Rahmah

Ini Periodisasi Disyariatkannya Puasa Ramadan, Muslim Wajib Tahu!

Ini Periodisasi Disyariatkannya Puasa Ramadan, Muslim Wajib Tahu!
periodisasi pensyariatan puasa (https://id.pinterest.com/)

AKURAT.CO Ramadan merupakan bulan diwajibkannya berpuasa bagi setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat melalukannya. Puasa sendiri merupakan ibadah wajib yang termasuk ke dalam rukun Islam yang lima, yaitu rukun Islam keempat. Puasa merupakan ibadah yang di dalamnya diperintahkan untuk menahan hawa nafsu. Cara pelaksanaannya dengan menahan lapar dan minum serta hawa nafsu lainnya.

Perlu diketahui, kewajiban puasa ini tidak hanya ditunjukan kepada umat Nabi Muhammad. Namun, umat-umat terdahulu juga menerima kewajiban berpuasa. Kewajiban puasa tidak serta merta sempurna perintahnya. Sebagaimana ibadah lainnya yang disyariatkan secara bertahap, bukan secara langsung atau sekaligus diberikan dengan waktu dan tata caranya. Puncak dari kematangan syariat puasa terjadi di zaman Rasulullah.

Berikut Ini Periodisasi Pensyariatan Puasa Ramadan

Dilansir dari laman resmi NU Online, Rabu (29/03/23) berikut ini periodisasi dari pensyariatan puasa Ramadan:

baca juga:

  • Perintah Puasa Ayyamul Bidh dan Puasa ‘Asyura

Sebelum adanya perintah untuk melaksanakan puasa Ramadan, terlebih dahulu umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan puasa Ayyamul Bidh atau puasa tiga hari setiap bulan hijriah dan puasa ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram. Terlebih lagi puasa ‘Asyura yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah, sebagaimana riwayatkan dari Jabi bin Samurah:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah kami berpuasa ‘Asyura. Beliau pun mendorong kami dan meminta kesanggupan kami menunaikannya. Namun, ketika puasa Ramadhan difardhukan, beliau tak lagi memerintah kami, tidak lagi melarang kami, dan tidak lagi meminta kesanggupan kami.” (HR Muslim)

Kewajiban puasa Ramadan mulai diberlakukan semenjak turunnya ayat:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah 2: 183)

  • Keringan Bagi Yang Mampu Untuk Tidak Puasa

Di awal kewajiban puasa Ramadan, puasa Ramadan boleh tidak dikerjakan oleh orang-orang yang mampu berpuasa, asalkan menggantinya dengan membayar fidyah. Jadi dipermulaan kewajiban puasa Ramadan, siapa yang mau berpuasa, dapat menunaikannya dan jika tidak mau berpuasa, dapat diganti dengan fidyah.

Hal tersebut diberlakukan, karena bisa jadi masih banyak sahabat yang belum terbiasa berpuasa sehingga puasa memberatkan mereka. Ketentuan ini dijelaskan juga dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah:

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,51) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah 2: 184)

  • Keringan Bagi Yang Mampu Dihapus

Sebelumnya orang yang mampu berpuasa namun tidak melaksanakan kewajiban puasa hanya perlu membayar fidyah. Namun, pada periode selanjutnya, keringan tersebut dihapuskan oleh Allah. Jadi ketika orang yang mampu berpuasa tidak berpuasa, maka ia wajib untuk mengqadha atau mengganti puasa yang telah ditinggalkannya. Hal ini sebagaiman yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah 2: 185)

  • Keringanan Tidak Puasa Ramadan Dalam Dua Kondisi

Setelah sebelumnya terdapat keringan puasa bagi yang mampu dan telah dihapuskan keringan tersebut. Kemudian keringan untuk tidak berpuasa hanya berlaku dalam dua kondisi, yang pertama kondisi sakit. Karena jika b.erpuasa dikhawatirkan akan memperlambat proses penyembuhannya. Kondisi kedua adalah ketika seseorang sedang dalam perjalanan.

Namun, ketika orang tersebut telah melalui salah satu dari dua kondisi tersebut, maka diwajibkan untuk mengqadha atau mengganti puasanya. Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang telah disebutkan pada poin ketiga.

 

Periodisasi tersebut merupakan bentuk dari kasih sayang Allah kepada hambaNya. Dalam periodisasi tersebut juga memiliki hikmah di dalamnya. Selain periodisasi yang telah disebutkan di atas, ternyata masih ada periodisasi pensyariatan puasa Ramadan yang belum tidak dimasukan pada periodisasi di atas.

Berikut Ini Periodisasi Pensyariatan Puasa Ramadan Mengenai Waktunya

Di awal kewajiban berpuasa, pelaksanaannya tidak seperti saat ini, baik dari waktu, praktik, dan tata caranya. Dahulu  berbuka puasa atau diperbolehkan pada malam hari untuk makan dan minum serta hal-hal yang dilarang ketika berpuasa dengan ketentuan belum tidur dengan niat puasa esok hari dan salat Isya. Jadi ketika seseorang telah tidur atau sudah salat Isya di malam hari, maka hal-hal tersebut kembali dilarang di sisa malam hingga waktu magrib esok harinya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Al-Bara’ bin ‘Azib:

“Jika salah seorang sahabat berpuasa dan datang waktu berbuka, namun ia belum berbuka karena tidur, maka ia tidak lagi boleh makan dan minum pada malam itu hingga siang hari berikutnya dan berbuka di sore hari,” (HR Al-Bukhari)

Ternyata, ketentuan tersebut sangat memberatkan bagi para sahabat dan banyak dari mereka yang tidak dapat untuk menahan diri. Salah satunya yang disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Ka’b bin Malik dari ayahnya:

“Orang-orang di bulan Ramadhan, jika seseorang dari mereka berpuasa, kemudian di sore hari ia tidak sempat berbuka karena tidur, maka haram baginya makanan, minuman, dan bergaul dengan istri hingga berbuka esok harinya. Disebutkan, pada suatu malam, Sayyidina ‘Umar bin Al-Khattab berada di tempat Rasulullah SAW serta pulang ke rumah cukup malam dan mendapati istrinya sudah terlelap tidur. Rupanya saat itu, Sayyidina Umar ingin bergaul bersama istrinya. Namun, ditolak oleh istrinya, ‘Aku sudah tidur!’ Ia berkata, ‘Kau sudah tidur?’ Meski demikian, malam itu ia tetap bergaul dengan istrinya. Keesokan paginya, Sayyidina Umar kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kejadiannnya semalam. Allah kemudian menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 187.”(HR Abu Dawud)

Selain dari riwayat tersebut masih banyak kejadian-kejadian serupa yang diceritakan kepada Rasulullah dan menjadi sebab turunnya surah Al-Baqarah ayat 187. Dengan turunnya ayat tersebut, Allah meringankan ketentuan puasa bagi hambaNya agar tidak memberatkan. Hal ini menunjukan kelembutan dan kasih sayang Allah kepada HambaNya. Berikut ini terjemah dari surah Al-Baqarah ayat 187:

“Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS Al-Baqarah 2:187)

Wallahu ‘Alam. []