"Italia Tidak Lagi Mencerminkan Serie A"
Arrigo Sacchi

"Italia adalah negara tua dan itulah sebabnya ia sulit untuk mengubah sepakbolanya," kata mantan pelatih AC Milan, Arrigo Sacchi | REUTERS/Paul Hanna
AKURAT.CO, Arrigo Sacchi ada di depan televisi ketika Tim Nasional Italia memastikan diri tak lolos ke Piala Dunia untuk yang kali pertama dalam 60 tahun Senin (13/11) lalu. Sacchi melihat adanya kebutuhan untuk mengubah kultur sepakbola Italia atas kegagalan yang menyakitkan tersebut.
Kepada wartawan media Spanyol, AS, Aritz Gabilondo, pelatih yang membawa AC Milan sebagai dream team pemenang dua Liga Champions pada 1988-1989 dan 1989-1990 ini berbicara tentang uzurnya sepakbola Italia, obsesi taktik yang bisa membuat seorang pelatih tak bisa tidur, perubahan sepakbola di Spanyol, sampai tentang Pep Guardiola dan Zinedine Zidane. Berikut petikannya:
Apakah Anda menonton (ketika) Italia menjadi korban Swedia?
baca juga:
Ya, di rumah saya. Sendirian.
Apa yang membuat skuad Azzuri gagal malam itu?
Banyak hal. Bagi saya, (Gian Piero) Ventura harus memasang (Lorenzo) Insigne. Dia adalah pemain yang paling bugar dan menentukan pada momen ini. Dan sistem permainan (Ventura) tidak banyak membantu. Sebenarnya sistem (permainan Ventura) bukan 3-5-2, tapi 5-3-2.
Para pemain Italia jatuh lunglai dan tertunduk menghadapi kenyataan bahwa mereka tak lolos ke Piala Dunia untuk yang pertama sejak 1958. (Foto: REUTERS/Max Rossi).
Di Italia, tak ada tim yang bermain dengan lima bek, sekalipun Milan yang memasang tiga bek tengah dan dua di sayap. Pertahanan dengan lima (bek) Italia mengundang pesimisme. Ventura tahu semua sistem permainan tapi (sistem) yang lain tidak sesuai dengan ide-idenya.
Beberapa hari lalu La Gazetta Dello Sport lebih optimistis bersama Ventura?
Ventura telah melakukan pekerjaan yang baik. Dia memanggil banyak pemain muda, dia punya keberanian, dia menekankan pada pencarian (permainan) indah – hanya tim besar yang bisa melakukannya. Ventura selalu menjadi seorang pelatih yang positif. Dia secara sederhana harus membuat penggunaan yang terbaik terhadap pemain-pemain yang ditawarkan Serie A. Dan ada seorang Insigne yang tidak dipertimbangkan.
Beberapa pemain juga dikritik dengan keras?
Masalahnya adalah tidak memasang pemain pada posisi normal mereka bermain di tim mereka. Bahkan cara mereka bermain, sekalipun tidak menentukan, haruslah yang pernah mereka praktikkan di klub. Tim nasional adalah cerminan dari Serie A.
Kegagalan tim nasional sejalan dengan perkembangan kompetisi Italia sebagai tontonan. Saat ini, pencetak gol terbanyak di Eropa adalah Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, dan Ligue 1 Prancis.
Arrigo Sacchi menganggap Gian Piero Ventura dianggap tak memiliki model permainan Italia yang sesuai dengan idenya. (Foto: Reuters/Max Rossi).
Benar. Sepakbola berubah di Italia dan di seluruh dunia. Dan Italia adalah sebuah negara tua dan itulah sebabnya sulit untuk mengubah sepakbola kita. Tapi kita berusaha untuk merubah mentalitas, kita berusaha lebih bermain sepakbola, memberikan emosi kepada orang-orang, untuk memberikan mereka nilai-nilai lain.
Pelatih Napoli, (Maurizio) Sarri, sebagai contoh, dia memainkan (sepakbola) dengan baik. Tahun lalu pada posisi ketiga dan bahwa di Italia sedang berada dalam bencana, itu karena di negara kami mentalitas tidak berubah dari yang dulu. Setidaknya kita punya identitas, seperti yang terjadi pada Milan (di era) saya. Saya melatih Milan karena saya menjadi protagonis dalam pertandingan bersama dua tim kecil sebelumnya.
Apakah perlu mengubah kultur sepakbola Italia?
Masalahnya adalah bahwa di Italia para pemimpin (klub) tidak memiliki budaya sepakbola dan itu adalah sebuah tragedi. (Silvio) Berlusconi melakukan budaya keindahan sepakbola. Saya paham sepakbola sebagai tontonan. Dan ini diisolasi oleh respek bagi orang lain.
Saat ini Italia punya lima atau enam pelatih yang berusaha memiliki konsep sepakbola konkret dan berusaha untuk meningkatkan kualitas para pemain mereka. Ada juga pertanyaan lain: jika naskah sebuah film tidak baik, itu tidak akan masuk dalam sejarah bersama (Robert) De Niro.
Di Spanyol perubahan gaya adalah kunci. Bagaimana menurut Anda?
Spanyol selalu punya ide yang terkoreksi, bahkan sebelum mereka menjadi juara. Tapi, saya pikir ide mereka menyentuh level individual, bukan (hanya) kolektif. Ketika dia menjadi kolektif, maka dia menjadi kejayaan.
