Praktik Penetapan, Perlindungan dan Penghargaan Justice Collaborator di Indonesia

Majelis hakim saat memimpin jalannya sidang korupsi proyek kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (11/1). Dalam sidang ini jaksa penuntut umum menghadirkan empat orang saksi. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat mendapat status JC terdapat dalam dua rujukan. Pertama, Surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam peraturan bersama tersebut, ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status saksi pelaku.
- Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir
- Memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir
- Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya
- Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis
- Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
- Sedangkan hal lain yang menjadi syarat seorang saksi pelaku dalam SEMA adalah "mengakui kejahatan yang dilakukannya".
Menurut kedua rujukan tadi, ada beberapa hak khusus yang akan didapat para saksi pelaku. Mereka berhak mendapatkan perlindungan fisik, psikis maupun hukum. Selain itu JC berhak mendapatkan penanganan khusus dalam hal tempat penahanan atau penjara, pemberkasan perkara, penundaan penututan atas dirinya dan proses hukum, tidak menunjukkan wajah atau identitasnya dalam memberikan kesaksian.
baca juga:
JC juga berhak mendapatkan keringanan tuntutan hukuman--termasuk menuntut hukuman percobaan atau pidana penjara paling ringan di antara terdakwa lainnya dalam kasus yang sama, dan remisi tambahan serta hak-hak narapidana lain.
Meskipun norma JC telah diatur dalam SEMA dan Undang -undang No. 31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahan pertama adalah untuk mengajukan permohonan JC r ke LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi demikian, muncul pertanyaan: Dalam kasus korupsi misalnya, jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai JC diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya? Dalam praktik, ada tiga jawabanatas pertanyaan tersebut di atas adalah:
a) Permohonan sebagai JC diajukan kepada KPK.
b) Untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan sebagai JC atau tidak bisa, keputusannya ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan ketentuan JC menjadi sangat subjektif, dan LPSK tidak m emiliki kekuatan dalam menentukan apakah seseorang layak mendapatkan status JC atau tidak layak.
c) Penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak mengikat hakim. Surat rekom endasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman seorang JC. Demikian juga dengan rekom endasi LPSK untuk mendapatkan remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada JC tidak serta m erta menjadi pertim bangan dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang JC tidak melekat dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar -dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga -lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak m emiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu: “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.
Contoh kasus apa yang terjadi pada pelaku korupsi Agus Condro Prayitno. Agus Condro Prayitno adalah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI dari PDI Perjuangan Periode 1999-2004. Bersama dengan tiga rekannya yaitu Max, Willem dan Rusman menjadi terpidana karena menerima cek pelawat usai kemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Agus Condro Prayitno lebih ringan satu tahun dibandingkan dengan tiga rekannya. Agus Condro dituntut selama satu tahun enam bulan dengan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan. Berbeda dengan Max Moein, Rusman Lumban Toruan, dan Willem Max Tutuarima. Ketiga rekan Agus Condro dituntut pidana selama dua tahun enam bulan, denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan. Khusus bagi Max Moien dan Rusman Lumban Toruan, jaksa menambah tuntutan pidana perampasan uang dan barang-barang yang diperoleh hasil korupsi atau harta kekayaan senilai Rp 500 juta yang dimiliki oleh terdakwa dan keluarganya. Jaksa juga meminta uang tunai Rp 100 juta yang dikembalikan Agus Condro menjadi rampasan negara. Perbedaan tuntutan jaksa pada kasus di atas didasarkan pada alasan bahwa Agus Condro membantu KPK dalam membongkar skandal korupsi dalam pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Suhartoyo, memutuskan Agus Condro bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Agus disidangkan bersama tiga terdakwa lain sesama mantan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR periode 2004-2009, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Willem Tutuarima. Max dan Rusman divonis satu tahun delapan bulan penjara, sedangkan Willem divonis satu tahun enam bulan. Agus Condro sendiri divonis satu tahun 3 bulan. Hanya berberbeda tipis dengan pelaku korupsi lainnya.
Dalam kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto mengajukan diri menjadi JC ke KPK. Namun permohonan itu kandas. Itu terlihat dalam putusan pengadilan atas kasus yang menjerat mantan Ketua DPR itu.Karena penuntut umum menilai terdakwa belum memenuhi syarat sebagai justice collaborator, majelis tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa," begitulah salah satu bunyi pertimbangan putusan yang dibacakan oleh hakim Anwar. Dalam tuntutan jaksa, Novanto dipandang tidak memenuhi syarat sebagai JC karena tidak mengakui perbuatannya.
