AKURAT.CO Direktur Eksekutif Peduli Jakarta, Melny Nova Katuuk, mempertanyakan akurasi data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta terkait angka kemiskinan ekstrem yang mencapai 95 ribu jiwa.
Perempuan yang akrab disapa Nova ini mengaku, ada yang janggal dalam penyajian data BPS tersebut. Ia mempertanyakan apakah data tersebut sudah teruji secara holistik di lapangan sebelum menjadi konsumsi publik atau belum.
"Sample data yang dijadikan rekomendasi BPS untuk bahan analisa kemudian menentukan kemiskinan ekstrem seseorang itu harus dilihat secara holistik. Misalnya, apakah saat mengategorikan seseorang dalam level miskin itu sudah memakai kajian pendekatan sebagaimana Multidimensional Poverty Index," ujar Nova di Jakarta Minggu (5/2/2023).
baca juga:
Nova menyebut, analisis data mesti dilakukan door to door ke rumah warga sasaran. Periset, kata Nova, tidak cukup hanya mengambil sampel dari data yang sudah terkumpul di simpul masyarakat seperti RT, RW, kepala desa atau lurah.
"Perlu ada assessment lapangan yang berulang-ulang, kemudian mendata itu masuk ke rumah warga, bukan hanya datang ke perwakilan seperti lurah atau sebagainya sehingga bisa melihat klasifikasi lapangan sesuai dengan SOP," katanya.
Menurut Nova, akurasi data kemiskinan itu perlu memperhatikan berbagai variabel sebagaimana disampaikan oleh peneliti Adriana Conconi dan Ana Vaz di OPHI Oxford. Misalnya kerentanan, konflik, ancaman, infrastruktur, transportasi, budaya, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
"Jika variable itu terlewatkan pada saat pengambilan dan analisis data, maka hasil pengukuran data itu besar kemungkinan menjadi bias," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta Suryana menyampaikan bahwa kriteria kemiskinan ekstrem, salah satunya adalah pengeluaran kurang dari 1,9 dolar AS atau sekitar Rp11.633 per hari atau di bawah Rp350 ribu per bulan.
Selain itu, karakteristik penduduk yang tergolong kemiskinan ekstrem misalnya, tinggal di hunian tak layak dengan luas lahan per kapita di bawah delapan meter persegi.