Mengaktivasi Partisipasi Pemilih Gen Z

Warga saat mengamati daftar peserta Pemilu 2019 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 30 yang berlokasi di Depok, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019). TPS 30 yang berlokasi di sebuah komplek perumahan Emerald Mansion dibuat dengan nuansa seperti di Istana Negara tuk menarik calon pemilih pada Pemilu 2019. | AKURAT.CO/Endra Prakoso
AKURAT.CO, Tepat jelang satu tahun hari pemugutan suara pemilihan, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah meluncurkan Pemilihan Serentak 2020 pada tanggal 23 September 2019 untuk 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota). KPU RI menegaskan bahwa partisipasi elektoral dalam pemilihan tersebut harus lebih baik dengan target kehadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sama dengan Pemilu Serentak 2019 lalu yaitu minimal 77,5%.
Tantangan penyelenggaran pemilihan serentak tersebut pastinya berbeda dengan pemilu atau pemilihan sebelumnya. Dinamika politik di Pemilihan Serentak 2020 tentunya lebih dinamis, karena berada dalam lanskap dunia politik yang sangat terinterkoneksi (hyperinterconnected political world). Arus informasi politik sangat cepat dan melimpah, bahkan cendrung mengalami surplus informasi politik yang hebat (hyper surplus of political information).
Ini merupakan efek dari kecanggihan teknologi media baru atau internet. Tidak sekedar fitur copy-paste atau share, tapi User-Generated Content (UGC), siapapun kini bisa membuat konten sendiri untuk media baru atau khususnya media sosial. Tidak hanya menjadi komentator dan pembagi informasi, tetapi kini setiap orang pengguna smart phone berpotensi dapat menjadi reporter –secara amatiran mereka dapat menjalankan open journalism.
baca juga:
Tidak sekedar hal tersebut saja, teknologi Web 2.0 telah memungkinkan para pengguna internet melakukan komunikasi politik secara interaktif khususnya dengan para kandidat beserta timnya. Transformasi praktek demokrasi konvensional menjadi e-democracy (demokrasi elektornik) kini sedang berlangsung di Indonesia. Sebuah peluang besar untuk mematangkan proses demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam demokrasi elektoral.
Di antara para pengguna internet, populasi pemilih pemula atau Gen Z (yang terlahir sejak 1997 atau pada Pemilihan Serentak 2020 telah berusia antara 17-23 tahun) patut diperhitungkan potensinya. Ada data yang dapat dirujuk yaitu pertama, berdasarkan hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pada tahun 2018, pengguna internet berusia 15-19 tahun memiliki penetrasi paling tinggi yaitu mencapi 91% dan yang berusia 20-24 tahun dengan penetrasi 88,5%.
Dan kedua, berdasarkan data Digital 2019 Indonesia yang dipublikasikan oleh We are Social dan Hootsuite, pengguna internet berusia 18-24 tahun ada 33% dari lebih 150 juta pengguna internet atau media sosial aktif. Rata-rata waktu harian mereka mengakses internet dari beragam piranti sekitar 8 jam 36 menit, menggunakan media sosial melalui beragam piranti selama 3 jam 26 menit, dan menonton TV (broadcast, streaming, dan video on deman) selama 2 jam 52 menit. Sehari-hari hidup mereka bersama internet, bahkan internet adalah hidup mereka.
Pencari Informasi Lebih Aktif
Sebagai digital natives (pribumi digital), pemilih pemula yang disebut pemilih Gen Z harus menjadi perhatian. Berdasarkan analisis Google Trens yang dipublikasikan oleh Pew Research Center analysis (2018), pemilih Gen Z atau post-millennials generation mendominasi pencarian informasi daring (online). Mereka sangat aktif dalam mencari dan mengecek informasi. Mereka mampu mengalahkan keaktifkan generasi millennial atau Gen Y (terlahir diantara 1981-1996). Mereka berselancar di “banjir bandang” informasi. Itulah kenapa Gen Z disebut juga dengan istilah Online Generation, C Generation (Connected Generation atau Computerized Generation), Switchers (karena selaku melakukan klik), dan bahkan Facebook Generation.
Cukup disayangkan, minat mereka yang tinggi dalam pencarian informasi ternyata bukan seputar informasi politik. IDN Research Institute (2019) mengemukakan bahwa Gen Z (atau junior millennial) hanya berminat mencari informasi seputar gaya hidup (lifestyle), film, dan teknologi. Mereka sering kali mengabaikan permasalahan politik dan hanya ada 21,2 % Gen Z yang memiliki intensitas mengikuti berita politik. Sebuah tantangan dalam literasi politik (political literacy) atau pendidikan warga (civic education).
Pemilih Gen Z membutuhkan literasi elektoral agar bisa mentransformasi kebiasaan penggunaan internet menjadi lebih bermanfaat untuk kepentingan demokrasi elektoral. Dengan potensi besar yang dimilikinya, mereka adalah pemilik masa depan demokrasi elektoral. Oleh karena itu dibutuhkan gerakan aktivasi kesadaran elektoral untuk pemilih Gen Z.
Jangan biarkan mereka terjebak dalam jaringan mematikan (deadly network) dari firehose-of-falsehood propaganda (propaganda semburan kebohongan) dimana hoax dan fake news menjadi senjatanya. Pemilihan serentak 2020 diprediksi belum terbebas dari politik pasca-kebenaran (post-truth politics).
Dalam buku LikeWar, P.W. Singer dan Emerson T. Brooking (2018) menegaskan bahwa kini melalui persenjataan media sosial (the weaponization of social media), internet telah merubah pemahaman kita tentang perang dan politik. Perang politik kini telah ada di smartphone kita. Perang di media sosial telah menghasilkan korban dunia nyata. Misinformasi yang viral tidak hanya mengubah hasil pertempuran, tetapi juga nasib bangsa.