Dalam kasus korupsi e-KTP, publik memang tidak mengetahui secara persis perlakuan yang diterima oleh para terdakwa yang berstatus JC selama masa penahanan, proses peradilan, dan setelah berstatus narapidana. Namun dari sisi hukuman yang diterima para JC, publik tidak melihat bahwa para JC mendapatkan haknya.Ada tiga terdakwa dalam kasus e-KTP yang mendapatkan status JC. Yaitu, Sugiharto, Irman, dan Andi Agustinus atau Andi Narogong.Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta secara terpisah memvonis Sugiharto 5 tahun penjara, Irman 7 tahun penjara, dan Andi Narogong 8 tahun penjara.
Dalam pengadilan tingkat banding ketiganya justru kehilangan statusnya sebagai JC dan hukuman diperberat. Di pengadilan tingkat banding Andi Narogong divonis penjara 11 tahun. Sedangkan Irman dan Sugiharto mendapat tambahan beban uang pengganti. Di tingkat kasasi, Irman dan Sugiharto divonis 15 tahun penjara.Dari putusan pengadilan tingkat banding dan kasasi itu, publik bisa melihat bahwa tidak ada jaminan para JC mendapatkan haknya. Pada saat yang sama, tak terlihat ada kesamaan visi mengenai pentingnya perlindungan terhadap JC antara aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.
Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi pengungkapan dan penuntasan kasus-kasus serius dan terorganisir. Terutama jika mereka yang berpotensi menjadi JC justru berbalik arah. Karena tidak ada jaminan pemenuhan hak JC, mereka malah menutup diri sehingga peluang untuk mengungkap kasus menjadi lebih sulit dan tertutup.Oleh karena itu seluruh pihak yang terlibat dalam penegakan hukum harus segera duduk bersama mempertegas komitmen dalam melindungi dan memberi hak para JC.
Adanya perbedaan pandangan mengenai penetapan penetapan justice collaborator (JC) tersangka dan terdakwa yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar tidak pidana di pengadilan belum memiliki kesamaan pandangan dalam penegakan hukum. Padahal, sejak UU No.13 Tahun 2006 yang diperbaharui menjadi UU No.31 Tahun 2014 tentang LPSK diberlakukan, setidaknya praktik berlangsung sepuluh tahun masih ditemukan permasalahan krusial. Kali ini terjadi pada kasus penetapan JC pada perkara korupsi. Kasus penyuapan itu melibatkan Direktur PT Windu Tuggal Utama, Abdul Khoir. Hakim pengadilan Tipikor menolak Abdul Khoir sebagai JC. Alasan hakim, lantaran Abdul Khoir sebagai pelaku utama. Walhasil, Abdul Khoir pun diganjar hukuman lebih berat dari requisitor penuntut umum. Pengadilan Tipikor Jakarta kali kedua menolak penetapan status JC yang ditetapkan KPK. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor menghukum Kosasih Abbas lebih berat dari tuntutan jaksa.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Kemudian, UU No.31 Tahun 2014 tentang LPSK dan peraturan bersama Menkumham, Jaksa Agung, KPK, dan Kapolri, ternyata masih belum cukup memberikan dasar pemahaman yang sama kepada aparat penegak hukum terkait.Cara pandang hakim, jaksa, LPSK atas pelaku bekerjsama yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerjasama sulit di dapatkan, ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerjasama.
Praktek Perlindungan Terhadap JC
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi, “tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang -kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pem buktian dengan alat bukti keterangan saksi.”Surat pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun serious crime oleh JC jelas merupakan ancaman nyata bagi pelakukejahatan.
Oleh karena itu untuk menjadi seorang WB dan JC bukanlah pilihan yang mudah dan mampu dilakukan setiap orang. Oleh karena itu seseorang yang mau mengungkap kejahatan tentulah orang yang mampu mengendalikan rasa takut dan berani mengambil resiko sebagai pembocor/pembongkar rahasia. Dalam praktek banyak saksi dan korban tindak pidana rentan terhadap teror dan intimidasi. Beberapa saksi dan korban memilih tidak hadir dari proses hukum karena jiwanya sangat terancam, baik teror maupun intimidasi dari pelaku kejahatan. Begitu juga bagi WB dan JC resiko yang ditempuh sangat tinggi
Oleh karena itu pula Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) wajib memberikan Perlindungan jika dibutuhkan. Menurut undang -undang di atas yang disebut perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya.
Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 United Nations Cnvention Againt Corruption (UNCAC). Konvensi ini telah diratifikasiIndonesia melalui UU No.7 Tahun 2006. DiIndonesiajugatelahdiaturperlindungan dan perlakuan khususkepadaSaksi Pelaku yang Bekerja-sama/JusticeCollaborator yaitu:
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (JusticeCollaborator) di dalam Perkara Tinda Pidana Tertentu
Aturan ini dibuat dalam rangka untuk menciptakan iklim yang kondusif kepada mereka yang mengetahui,melaporkan, dan/atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk menjadi whistleblower dan justice collaborator dengan diberikan perlindungan hukum dan perlakuan khusus.
Perlindungan dan perlakuan khusus kepada saksi pelaku yang bekerjasama hanya diberikan apabila keinginan untuk mengungkapkan kejahatan dan kesediaan untuk bekerja-sama dengan aparat penegak hukum datang dari yang bersangkutan, bukan atas paksaan dari pihak penegak hukum. Itupun tidak bisa diberikan secara serta-merta, tetapi harus memenuhi persyaratan. Sesuai dengan ketentuan di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yaitu tersangka atau terdakwa tersebut mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Selain itu Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signi?kan sehingga penyidik/penuntut umum dapat mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Bila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka hakim dapat memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya. Hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa JC mendapatkan perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi JC secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada JC.
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK dan Ketua LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama
Peraturan Bersama lahir atas dasar Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 dimaksudkan agar Kementerian dan Lembaga mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dalam rangka percepatan pencegahan dan pemberantasan korupsi Tahun 2011, dengan merujuk pada Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011. Salah satu rencana aksi tersebu yaitu membuat Memorandum of Understanding (MOU)yang didalamnya terkandung maksud untuk memberikan perlindungan dan perlakuan yang khusus kepadaWB dan JC.
Dalam lampiran Instruksi Presiden tersebut merumuskan rencana aksi Nomor 4 yaitu Membuat SKB antar LPSK, Kepolisian, Kejaksaan, MA, KPK dan Menteri Hukum dan HAM untuk melindungi whistleblower atau justice collaborator. Produk dari rencana aksi ini berupa Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK da nKetua LPSK tentang perlindungan bagi Pelapor, Saksi danS aksi Pelaku yang bekerja sama.
Peraturan bersama in iberlandaskan pertimbangan bahwa keberadaan pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama dapat membantu penegak hukum dalam upaya mengetahui, menemukan kejelasan dan mengungkap tindak pidana, termasuk pelaku utama suatu tindak pidana. Menurut peraturan ini, Saksi Pelaku yang Bekerja sama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegakhukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Bila memperhatikan de?nisi saksi pelaku tersebut, maka salah satu unsur pentingnya adalah kesediaan untuk bekerjasama. Sehingga dengan demikian, seorang saksi pelaku tidak bisa menjadi justice collaborator, bila dia tidak mau bekerjasama, terlebih lagi bila ada ancaman atau tekanan yang memaksa dirinya untuk memberikan kesaksian bagi tersangka atau terdakwa lainnya.
Pemberian status sebagai justice collaborator juga dibatasi hanya untuk kejahatan tertentu yaitu tindak pidana serius dan/atau terorganisir adalah tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas.
Untuk menjadi JC juga tidak mudah, harus memenuhi syarat yaitu:
a) tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
b) memberikan keterangan yang signi?kan, relevan dan andal untuk mengungkap suatut indak pidana serius dan/atau terorganisir;
c) bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
d) kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
e) adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara ?sik maupun psikis terhadap saks ipelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Bila seseorang tersangka ata uterdakwa ditetapkan sebagai JC , maka dia berhak untuk memperoleh:
a) perlindungan ?sik danpsikis;
b) perlindunganhukum;
c) penanganan secara khusus; dan
d) penghargaan
Kiranya peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Lem baga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama(selanjutnya disebut Peraturan Bersama), cukup komprehensif dalam mengatur bentuk perlindungan bagi JC.
SEMA, dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama. Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat pada Pasal 6 ayat 3. Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak mendapatkan penanganan khusus.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Meskipun dalam Pasal 10 aya (2) dinyatakan bahwa “Seoran gSaksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadika npertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Namun, pasal ini tidak memberikan gambaran yang jelas siapa tersangka dimaksud, bagaimana kualitas kedudukan dalam perkara pidana serta keterangan seperti apa yang diberikannya yang dapat dipertimbangkan untuk meringankan hukumannya.
