
AKURAT.CO, Akses pendidikan berkualitas masih menjadi persoalan yang persisten di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan masih banyak anak-anak Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan dan wilayah luar pulau Jawa, belum mendapatkan hak dasar tersebut karena kesenjangan atau ketidakmerataan akses.
"Masalah ini perlu diatasi melalui pendekatan sistemik dengan memahami beragam persoalan yang dihadapi anak-anak miskin dalam mengakses pendidikan agar solusinya bisa dirumuskan secara tepat," kata Direktur Eksekutif Asa Dewantara, Dr. Abdul Malik Gismar melalui pesan elektronik yang diterima Akurat.co di Jakarta, Senin 30 Januari 2023.
Asa Dewantara, lembaga independen nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, melakukan kajian terhadap beragam persoalan pendidikan yang dihadapi anak-anak miskin. Kajian dilakukan pada akhir tahun 2022 dengan mengolah dan menganalisis laporan survey nasional, yakni Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2021, Potensi Desa Tahun 2021, Neraca Pendidikan Daerah Tahun 2021 dan laporan lainnya.
baca juga:
Malik menyatakan, jika dilihat dari katagori status ekonomi, tingkat pendidikan tertinggi yang bisa ditamatkan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas di kelompok "Paling Miskin" (kuintil 1) dan "Rentan Miskin" (kuintil 2) adalah SD. Prosentase penduduk berusia 15 tahun ke atas di dua kelompok ini makin rendah di jenjang pendidikan SMP, SMA dan perguruan tinggi. Artinya, banyak anak-anak miskin yang berguguran dan tidak bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya setelah lulus SD.
"Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak ada kelompok Paling Miskin yang bisa menamatkan perguruan tinggi karena prosentasenya hanya 3,02, sementara kelompok Rentan Miskin hanya 4,74%. Kesenjangan ini terlihat manakala kita membandingkam dengan kelompok Paling Kaya yang prosentasenya mencapai 24,31%," urainya.
Peneliti senior dan analis kebijakan publik ini menyatakan, persoalan kesenjangan akses pendidikan sudah ditemukan pada jenjang pendidikan anak usia dini (0-6 tahun). Hasil kajian Asa Dewantara menunjukkan 14,94% (12.560) desa di Indonesia tidak memiliki akses ke semua jenis PAUD (PAUD, TK, RA/BA). Pada tahun 2021, hanya 40,17% (7.62 juta) dari total anak berusia 3-6 tahun yang terdaftar di PAUD.
Dari 59,83% (11.35 juta) anak-anak yang tidak terdaftar di PAUD tersebut, 57,5% diantaranya tinggal di perdesaan.
Selain persoalan tersebut, beberapa persoalan terkait kesehatan berkontribusi terhadap perkembangan dan keberlanjutan pendidikan anak-anak, yakni bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan gizi buruk yang ditandai dengan Kwashiorkor (kekurangan/ketiadaan asupan protein) dan Marasmus (kekurangan asupan energi dan protein).
Kesenjangan juga terjadi di jenjang anak usia sekolah (7-18 tahun). Meski pemerintah telah menggalakkan program Wajib Belajar dan Sekolah Gratis, sekitar 8,16% (2.11 juta) dari total anak berusia 7-12 tahun di Indonesia tidak terdaftar di jenjang sekolah dasar (SD), di mana 55,22% diantaranya tinggal di daerah perdesaan.