Secara Etika dan Moral, Memberikan Hak Suara Itu Lebih Baik Daripada Golput
Pemilu 2019

Ibu-ibu saat mengikuti simulasi pemilu dengan melakukan pencoblosan surat suara yang diselenggarakan di GOR Bulungan, Jakarta Selatan, Sabtu (6/4/2019). Simulasi pencoblosan ini dilakukan oleh Migrant Care, Koalisi Perempuan Indonesia dan Institut KAPAL Perempuan dengan menghadirkan kelompok perempuan yang terdiri dari ibu-ibu, penyandang disabilitas, lansia, dan pemilih pemula se-Jabodetabek. Acara simulasi itu bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait teknis Pemilu 2019, dimana merupakan pemilu serentak yang pertama kali diadakan di Indonesia dengan lima surat suara sekaligus. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Masyarakat diimbau untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Serentak 2019 pada Rabu (17/4/2019) mendatang.
Direktur Rumah Mediasi Indonesia, M. Ridha Saleh, mengungkapkan bahwa hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional warga negara yang diakui sebagai bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Selain itu, menurut Ridha, dalam Pasal 21 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) disebutkan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
baca juga:
"Pasal ini mengandung dua makna eksplisit, bahwa dalam kehidupan pemerintahan setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih, kedua subjek tersebut memiliki posisi yang sama dalam berpartisipasi dalam kehidupan pemerintahan," ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Selasa (16/4/2019).
Mantan komisioner Komnas HAM itu menjelaskan, konsep hak pilih universal awalnya merujuk pada hak pilih seluruh penduduk, tanpa memandang harta kekayaan. Negara pertama yang menerapkan konsep hak pilih universal itu adalah Perancis pada 1792 silam.
Rida menyampaikan, hak pilih universal berarti semua penduduk boleh memilih dalam sebuah pemilihan umum. Meskipun hak pilih memiliki dua komponen yang penting, yaitu hak untuk memilih dan kesempatan untuk memilih.
Melalui konsensus politik, lanjut Ridha, negara diberi kewenangan untuk mengatur dan membatasi siapa saja yang diperbolehkan untuk memilih.
"Itu berarti begitu pentingnya hak pilih yang melekat pada setiap orang, karena hak pilih itu berhubungan erat dengan tingkat kesadaran dan pengetahuan seseorang tidak hanya kepada siapa yang dipilihnya akan tetapi hal yang lebih penting adalah ikut serta dalam menentukan masa depan kehidupannya dalam bernegara," ujarnya.
Menyoal hak memilih, Ridha mengatakan, setiap warga negara yang akan memberikan hak pilihnya harus memenuhi syarat-syarat administratif dan subtantif.
"Dalam konteks hak asasi manusia, hak pilih juga mengandung dua makna yaitu hak untuk memilih dan hak untuk tidak memilih, terkait dengan hak untuk tidak memilih atau golput secara politik diberikan arfirmasi yaitu dikarenakan berbagai alasan ideologis atau kesadaran politik yang melatarbelakangi pemegang hak pilih tersebut," katanya.
Karena itu, Ridha menegaskan, negara diberikan tanggung jawab untuk melindungi, memenuhi dan menghormati. Negara juga harus menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap warga negara yang memilki hak pilih untuk menggunakan hak pilihnya. Negara, menurut Ridha, harus bersifat aktif memfasilitasi dan mengajak setiap warga negara untuk menggunakan hak pilihnya sedangkan menghormati negara tidak diperkenankan untuk mengintervensi hak pilih warga untuk menentukan pilihannya.
KPU dan Bawaslu, lanjut Ridha, merupakan lembaga negara yang dimandatkan untuk melaksanakan dan mengawasi jalannya pemilu dan memastikan setiap warga negara harus menggunakan hak pilihnya.
"KPU harus menjamin dan memastikan bahkan diperintahkan untuk menyediakan aturan dan perangkat teknis untuk memastikan setiap warga negara agar dengan mudah untuk menggunakan dan menyalurkan hak pilihnya. Karena hak pilih ini sifatnya istimewa, maka hak pilih tidak dapat dibatasi atau dihilangkan karena alasan teknis seperti waktu atau kendala-kendala teknis lainnya yang menyebabkan hilangnya hak pilih seseorang," ungkapnya.
Sementara pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing, berpendapat senada. Menurutnya, satu suara sangat menentukan masa depan Indonesia di lima tahun mendatang. Sebab dengan ikut berpartisipasi dalam pemilu, masyarakat memiliki landasan etika dan moral untuk mengkritik pemimpin pilihan mereka di masa yang akan datang.
"Alangkah baiknya kalau besok tanggal 17 semua kita datang ke TPS dengan riang gembira, menentukan pilihan kita masing-masing. Karena walaupun tidak memilih itu hak semua orang, tapi dengan memberikan hak suara itu lebih baik secara etika dan moral. Dan barangkali nanti mereka akan menyesal jika tidak memilih," katanya.[]