Oleh karena itu, pasal ini kemudian direvisi menjadi Pasal 10 A Undang-Undang Nomor31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undan gNomor13T ahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 10A tersebut, hak-hak yang diberikan kepada seorang justice collaborator lebih diperjelas dan diperinci yaitu dapat diberikan penanganan secara khusus berupa: a) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku denga ntersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b) Pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka da nterdakwa dalam prose spenyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yangd iungkapkannya;dan/atau c) Memberikan kesaksian didepan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Selainitu,JC jugaberhakmendapatkanpenghargaanataske- saksianberupa:a) Keringanan penjatuhan pidana;atau b) Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Namun,untuk memperoleh hak-hak tersebut tersangka atau terdakwa tersebut harusmengajukan permohonan terlebih dahulu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan demikian, kehendak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan status sebagai justice collaborator atas inisiatifnya sendiri, bukan atas paksaan, karena yang mengajukan permintaan untuk menjadi JC adalah saksi yang juga pelaku tindak pidana atau diwakili kuasa hukumnya. Bila memenuhi syarat sebagai JC, maka LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim agar saksi pelaku yang bekerjasama dapat memperoleh keringanan hukuman. Sedangkan untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Sebagai sebuah gambaran dalam praktek, bentuk perlindungan hukum JC dapat kita lihat pada kasus Nazaruddin. Saksi Pelaku dapat diberikan:
a) Penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
b) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
- Pemisahan tem pat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;
- Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau:
- Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berha dapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
c). Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :
- Keringanan penjatuhan pidana; atau
- Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Praktik Penghargaan (Reward)Terhadap JC
Reward atau penghargaan bagi JC merupakan bentuk imbalan yang diberikan atas kerjasama yang bersangkutan dalam membongkar kejahatan yang terorganisir seperti korupsi. Penghargaan layak diberikan sebagai penegasan bahwa yang bersangkutan telah berjasa bagi upaya penegakan hukum, implikasinya ketika terdapat penghargaan terhadap JC, pelaku-pelaku yang lain akan berani juga mengungkap suatu tindak pidana kepada penegak hukum.
Di Indonesia penghargaan bagi Justice Collaborator di atur dalam Pasal 10A UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yakni untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana. Pihak LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.
Salah satu contoh berkas Tuntutan Jaksa KPK yakni dalam perkara suap rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor terdakwa FX.YY. Dalam perkara ini terdakwa ditetapkan sebagai JC karena dasar pertimbangan adanya hal hal yang meringankan.Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan; dan terdakwa telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku lainnya dalam perkara a quo. (Telah mendapatkan penetapan sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator), berdasarkan Keputusan Pimpinan KPK RI Nomor: Kep-1011/01-55/09/2014, tanggal 01 September 2014).”
Dalam kasus yang ditangani oleh KPK pelaku tindak pidana korupsi yang telah ditetapkan sebagai JC sudah diterapkan. Sebagaimana Muhammad Asri Irawan (Jaksa Penuntut KPK) mengemukakan:“Bahwa semua pelaku yang berstatus JC yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dalam berkas tuntutan pidana pasti dimasukkan sebagai hal-hal yang meringankan.”
Lebih lanjut, reward yang diberikan bagi JC perkara korupsi berupa berat ringannya penjatuhan sanksi pidana merupakan domain dari Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu:“Bahwa atas bantuan seorang JC, maka Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana sebagaimana Pasal 9 poin (c), dapat berupa menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/ atau menjatuhkan pidana berupa pidana paling ringan diantara terdakwa lain yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.”
Faktanya, dari beberapa kasus yang melibatkan seorang JC, pemberian keringanan pidana masih belum terpenuhi sebagaimana yang diharapkan. Sebagai contoh pada kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia seorang pelaku yang tidak ditetapkan sebagai JC justru diputus pidana lebih ringan dari AC. Padahal terungkapnya kasus cek pelawat yang menjerat 30 orang terdakwa disebabkan kerjasama seorang AC, dan untuk kasus Wisma Atlet, MRM yang berstatus JC telah membongkar keterlibatan 4 orang terdakwa lainnya, tetapi pidana penjara Moh. El Idris yakni 2 tahun penjara lebih ringan dari MRM dalam perkara tersebut.
Menyikapi kasus disparitas pemidanaan ini oleh Lili Pintauli (mantan Wakil Ketua LPSK) mengemukakan:“Bahwa pihak LPSK sudah melapor ke Mahkamah Agung terkait beratnya pidana diterima seorang pelaku yang berstatus JC, hanya saja para hakim berdalih Surat Edaran Mahmakah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tidak wajib untuk diikuti.”
Eksistensi JC dalam perkara korupsi juga terlihat diabaikan dalam beberapa kasus:
Pertama, kasus pengadaan dan pemasangan Solar Home System (SHS) pada Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pada Tahun Anggaran 2007 dan Tahun Anggaran 2008 dengan Terdakwa I Jacob Purwono dan Terdakwa II KA (Putusan Nomor 59/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst).
