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2020 tentang Pilkada pada 4 Mei 2020. Hanya saja jurus atau opsi yang ditawarkan masih terlalu prosedural dan tidak menukik tajam menyelesaikan akar problem. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah redesain Pilkada secara radikal.

Redesain Pilkada dimaknai sebagai aktivitas pengubahan, pembaharuan atau rekonstruksi dengan berpatokan dari wujud desain lama lalu diubah menjadi baru yang lebih positif dan kemajuan. Redesain Pilkada 2020 dibutuhkan dengan tujuan untuk mengatasi kebuntuan ikhtiar dalam mensiasati Covid-19 yang belum berkepastian kapan berakhir, memelihara kesinambungan sirkulasi elit politik dan birokrasi lokal, akomodasi partai politik dan kandidat pada kontestasi politik di Pilkada.

Kotak Katik Jadwal

Sejauh ini, tidak muncul keberanian untuk mengatasi kebuntuan penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi Covid-19. Penyebabnya, seluruh energi dan pemikiran semua pihak terkuras untuk mengatasi Covid-19 dengan cara yang didesain oleh pemerintah. Penyebab lain adanya kekuatiran bertabrakan dengan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota—jika menempuh terobosan pemikiran.

baca juga:

Andaikata muncul pemikiran alternatif, terlalu prosedural dan berkutat seputar kotak-katik jadwal. Padahal manakala pandemi Covid-19 terus berlangsung dan apalagi dibayangi dengan kemungkinan munculnya kebangkitan Covid-19 jilid kedua, kotak-kotik jadwal Pilkada, tidak akan menyelesaikan problem yang ada. Penyelenggaraan Pilkada tetap dibayangi ketidakpastian.

Meski demikian, bukan berarti tidak muncul pemikiran alternatif sama sekali. Ada. Salah satunya berasal dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menawarkan pemikiran Pilkada asimetris. Tito mengusulkan Pilkada asimetris berangkat dari pengalaman Pilkada selama ini yang tidak memiliki dampak yang baik serta memunculkan masalah baru.

Dalam penerapannya, Pilkada asimetris dilakukan dengan dua syarat. Yakni: bagi daerah yang tingkat kedewasaan dan politiknya tinggi diterapkan Pilkada langsung. Sedangkan pada daerah yang tingkat kedewasaannya rendah, diterapkan Pilkada tidak langsung. Gagasan tersebut tak pelak menimbulkan pro dan kontra. PDI Perjuangan diantara yang menerima. Sedangkan PPP dikabarkan menolak, tentu dengan argumen masing-masing.

Pemikiran Tito ini sebenarnya cukup cerdas dan berusaha mengatasi problem dengan mendasar. Sayang, pemikiran seperti ini tidak marketable. Sementara Tito sendiri tidak berusaha ngotot untuk meneruskan dan meyakinkan koleganya di DPR atau di partai politik agar mempertimbangkan secara seksama gagasan tersebut. Akibatnya, pemikiran Tito berhenti sekadar wacana.

Pilkada Campuran

Dalam redesain Pilkada yang digagas, nantinya hanya ada tiga kegiatan utama yang bisa dipertahankan. Yakni: pertama, pelibataan KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan dan mengawasi seluruh tahapan Pilkada. Kedua, kegiatan pencalonan, kampanye, baik kampanye dalam bentuk sosialisasi, tatap muka atau debat terbuka. Ketiga, kegiatan pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan secara tidak langsung (melalui DPRD). Jika redesain Pilkada dilaksanakan, Pilkada Serentak tetap bisa dilaksanakan di tengah Covid-19.

Apakah redesain semacam ini inkonstitusional dan tidak demokratis? Jika mengacu kepada UUD 1945, tidak mengatur secara eksplisit sistem Pilkada langsung atau tidak langsung. Yang diatur pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana tertera pada hasil amandemen UUD 1945 tahun 2001 Bab III Pasal 6 a yang menyebutkan “Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.

Selanjutnya pada amandemen keempat UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (4) terkait dengan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Provinsi, Bupati dan Walikota tidak digunakan kalimat ‘Pemilihan Langsung’, melainkan menggunakan kalimat ‘dipilih secara demokratis’.

Ini artinya Pemilihan gubernur, bupati atau walikota secara tidak langsung, bisa dimaknai dengan dipilih secara demokratis. Atau sama derajatnya dengan Pemilihan secara langsung. Bahkan pemilihan model kerajaan di Jogyakarta, sepanjang hal tersebut menjadi kehendak dan konsensus rakyat Jogyakarta yang memiliki sejarah panjang, bisa dikatakan konstitusional dan demokratis. Jika tidak demikian, tentu sistem monarki Jawa di Jogyakarta sudah dihapus.

Pilwagub DKI

Jangan lupa, Pilkada campuran antara langsung dengan tidak langsung pernah diterapkan saat Pemilihan Wakil Gubernur (Pilwagub) DKI Jakarta oleh DPRD DKI pada 6 April 2020 yang dimenangkan politisi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. Acuan hukumnya adalah UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UU Pasal 176 ayat (1) dan ayat (2).

Seperti diketahui, pada Pilkada DKI 2017, diterapkan dua sistem. Yakni: langsung dengan tidak langsung. Secara langsung ketika Pilkada DKI 2017 yang akhirnya mengantarkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI. Namun ketika Sandiaga mengundurkan diri karena mengikuti Pilpres 2019, proses pergantiannya dilakukan melalui Pemilihan secara tidak langsung (DPRD DKI).

Ini artinya kedua sistem Pilkada tersebut dikategorikan demokratis. Jika tidak demokratis, tidak mungkin UU No. 10 tahun 2016 mengamanatkan sistem Pilwagub DKI secara tidak langsung. Diatas itu semua, jika sistem Pilwagub DKI dianggap cacad hukum, mestinya pihak yang kalah dalam Pilwagub DKI menggugat secara hukum. Nyatanya hal tersebut tidak terjadi.

