Ekonomi

Proyek Gasifikasi Batu bara Air Products Picu Perdebatan dalam Pembuatan Kebijakan di Indonesia

Proyek Gasifikasi Batu bara Air Products Picu Perdebatan dalam Pembuatan Kebijakan di Indonesia
Ilustrasi tambang batu bara (AKURAT.CO/Ryan)

AKURAT.CO Kesepakatan antara Air Products & Chemicals dengan pemerintah Indonesia untuk membuat proyek gasifikasi batu bara dikhawatirkan memicu konflik kebijakan, karena akan sulit memenuhi kepentingan-kepentingan bisnis pihak yang terlibat, menurut laporan dari the Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). 

Air Products, sebuah perusahaan gas industrial berbasis di AS, baru-baru ini menandatangani beberapa nota kesepahaman (MOU) tambahan yang dilaporkan senilai US$ 15 miliar untuk proyek gasifikasi batu bara di Indonesia. Dua dari pabrik gasifikasi tersebut akan digunakan untuk membuat dimethyl ether (DME) sebagai pengganti impor LPG. 

“ Banyak pernyataan optimis yang dibuat tentang rencana hilirisasi batu bara Air Products ini di Indonesia,” kata analis energi IEEFA Ghee Peh lewat keterangannya, Jumat (28/1/2022).

baca juga:

Namun demikian, ia melihat akan sulit bagi para pihak yang terlibat untuk dapat mewujudkan mimpi mereka secara bersamaan. Laporan ini difokuskan pada proyek senilai $2,1 miliar yang pernah diumumkan sebelumnya untuk membangun sebuah pabrik DME di Sumatera (yang menjadi subyek laporan IEEFA di November 2020).

Semua pihak yang terlibat di dalamnya  pemasok batu bara Tambang Batu bara Bukit Asam (PTBA), operator pabrik DME Air Product, dan off-taker DME Pertamina akan sangat sulit untuk dapat mencapai tujuan bisnis mereka di waktu yang bersamaan.

Untuk mencapai ambisi tersebut, skenario yang dibutuhkan adalah adanya pengurangan risiko stranded asset tambang PTBA, terjadinya pengembalian investasi yang rendah risiko untuk membayar kembali pabrik DME yang dibangun oleh Air Products, serta keuntungan dari penjualan DME bagi Pertamina.Business model yang biasa dijalankan Air Products adalah dengan sebisa mungkin mengurangi risiko harga komoditas, sehingga memastikan terjadinya pengembalian investasi secara efektif.

Proyek DME dengan PTBA dengan model bisnis berisiko rendah ini dirasa sulit untuk diterapkan, sehingga konflik kepentingan tersebut akan diteruskan kepada off-taker, Pertamina. Bila proyek tersebut disertai dengan harga jual DME yang lebih tinggi berarti subsidi pemerintah akan diperlukan oleh Pertamina, supaya DME dapat dijual dengan harga yang terjangkau untuk konsumen rumah tangga Indonesia.

Ketidaklayakan ekonomi dari proyek-proyek yang diusulkan ini semakin diperumit dengan sulitnya menghitung harga DME, karena harga batu bara, LPG dan minyak cenderung bergerak beriringan ke arah yang sama.

“Selama 20 tahun terakhir, harga DME hanya lebih murah dari LPG selama 15 bulan, atau sekitar 6 persen dalam rentang waktu  tersebut, jika kita berbicara perbandingan ‘apple to apple’ kata Peh.