- Intisari dakwaan para terdakwa didakwa melakukan korupsi pengadaan dan pemasangan SHS T.A 2007 dan T.A 2008 dengan mengatur proses penentuan pihak-pihak yang akan memenangkan tender pengadaan tersebut dengan tujuan mendapatkan kick back. Mereka di dakwaan primair: melanggar Pasal 2 ayat (1) jo.Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Dakwaan subsidair: Pasal 30 jo.Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Surat tuntutan Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Pemberantasan Korupsi Nomor TUT/04/24/01/2013 menyatakan para terdakwa terbukti melanggar sebagaimana dakwaan primair dan menuntut Terdakwa I Jacob Purwono yaitu pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp.500 juta serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp. 8,3 Miliar subsidair 2,5 tahun penjara dan Terdakwa II KA yaitu pidana 26penjara selama 4 tahun dan pidana denda Rp.250 juta serta pidana tambahan pembayaran uang pengganti Rp.2,3 Miliar subsidair 1 tahun penjara.
- Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi dalam putusannya menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan subsidair dan menjatuhkan Terdakwa I Jacob Purwono (pidana penjara 9 tahun dan denda Rp.300 juta subsider 6 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp.1,030 Miliar subsider tahun penjara). Terdakwa II KA (Pidana penjara 4 tahun dan denda Rp.150 juta subsider 3 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp.550 juta subsider 1 tahun penjara).
Bahwa dalam kasus pengadaan Solar Home System (SHS) peran Terdakwa II KA sebagai JC, KPK menilai peran KA sebagai JC dalam kasus ini sangat penting karena telah mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif. Selain itu, KA telah mengembalikan sebagian uang yang diperoleh dari tindak pidana. Dasar pertimbangan pemberian perlindungan maupun keuntungan sebetulnya dapat dinilai berdasarkan kontribusi pelaku , misalnya dalam:
- Memberikan keterangan di persidangan untuk memberatkan terdakwa lain.
- Memberikan informasi mengenai keberadaan barang/ alat bukti atau tersangka lainnya baik yang sudah maupun yang belum diungkapkan.
- Kontribusi lainnya yang berdampak kepada terbantunya aparat penegak hukum
- Tingkat kepentingan dan kegunaan dari pertolongan yang diberikan terdakwa yang bekerjasama, dengan memasukkan evaluasi jaksa mengenai pertolongan yang diberikan
- Kejujuran, kelengkapan dan ketahanan (dapat dipercayanya) informasi atau kesaksian yang diberikan oleh terdakwa
- Sifat dan keluasan pertolongan yang diberikan
- Adanya ancaman yang timbul, atau resiko ancaman yang mungkin terjadi pada terdakwa atau keluarganya karena pertolongan yang diberikannya pada jaksa, dan
- Ketepatan waktu dari pertolongannya tersebut dan lain sebagainya.
Surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK Nomor TUT/04/24/01/2013 menyatakan hal-hal yang meringankan Terdakwa II KA, yakni terdakwa telah berterus terang mengakui perbuatannya dan menyesali akibat dari perbuatannya yang tidak amanah, terdakwa II sejak proses penyidikan telah berperilaku kooperatif dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi ini sehingga telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai JC berdasarkan Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 756/01-55/12/2012 tanggal 20 Desember 2012, terdakwa belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan keluarga dan terdakwa II telah mengembalikan uang ke KPK sebesar Rp.150 juta.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Universitas Indonesia Tahun 2013 dalam Laporan Bedah Kasus Pengadaan Solar Home System, menyatakan kelihatannya hakim tidak terpengaruh oleh keberadaan JC, sebagaimana dalam putusan a quo:
- Dalam hal-hal yang meringankan JC Hakim hanya mempertimbangkan yaitu Terdakwa II KA mengakui perbuatannya dan berterus terang di depan persidangan sehingga berperilaku koperatif, mengabdikan pada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil yang sukup lama, berlaku sopan di depan persidangan dan mempunyai tanggungan keluarga. Berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menyebutkan terdakwa KA sebagai JC sehingga harus mendapatkan reward berupa keringanan pidana.
- Majelis hakim menyatakan dakwaan subsidair terbukti secara sah dan meyakinkan berujung vonis terdakwa I Jacob Purwono pidana penjara 9 tahun sedangkan terdakwa II KA 4 tahun penjara. Artinya terdakwa Jacob Purwono justru mengalami keringanan pidana karena tuntutan Jaksa KPK adalah 14 tahun penjara. Berbeda dengan terdakwa KA yang tidak mengalami penurunan pidana (tetap).
