Rahmah

Obat Penyakit Ujub Menurut Imam Al-Ghazali

Obat Penyakit Ujub Menurut Imam Al-Ghazali
ilustrasi orang menggunakan obat dari Imam al-Ghazali untuk melawan penyakit ujub. (https://media.istockphoto.com)

AKURAT.CO Ujub secara bahasa diambil dari kata al-‘ujbu yang berarti kebanggaan atau kesombongan. Sedangkan ujub secara istilah adalah kekaguman, ketakjuban atau kebanggaan pada diri sendiri (u’jiba bi nafsihi). Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam kitab Hilyatul Auliyâ’ mencatat perkataan Imam Bisyr bin Haris Al-Hafi yang menjelaskan tentang ujub. Berikut penjelasannya:

حدثنا إبراهيم بن عبد الله، ثنا محمد بن إسحاق، ثنا محمد بن المثنى، قال سمعت بشر بن الحارث يقول: "العجب أن تستكثر عملك وتستقل عمل الناس أو عمل غيرك."

Artin​​​​​ya, “Ibrahim bin Abdullah bercerita kepada kami, Muhammad bin Ishaq bercerita kepada kami, Muhammad bin Al-Mutsanna bercerita, ia berkata: “Aku mendengar Bisyr bin Al-Harits (Al-Hafi) berkata: “Ujub adalah kau anggap banyak amalmu dan kau anggap sedikit amal manusia atau amal selainmu.”

baca juga:

Penjelasan Imam Bisry bin Haris Al-Hafi di atas mengisyaratkan bahwa ujub merupakan penyakit diri yang berbahaya. Ketika seseorang memandang banyak amalnya sendiri, dan menganggap amal orang lain lebih sedikit darinya atau menjadi lebih gemar menilai serta memandang rendah amal orang lain. Dengan demikian orang tersebut membawa penyakit ujub dalam dirinya.

Menurut Imam al-Ghazali, biasanya sifat ujub mulai akan tumbuh ketika mengobrol kepada orang lain tentang keakuan: gemar mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang dilakukan Iblis la'natullah ketika menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam yang diabadikan dalam surat Al-A’raf ayat 12, yang berbunyi:

قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

Artinya: "Dia (Allah) berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?’ Ia (Iblis) menjawab, ‘Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’” (QS Al-A'raf:12).

Dalam kitabnya Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa ujub dan takabur memiliki definisi yang mirip. Beliau mengatakan bahwa orang yang takabur (mutakabbir) pasti selalu gusar ketika menerima nasihat dari orang lain dan selalu kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir.

Mengenai hal itu maka Imam al-Ghazali memberikan beberapa obat untuk bisa melawan penyakit ujub dan takabur dengan cara mengembalikannya pada mindset pikiran masing-masing. Beliau mengatakan bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Hal itu merupakan perkara yang tidak dapat kita ketahui (ghaib) dan hanya akan kita ketahui setelah mengalami kematian.

Oleh karena itu keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kita tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa orang lain itu lebih baik dari diri kita serta memiliki keutamaan di atas diri kita.

Ujub dan takabur adalah tentang dua perkara yang ada diantara diri sendiri dan orang lain. Yang perlu kita titik beratkan adalah bagaimana diri kita menata pikiran agar terhindar dari perasaan lebih istimewa dari orang selain kita.

Secara gambaran umum, obat yang ditawarkan Imam al-Ghazali adalah berupa kesadaran mindset. Begini beberapa obat yang bis akita terapkan menurut Imam al-Ghazali:

Pertama, ketika yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sementara dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu.

Kedua, ketika orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada Allah lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu.

Ketiga, ketika orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagiamana mungkin kau sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?

Keempat, ketika orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak.

Kelima, ketika orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul khâtimah).

Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara dirimu? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (sûul khâtimah).

Dengan demikian, Muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin berbalik nasib di kemudian hari. Dirimu yang kini muslim mungkin di kemudian hari masuk kelompok orang yang jauh dari Allah dan dia yang sekarang kafir mungkin di kemudian hari masuk golongan orang yang dekat dengan Allah.

Semoga bermanfaat.[]