
AKURAT.CO Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan, upaya untuk memperkuat sinergi antara regulasi pemerintah dan perlindungan konsumen peer to peer (P2P) lending sangat penting untuk dilakukan.
"Rasa aman dan kepercayaan tersebut akan menumbuhkan industri keuangan dan, setidaknya akibat pandemi, dapat menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan para konsumen," ucap Associate Researcher CIPS Ajisatria Suleiman lewat keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (17/3/2021).
Ajisatria menambahkan, P2P lending berpeluang turut menyediakan layanan jasa keuangan ke lapisan masyarakat yang belum tersentuh oleh layanan jasa keuangan konvensional, seperti misalnya bank. Akses ke ponsel dan internet dapat membantu mengatasi masalah yang terkait dengan layanan keuangan tradisional.
baca juga:
Dua pertiga masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rekening bank memiliki akses ke telepon seluler, yang berarti mereka berpotensi dapat mengakses layanan keuangan digital, termasuk P2P lending dan produk financial technology (fintech) lainnya.
”Studi kami di 2019 tentang fintech juga sudah menggambarkan bahwa inovasi ini mengarah pada inklusi keuangan yang lebih besar bagi populasi yang tidak bankable. P2P lending memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses pinjaman dengan persyaratan yang lebih sederhana daripada kredit mikro dari bank tradisional dan tanpa harus pergi ke bank,” jelasnya.
Hal ini terutama menguntungkan kelompok berpenghasilan rendah, mereka yang berada di daerah pedesaan serta usaha mikro dan kecil. Pada saat yang sama, tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengalaman dengan layanan keuangan dan akses yang terbatas membuat kelompok-kelompok berpenghasilan rendah ini lebih berisiko terhadap penipuan atau praktik peminjaman predator.
"Praktik peminjaman predator mencakup suku bunga yang berlebihan, praktik penagihan utang yang agresif, dan penyalahgunaan data pribadi konsumen," katanya.
Ia menerangkan, aturan mengenai fintech sudah tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Setiap fintech yang berdiri di Indonesia harus mendaftarkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku.
Ironisnya, lanjut dia, lebih banyak jumlah perusahaan fintech lending yang tidak terdaftar. Jumlahnya juga mencapai ribuan.