Kedua, pemberian reward bagi JC pelaku tindak pidana korupsi yakni pada Kasus suap rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor. Berdasarkan isi amar putusan Pengadilan Tinggi Bandung menegaskan terdakwa Rachmat Yasin dan Kwee Chayadi Kumala dijatuhi pidana 7 tahun 5 bulan penjara dan 6 Tahun 5 bulan penjara. Sedangkan FX.YY yang berstatus Justice Collaborator, Pengadilan Tinggi Bandung berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa FX.YY di Pengadilan tingkap pertama yang menjatuhkan putusan pidana penjara 1 tahun 6 bulan penjara diperberat pada tingkat banding menjadi pidana penjara 4 (empat) tahun. Dengan demikian tidak ada pengaruh keberadaan JCdengan penjatuhan pidana bagi pelaku.
Jadi jelas kiranya walaupun jaminan pemberian penghargaan keringanan penjatuhan pidana bagi JC telah di atur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan putusan pidana penjara AC, MRM, KA dan FX.YY, majelis Hakim Tipikor masih kurang mengapresiasi terdakwa yang berstatus JC.
Namun pada kasus lain misalnya yang terjadi pada tahun 2018 dimana penghargaan berupa pemberian remisi tambahan dan pembebasan bersyarat diberikan terhadap JC . Kasus korupsi diperoleh Mindo Rosalina Manulang, Agus Chondro, Sukotjo Bambang serta penghargaan berupa perlindungan hukum terhadap whistleblower kasus illegal logging Tony Wong dan sederet kasus lainnya yang tidak muncul dipermukaan, semakin menegaskan prospek implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana atau Whistleblower dan Saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam perkara tindak pidana tertentu dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM, KPK, POLRI, Kejaksaan Agung RI dan LPSK Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerjasama, lambat tapi pasti, kian membaik.
Beberapa Catatan
- Perlindungan hukum terhadap JC dan WB yang juga menjadi koridor kewenangan LPSK memerlukan penataan sistematis-yuridis. Secara sistematis, melihat jumlah permasalahan hukum yang ada di masyarakat demikian banyaknya, daya dukung kelembagaan LPSK di daerah sebagaimana amanat Pasal 11 UUPSK selayaknya segera diwujudkan dengan berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2016.Di sisi lain, kajian akademis tentang bentuk perlindungan hukum terhadap WB dan JC menurut Pasal 10 UUPSK harus segera dilaksanakan sebagai rekomendasi ius constituendum. Selain itu, antinomi dalam pengaturan hukum bisa berdampak pada kesulitan operasionalitas aturan hukum itu sendiri.
- Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) perlu dijadikan sebagai payung hukum khusus (specialis) sehubungan dengan teknis perlindungan hukum pada whistle-blower (WB) dan Justice Collaborator (JC). Pengaturan sektoral terkadang juga menjadi kendala teknis, antara lain berkaitan pada lembaga mana yang berwenang menangani.Menyikapi problem semacam ini, LPSK yang secara atributif yang jelas-jelas memiliki kewenangan seyogianya melakukan koordinasi lintas institusi penegak hukum guna mewujudkan sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) berjalan konsekuen. Seringkali ketidaksepahaman antar institusi justru menjadi kendala substantif mencapai kemudahan akses terhadap keadilan (access to justice).
- LPSK yang kuat, akan mendorong masyarakat tanpa rasa takut dan khawatir untuk mengungkapkan perkara hingga tuntas pada aktor intelektualnya (intelectual daader). Hal ini sebenarnya juga menjadi poin inti penegakan hukum yang bermartabat sesuai "Nawa Cita". Tentu, dari aspek pendanaan pemerintah perlu menganggarkan khusus sebagai konsekuensi logis pencapaian tujuan bersama tersebut. Diharapkan kedepan LPSK akan menjadi lembaga sentral yang turut membantu mengawal penuntasan perkara pidana baik saat penyelidikan dan penyidikan, penuntutan di pengadilan hingga pelaksanaan putusan. Dengan begitu, fungsi pelayanan LPSK kepada masyarakat akan berjalan optimal sesuai yang diharapkan.