Di dalam politik Machiavellianisme, terbuka peluang kandidat elektoral melibatkan pendengung politik (political buzzers) dalam kampanyenya. Di tangan para pendengung tersebut, media sosial menjadi “senjata perang” untuk memenangkan kandidat yang mereka bela dengan berbagai cara. Tidak sekedar, ruang publik (public sphere) media sosial menjadi tidak sehat, tetapi juga demokrasi elektoral pun dalam bahaya –jika para pendengung mendiseminasi kebohongan, misinformasi, berita palsu, dll.
Dahulu, dalam Agenda-Setting Theory (McCombs & Shaw, 1968), media berita atau media lama telah menjadi aktor atau komunikator politik utama dalam mengkonstruksikan opini publik dalam pemilu melalui penonjolan isu-isu (salient issues) –yang terproses dalam rangkaian agenda media, agenda publik, dan agenda kebijakan. Kini di era media baru, tidak demikian lagi. Dengan UGC, pengguna media baru atau khususnya pendengung memiliki kemampuan menyusun agenda politik sendiri atau disebut individual agenda setting. Ini dilakukan dengan teknik memviralkan atau mendiseminasikan secara massif informasi atau isu-isu politik tertentu. Opini publik terbentuk dengan sangat cepat. Media baru lebih berdaya (more powerful) dan telah meruntuhkan kedigdayaan media lama.
Memproteksi atau mencerahkan pemilih Gen Z dari efek negatif politik Machiavellianisme berbasiskan media sosial (social media-based Machiavellianism politics) bersifat imperatif bagi siapapun yang menginginkan demokrasi elektoral lebih berkualitas. Mereka adalah pemilih yang rentan (vulnerable voters). Oleh karena itu, mereka harus mendapatkan pendidikan kewarganegaraan (civic education) dan literasi elektoral dan media.
Aktivis Digital Elektoral
Keterlibatan secara massif, siswa SLTA dalam gerakan penolakan RUU KPK dan KUHP pada akhir September 2019 telah mengejutkan kita semua dimana banyak pihak termasuk lembaga riset mengemukakan bahwa mereka pasif terhadap persoalan politik, tetapi ternyata tidak demikian. Mereka memiliki energi politik yang sama dengan mahasiswa. Mereka juga memiliki semangat aktivisme untuk menuntut perubahan politik.
Pemilihan serentak 2020 adalah arena politik elektoral yang memberikan kesempatan pada siapapun, termasuk siswa SLTA selaku pemilih pemula atau Gen Z, untuk mengaktualisasikan kepentingan politiknya. Mengaktivasi kesadaran elektoral mereka untuk menjadi pemilih aktif dan kritis di pemilihan ini dapat berarti mengkanalisasi energi politik mereka yang besar untuk masa depan yang seperti mereka harapkan.
Dengan high digital engagement (keterpautan digital yang tinggi), pemilih Gen Z berpotensi dapat memiliki akses informasi dan pengetahuan politik yang lebih baik. Mereka diharapkan menjadi pemilih aktif, cerdas, dan kritis dalam melakukan percakapan atau diskusi politik di ruang publik media sosial dengan wacana yang konstruktif bagi peningkatan kualitas partisipasi dalam demokrasi elektoral.
Oleh karena itu, tidak sekedar menjadi pengguna hak pilih, sebenarnya mereka berpeluang besar dapat menjadi digital activists (aktivis digital) yang memainkan peran volunterisme elektoral (electoral volunteerism) selama proses pemilihan. Jika peran ini dapat terwujud dengan baik, partisipasi elektoral pemilih Gen Z akan memberikan kontribusi penting dalam peningkatan proses demokratisasi.
Sosialisasi Elektoral Kreatif
Anna Dolot (2018) menyebut Gen Z dengan istilah Content-Centric Generation. Generasi yang berpusat pada konten. Mereka selalu memburu konten-konten yang kreatif, atraktif dan pop. Berkomunikasi efektif dengan mereka mensyaratkan kemampuan kreativitas. Kebaruan (novelty) dalam pesan dan pendekatan komunikasi bersifat keharusan. Begitu juga dalam memberikan sosialisasi elektoral untuk mereka, karena ini merupakan bagian penting dari proses komunikasi elektoral.
Selain portal infopemilu.kpu.go.id yang dikelola langsung oleh KPU RI, PintarMemilih.ID adalah portal yang sangat menginspirasi kita semua dalam mensosialisasikan elektoral berbasis media baru dengan target pembaca. Portal tersebut dikelola oleh Perludem (Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi) yang berkolaborasi dengan KPU, Bawaslu, organisasi Kok Bisa, Google News Initiative Indonesia, dan cekfakta.com. Portal tersebut menyediakan segala informasi tentang Pemilu 2019.
Belajar dari kesuksesan (success story) sosialisasi elektoral berbasiskan media baru yang dilakukan oleh KPU RI dan NGO Pemilu seperti Perludem, penyelenggara Pemilihan Serentak 2020 di daerah dapat terinspirasi untuk melakukan sosialisasi dengan pendekatan yang sama yaitu berbasiskan berbasiskan media baru.
Dalam mengaktivasi partisipasi elektoral pemilih Gen Z sebagai C Generation, sudah saatnya penyelenggara pemilihan memprioritaskan penggunaan internet sebagai media sosialisasi elektoral dan pendidikan politik, karena internet memiliki keunggulan teknologi dalam akses tanpa batas ruang-dan-waktu serta kemampuan interaktivitas antar pengguna sangat serta low cost (biaya murah). Internet mengefektifkan dan mengefisiensikan komunikasi sosialisasi elektoral dan pendidikan politik. []