
AKURAT.CO, Ekonom senior Rizal Ramli berpandangan apabila penyelenggaraan pemilihan Presiden (Pilpres) yang ada di Indonesia saat ini tidak merepresentasikan penguatan sistem presidensial.
Pernyataan itu dijawab Rizal Ramli lantaran menanggapi pertanyaan dari seorang pengguna akun twitter bernama Wahyu. Dalam cuitan tersebut, Wahyu bertanya, apakah hasil pemilu legislatif 2019 dapat dipakai kembali untuk mengusung Capres-Cawapres pemilu 2024.
Menurut Rizal Ramli, jika ingin sistem presidential kuat, maka pencalonan Pilpres tidak perlu berbasis Pileg. Bahkan Pilpres seharusnya digelar lebih dahulu ketimbang Pileg.
baca juga:
"Kalau mau ikut sistem Presidential pilih Presiden dulu, baru tiga bulan kemudiaan pilih anggota DPR dan DPR," kata Rizal dikutip dari akun Twitter @RamliRizal pada Kamis, (3/2/2022).
Klo mau ikut sistem Presidential pilih Presiden dulu, baru 3 bulan kemudiaan pilih anggota DPR dan DPR. Effek coat-tail akan buat sistim presidential kuat. Petugas KPU juga tidak stress & overwerk,sehingga tidak perlu ratusan meninggal https://t.co/vJqMNGA5Mg
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) February 3, 2022
Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu menyebut, hanya efek coat-tail yang akan membuat sistem presidential kuat.
"Petugas KPU juga tidak stress dan overwerk,sehingga tidak perlu ratusan meninggal," ungkapnya.
Diketahui, penggugat presidential threshold agar menjadi 0 persen atau dihapus terus berdatangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Terbaru, empat orang ikut menggugat peraturan tersebut sehingga total menjadi 48 orang. Berdasarkan permohonan yang dilansir website MK, Senin (31/1/2022), empat pemohon baru itu adalah Adang Suhardjo, Marwan Batubara, Ali Ridhok, dan Benne Akbar Fatah.
Menurut Adang Suhardjo dkk, aturan presidential threshold merupakan upaya terselubung, bahkan terang-terangan, dari partai-partai besar untuk menghilangkan pesaing atau penantang dalam pemilihan presiden.
Oleh karena itu, dia menilai penting bagi MK untuk menghapus ketentuan atau syarat presidential threshold.
"Menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan Adang Suhardjo dkk.[]