- Kiranya perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terkait penentuan syarat-syarat dalam perolehan hak-hak narapidana dengan tidak merubah falsafah dari pemasyarakatan itu sendiri. Selain itu juga, apabila JC menjadi syarat bagi narapidana untuk mendapatkan hak-haknya, maka perlu diatur lagi dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dan teknisnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Untuk penentuan JC bagi narapidana, diperlukan koordinasi antara berbagai lembaga penegak hukum seperti, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Lembaga Pemasyarakatan guna membentuk pengaturan yang lebih spesifik mengenai mekanisme penentuan narapidana sebagai JC sebelum Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 diubah. Dalam hal ini perlu pengaturan dalam bentuk Undang-Undang dengan mengatur penentuan JC bagi tersangka, terdakwa, dan juga terpidana. JC
- KUHAP yang berlaku dalam sistem peradilan pidana diIndonesia saat ini belum mengatur mengenai JC, peraturan-peraturan yang ada saat ini dirasa masih kurang untuk mengakomodir aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan serta reward bagi JC, oleh karena itu dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP yangbaru agar ditambahkan pembahasan tersendiri terkait mekanis perlindungan, maupun reward yang bisa didapatkan oleh JC, agar bisa menjadi pegangan aparat penegak hukum dalam memberikan jaminan perlindungan bagi JC.
- Adanya tahapan pengajuan permohonan perlindungan terlebihdahulu kepada LPSK yang kemudian baru dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan permohonan dan proses penilaian atas permohonan, akan memakan waktu yang cukup lama, sehingga akan menyebabkan pelayanan perlindungan bagi JC kurang efektif dan kurang efisien, sehingga akan menghambat prosespenyelesaian perkara itu sendiri. Akan lebih baik apabila kewenangan perlindungan JC tersebut diberikan kepada unit internal dari penegak hukum itu sendiri, misalnya unit perlindungan khusus di Kejaksaan.
- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan perlus segera memikirkan ketentuan perundang undangan yang bersifat unifikasi untuk JC agar melahirkan aturan yang lebih berkepastian dimana hal tersebut menjadipenting karena aturan yang ada sekarang bersifat sporadis, menimbulkan multi tafsir terkait lembaga yang melaksanakannya dan kewenangannya. Kiranya patut dipertimbangkan adanya sebuah UU yang secara khusus mengatur mengenai WB dan JC. UU ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan dan perlindungan terhadap WB dan JC untuk mengungkap suatu ‘kesalahan’ atau penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan publik. UU yang khusus mengatur tentang WB/JC bercermin dari negara lain minimal harus mengatur secara tegas tentang perlindungannya yaitu:
1. WB dan tidak dapat dituntut secara perdata, pidana atau secaraadministratif karena melakukan pengungkapan demi kepentingan umum baik WB bagian dari pelaku maupun yang tidak.
2. Merugikan atau mencoba atau bersekutu untuk merugikan WB dinyatakan sebagai suatu balas dendam dan melanggar hukum menurut hukum perdata maupun hukum pidana.
3. Lembaga-lembaga publik harus membuat prosedur yang wajar untuk melindungi pejabatnya dari balas dendam;
4. Pejabat publik dengan hak-hak yang sudah ada untuk mengajukan keberatan terhadap, atau mengajukan peninjauan atas sanksi administratif, menunjukkan, pemindahan atau atas perlakuan sewenang- wenang diperbolehkan menggunakan hak-hak ini terhadap tindakan balas dendam; dan Aparat Penegak hukum harus terintegral mulai dari polisi, jaksa, hakim harus satu persepsi dalam melindungi keberadaan WB
5. Untuk JC atas kerjasamanya membantu penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menuntaskan kasus tindak pidana yang terjadi harus ditegaskan berapa keringanan hukuman yang diberikan misalnya maksimal setengah dari hukuman pelaku lainnya dan dapat dapat juga dibebaskan dari tuntutan dengan pertimbangan kasus yang diungkap atas kerjasama tersebut cukup besar dalam pengembalian uang negara.
6. Perlindungan WB juga mencakup perlindungan terhadap keluarganya baik dari ancaman phisik maupun psikologis atau juga dari mutasi, pemecatan dan lain-lain yang sifatnya merugikan seperti contoh jika istrinya atau anaknya bekerja pada satu institusi yang sama seperti di satu departemen atau pemerintahan daerah harus diberikan perlindungan dari pemecatan, mutasi dan upaya pendeskreditan dari atasannya.
9. Masyarakat yang ambil bagian menjadi JC dan WB harus mendapatkan jaminan perlindungan yang serius, bukanhanya didalam persidangan saja melainkan diluar persidangan berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai perlindungan saksi.
10. Bagi instansi yang berwenang yang terkait, diharapkan dapat meningkatkan upaya-upaya perlindungan hukum secara khusus terhadap WB sehingga dapat terealisasikan hak-haknya sampai proses pemeriksaan perkara tindak pidana terorganisasi (korupsi, narkoba dll) tersebut berakhir dan segera membentuk lembaga khusus yang menaungi disetiap daerah di Indonesia agar terakomodirnya perlindungan saksi dan korban tersebut.