Jika dikalkulasi dari sisi penyelenggaraan, hampir bisa dipastikan Pilkada campuran lebih mudah dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu. Pun demikian bagi partai politik, kandidat dan tim sukses akan lebih mudah fokus dengan puncak kontetasi Pilkada, yakni: pada kegiatan pemungutan dan penghitungan suara.

Apalagi dari sisi anggaran, dipastikan akan jauh lebih hemat. Karena akan mampu memangkas secara signifikan banyak tahapan dan sumber daya manusia. Sebagai informasi, ketika digelar Pilwagub DKI tidak langsung, menurut Wakil Ketua DPR DKI M. Taufik, kegiatan pemungutan suara hanya membutuhkan dana sekitar Rp 5 juta. Yang jelas dengan Pilkada campuran, anggarannya akan jauh lebih efisien dan kecil.

Legitimasi Politik

Jika dipersoalkan legitimasi politik, otentisitas dan kredibilitas kepemimpinan, setiap desain atau sistem Pemilihan terdapat plus minusnya. Dalam pengalaman nyata selama ini, tidak selalu ada korelasi langsung, positif atau negatif antara sistem Pemilihan dengan legitimasi kepemimpinan yang dilahirkan.

Di masa Orde Baru dengan sistem Pilkada tidak langsung, banyak kepala daerah memiliki legitimasi kuat. Sebaliknya di era reformasi, terutama setelah Pilkada dilakukan secara langsung, banyak kepala daerah mengalami krisis legitimasi. Bahkan setelah terpilih melalui Pilkada langsung, banyak kepala daerah terlibat korupsi dan dicokok KPK.

Dalam situasi Covid-19 saat ini, sebenarnya rakyat tidak terlalu membutuhkan Pilkada yang tahapannya demikian rumit, panjang dan melelahkan. Saat ini rakyat lebih mendambakan hadirnya pemimpin yang mampu mengatasi problem sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak Covid-19 secara cepat dan tepat.

Lagi pula, adanya tahapan Pilkada yang panjang dan banyak, apalagi sampai digelar kampanye terbuka serta kegiatan pemungutan dan penghitungan suara di tengah masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), terlalu besar resikonya. Terkecuali jika Covid-19 sudah lenyap. Kondisi obyektifnya saat ini Cavid-19 masih penuh ketidakpastian. Terlebih penangkal virus corona belum juga ditemukan hingga saat ini.

Tentang potensi kerawanan politik uang, semua sistem Pilkada memiliki kelebihan dan kekurangan, serta memiliki peluang sama. Hanya saja bedanya: jika Pilkada langsung potensi politik uang akan banyak digelontorkan untuk memengaruhi dan ‘membeli’ suara pemilih. Apalagi dalam situasi sekarang ini dimana dampak Covid-19 terhadap tinggi dan massifnya kemiskinan dan kemelaratan, Pilkada langsung akan berubah menjadi arena politik uang.

Sedangkan pada Pilkada tidak langsung, potensi politik uang ketika kandidat membeli/memborong tiket dari partai politik dan ‘membeli’ suara anggota DPRD. Jadi bedanya, hal tersebut hanya sebuah pilihan desain/sistem, konsekwensi dan kemungkinan yang ditimbulkan.

Meski demikian secara teknis, pencegehan dan penegakan hukum terhadap potensi atau praktik politik uang, jauh lebih mudah dilakukan bilamana pemungutan suara dilakukan secara tidak langsung (oleh DPRD) daripada langsung. Institusi yang melaksanakan tugas tersebut adalah Pengawas Pemilu. Bukan DPRD DKI sebagaimana terjadi pada Pilwagub DKI. Sebab itu artinya sama saja “jeruk makan jeruk”.

Transisional

Redesain Pilkada merupakan keniscayaan di tengah pagebluk Covid-19 dan keharusan menjaga kontinuitas kepemimpinan lokal. Meski demikian, untuk melakukan redesian Pilkada harus sebelumnya dengan DPR/pimpinan partai politik dan pemerintah, revisi UU No. 10 tahun 2016, atau menerbitkan Perppu terbaru. Sebab Perppu No. 2 Tahun 2020 lebih fokus pada soal jadwal. Tidak membahas soal desain Pilkada.

Padahal masalah pokoknya bukan pada soal kutak-katik jadwal, melainkan pada situasi kepastian kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Manakala tidak dilakukan pembongkaran desain Pilkada secara radikal, maka penyelenggaraan Pilkada juga akan terus mengalami ketidakpastian. Jikapun dipaksakan, proses dan hasilnya tidak maksimal dan rawan gugatan.

Masalahnya selama ini kita acapkali senang dengan sistem atau prosedur yang rumit dan kompleks. Andaikata merevisi atau mengoreksi, mengesankan tambal sulam dan parsial. Tidak jelas apakah hal ini ada kaitannya dengan kebiasaan senang dengan yang rumit dan tambal sulam. Atau dengan berprilaku demikian, karena ada kepentingan mendapatkan proyek, pekerjaan, uang atau honor?

Setelah pandemi Covid-19 berakhir dan kehidupan masyarakat kembali normal, perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap Pilkada yang sudah diredesain kearah mirip dengan Pilkada tidak langsung. Jika dianggap lebih berkualitas, silakan dilanjutkan. Jika dianggap tidak berkualitas, silakan pemerintah dan DPR berdialog untuk merumuskan kembali desain Pilkada yang paling compatible dengan kebutuhan konsolidasi demokrasi, kepemimpinan dan tata kelola pemerintahanyang efektif dan kepentingan bangsa Indonesia.