Cara mereka menekan tanpa bola adalah apa yang pada akhirnya menjadi karakter kompetitif. Sebelumnya itu tidak ada. Apa yang menjadi kultus bagi sepakbola sebagai olahraga telah bertransformasi karenanya, namun juga pilihan-pilihan untuk menang. Saya ingat sepasang trofi (Liga Champions 1988-1989 dan 1989-1990) “Santiago Bernabeu” yang kami raih dan kami mengalahkan Real Madrid dengan baik. Mereka tidak menekan kami. Sampai-sampai (Emilio) Butrageno bilang dia tidak akan mengundang kami lagi (tertawa).
Mantan pelatih AC Milan, Real Madrid, dan Bayern Muenchen, Carlo Ancelotti, saat memegang trofi Liga Champions 1988/1989. Kala itu, Ancelotti adalah pemain AC Milan di bawah asuhan Arrigo Sacchi. (Foto: REUTERS/Action Images).
Jerman meniru gaya Spanyol dan itu berjalan dengan baik. Apakah menurut Anda Italia juga bisa melakukan itu?
Saya tidak tahu. Saya ingat ketika saya mengepalai akademi Italia, kami menonton pertandingan level bawah menghadapi Denmark dan saya punya (Alessandro) Costacurta di sisi saya. Mereka berusaha mempraktikkan total football dengan pemain yang bersembunyi secara terus terang. Costacurta berkata kepada saya: “Mister, Anda menyalin model permainan dari manapun kecuali yang ini di Italia.” Itu membuat saya merenung. Menurut saya televisi telah mengubah globalisasi. Juga pers.
Pers merefleksikan perasaan orang, bukan?
Tentu saja, pers mengubah karena fan berubah. Suatu hari, ketika saya melatih Atletico (Madrid), kami bermain menghadapi Athletic (Bilbao) di kandang dan mereka memainkan sitem ultra-defensif. Apa istilahnya? Sebuah bus?
Mereka memainkan pertandingan yang hebat dan layak. Pada hari berikutnya, bagaimanapun, mereka dihujani oleh kritik. Di Italia bermain seperti itu dan (hasilnya) imbang, semua orang akan menganggapnya sebagai pertandingan yang baik; menang, tentu saja itu akan menjadi pertandingan yang fantastis. Dalam hal itu kita berbeda.
Di Spanyol, kami punya pengaruh dari (Johan Cruyff).
Cruyff adalah seorang pemain fenomenal yang saya tempatkan dalam tiga besar. Sebagai seorang pelatih, dia juga positif karena dia berusaha bermain baik. Ya, (Fabio) Capello menunggu untuk bermain (menghadapi Cruyff) dan membunuhnya.
Dia memberi banyak untuk sepakbola dan meninggalkan warisan besar, meskipun bagi saya lebih sebagai seorang pemain ketimbang seorang pelatih. (Rinus) Michels atau (Stefan) Kovacs, mereka revolusioner. Cruyff mengenal model mereka.
Tapi banyak yang mengikuti model mereka, contohnya (Pep) Guardiola?
Guardiola adalah pelatih yang fantastis. Saya merasa tersakiti ketika UEFA tidak menempatkannya di antara sepuluh pelatih yang paling banyak menciptakan sepakbola dari 1950 sampai sekarang.
Pep Guardiola dan Johan Cruyff adalah dua pelatih yang mengembangkan gaya sepakbola dengan filosofi yang sama. (Foto: Reuters/Albert Gea).
Hal terbaik tentang sepakbola adalah dia tidak berhenti. Dalam 40 tahun terakhir, sepakbola terus berkembang. Guardiola memiliki obsesi fanatik, tapi hanya dengan cara ini dia bisa meyakinkan para pemain dan dirinya sendiri tentang apa yang dipikirkannya. Itu adalah yang membuat Anda tidak bisa tidur. Itu terjadi pada saya. Saya telah bertemu dengan banyak orang penting dari berbagai sektor dan mereka semua punya gairah, cinta, dan obsesi.
Dan Zinedine Zidane?
(Zidane) adalah kejutan yang fantastis. Dia membuat Real Madrid menang dan juga bermain baik. Madrid adalah tim yang positif. Di final Liga Champions (2016-2017), sebagai contoh, jika dia naik untuk level taktiknya (Massimiliano) Allegri, dia bakal kalah. Dan dia tidak melakukannya. Dia mendedikasikan dirinya untuk permainan, dan menang.
Perbedaan Spanyol dan Italia adalah bahwa mereka menempatkan (Raphael) Varane atau Nacho untuk menutup (Mario) Mandzukic, pemain dengan tinggi 1,91 meter di tim. Mereka menempatkan (Daniel) Carvajal, lebih kecil, dan mereka memenangi pertandingan.
Dia memiliki kepercayaan diri besar dalam apa yang dia lakukan. Dan dalam turun-naiknya Juve, mereka bermain dengan (Andrea) Barzagli dan tidak memberi umpan dari tengah lapangan. Mereka kehilangan pemain. Mereka bermain sepuluh lawan sebelas.
Yang paling “Italia” di tim-tim Spanyol adalah Atletico Madridnya Diego Simeone. Menurut Anda?
(Atletico) adalah tim petarung, dengan gairah dan karakter. Saya sangat tertarik. Jika diandaikan sebagai orkestra, musiknya mungkin bukan yang terbaik. Tapi itu akan selalu bekerja. Mereka punya banyak kelayakan terhadap apa yang sudah dia (Simeone) lakukan.[]