Referensi:
- Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu
- Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta
- Laporan Tahunan LPSK 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta), Februari 2013
- Laporan Tahunan LPSK 2014, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta), Desember 2014,
- Haristha Nathalia Tuage, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK)”, Lex Crimen, Volume. II/No. 02, (April-Juni 2013)
- Muchamad Iksan, 2012, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta: Muhammadiyah University Press.
- Kompas.com, Beda whistleblower dan justice collaborator, 17 Mei 2012, diakses pada 9 November 2019. Anggota DPRI periode 1999-2004 yang terlibat dalam kasus cek perjalanan dalam pemilihan deputi Senior Bank Indonesia Miranda Gultom. Menurut Denny agus Condro adalah Justice Collaborator.
- https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524570cd2b728/penerapan-ijustice-collaborator-i-harus-diperketat/
- USU Law Journal, vol II No. 2 (November 2013)
- Detik News, 12 Mei 2012, konvensi” bersama antara MA, Kemenkumham, Kejagung, KPK, Polri dan LPSK per tanggal 19 Juli 2011.
- www. Detk News.com , Justice Collaboration, , 1 Mei 2012 diakses pada 19 Juli 2012
- https://www.coursehero.com/file/35158904/Urgensi-Perlindungan-Hukum-Whistleblower-dan-Justice-Collaboratordocx/
- https://www.lpsk.go.id/berita/berita_detail/1096
- https://www.kompasiana.com/amirudinmahmud/57eaf85f4d7a611d058b4569/apa-penting-justice-collaborator?page=all
- Firman Wijaya, 2012, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku, hal. 17.
- https://www.researchgate.net/publication/315915889_Penetapan_Status_Justice_Collaborator_bagi_Tersangka_atau_Terdakwa_dalam_Perspektif_Hak_Asasi_Manusia
- Berdasarkan hasil penelitian USU Law Journal, Vol.7. No.4, September 2019, 144-151 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
- Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992),
- https://nasional.kompas.com/read/2018/05/03/13245111/jumlah-narapidana-melonjak-uang-makan-capai-rp-13-triliun, diakses November 201
- Rusli muhammad, “Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No.2 Vol.22 (April 2015: 203-222)
- La Ode Muhammad Nusrin, Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Wawancara Pribadi, Semarang, 16 November 2019, pukul 14.00 WIB.
- Supriyadi Widodo Eddyono, Syahrial Martanto wiryawan, et.al., 2008, Pokok-pokok Pikiran penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: IndonesiaCorruption Watch
- Siswanto Sunarso, 2015, Victimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta Timur:Sinar Grafika, hal. 216.
- United Nation Office on Drugs and Crime, The Good Practice for the Protection of Witnesses in Criminal Proceedings Involving Organized Crime, (New York: Nations, 2008)
- Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Act of Terrorism: Itali”, http://www.coe.int/t/dlapil.codexter /Source/pcpwquestionnaireReplies/PC-PW%202006%20replv%20-%20Italy.pdf, hal.19
- Indoneaia (d), Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, LN NO. 225 Tahun 2012, TLN 5359, Penjelasan Pasal 34 A ayat (3)
- Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra AdityaBakti, Bandung, NN,
- http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/01/whistleblower-dan-justice-collaborator_24.htmldiakses pada tanggal 17 November 2019
- Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator, (Bandung: PT. Alumsi, 2015),
- http://news.detik.com/read/2013/03/09/131018/2190269/10/belajar-tentang-justice-collaborator-dari-belandaDiakses pada tanggal 17 November 2019
- AN_KORBAN_SEBAGAI_WHISTLEBLOWER_DAN_JUSTICE_COLLABORATORS_PADA_PENGUNGKAPAN_KASUS_KORUPSI_BERBASIS_NILAI_KEADILAN. diakses, 16 November 2019. Pukul 16:53 WIB
- https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-hukumnya/
- http://www.gresnews.com/berita/tips/110786-mengenal-hak-hak-saksi-dan-korban/. Diakses, 17 November 2019. Pukul 16:41 WIB
- Eddyono, Supriyadi Widodo. Melihat Prospek Perlindungan “Pelaku Yang Bekerjasama” di Indonesia, Jurnal LPSK No.1 Tahun 2012.
Peraturan Perundang Undangan
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- UU 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaratan
- PeraturanBersamalahiratasdasarInstruksiPresidenNomor7Tahun2011tentang RencanaAksiNasionalPencegahandanPemberantasanKorupsiTahun2011
- Naskah asli Undang-undang Perlindungan Saksi Zeugenschutzgesetz tahun 1998 dapat dilihat dihttp://www.datenschutz-berlin.de/recht/de/ggebung/zeugen.html
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakukan bagi Whistle Blower dan Justice Collaborator.