Ilusi Dilema Demokrasi dan Integrasi

Direktur Visi Indonesia Strategis Abdul Hamid | Istimewa
AKURAT.CO, Tulisan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, di Thejakartapost.com Jumat (8/1/2021) dengan judul Between building democracy and maintaining integration menarik untuk direspon. Tulisan tersebut tidak saja menggambarkan pandangan yang kurang tepat tentang demokrasi dan integrasi, tetapi juga memberikan gambaran “alam pikir Pemerintah” tentang demokrasi yang ternyata diposisikan secara kontradiktif dengan integrasi bangsa.
Mahfud menulis, demokrasi dan integrasi seringkali berlawanan arah. Demokrasi ingin membuka spektrum kebebasan yang luas agar setiap orang atau kelompok masyarakat (termasuk kelompok primordial) dapat memperjuangkan aspirasinya secara bebas, sedangkan integrasi berupaya mengekang kebebasan agar bangsa tetap bersatu. Kebebasan terpaksa dikekang demi integrasi, kata Mahfud, karena ia seringkali menimbulkan konflik vertikal dan horizontal yang mengganggu ketentraman, ketertiban dan keamanan.
Ada dua kondisi yang digambarkan Mahfud sebagai penyebab demokrasi seringkali menimbulkan konflik. Pertama, demokrasi membuka tafsir dan praktik kebebasan yang berlebihan, termasuk kebebasan untuk menipu. Kedua, demokrasi melahirkan gerakan di tingkat komunitas yang tidak mudah dikendalikan. Sehingga, gerakan ini mengancam integrasi teritorial dan integrasi ideologis.
baca juga:
Terhadap dua kondisi itu, Mahfud mengatakan, Pemerintah berupaya mengambil langkah terukur untuk menjaga keseimbangan antara hak atas demokrasi dan kewajiban memelihara integrasi. Tidak jelas apa yang dimaksud langkah terukur itu, karena Mahfud tidak menggambarkannya secara rinci. Dia hanya mengatakan bahwa langkah itu berupa keseimbangan antara demokrasi dan integrasi, yaitu keseimbangan yang menjaga agar pemerintah tidak dituduh otoriter di satu sisi dan tidak dituduh membiarkan demokrasi terancam di sisi lain.
Ikatan Primordial dan Kewargaan
Dari riset yang dilakukan penulis, argumentasi Mahfud di Thejakartapost tersebut diambil dari tulisannya pada tahun 2017 di Harian Sindo. Sabtu, 14 Januari 2017, Mahfud menulis di Sindo dengan judul Demokrasi, Integrasi, Makar. Sama dengan tulisannya di Thejakartapost, tulisan Mahfud di Sindo menggambarkan posisi demokrasi yang berlawanan arah dengan integrasi bangsa.
Yang menarik adalah dua tulisan Mahfud tersebut menggunakan rujukan yang sama, yaitu tulisan Clifford Geertz, The Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States (1971). Dalam tulisan tersebut, kata Mahfud, Geertz memberikan penjelasan tentang posisi kotradiktif antara demokrasi dan integrasi yang dialami oleh negara-negara demokrasi baru. Tidak sedikit dari negara demokrasi baru itu yang mengalamai disintegrasi karena gagal mengendalikan demokrasi.
Maksud Mahfud menyebut Clifford Geertz tentu saja untuk menguatkan teorinya tentang dilema demokrasi dan integrasi. Namun sangat disayangkan, Mahfud kurang cermat membaca Geertz. Sebab yang menjadi pokok bahasan Geertz bukan dilema antara demokrasi dan integrasi, melainkan dilema antara primordial sentiment dan civil politic yang dialami negara-negara baru.
Geertz mengatakan, masalah utama integrasi nasional negara-negara baru adalah transformasi identitas, dari identitas primordial menuju identitas kewargaan. Sebelum nation-state terbentuk, masyarakat diikat oleh ikatan primordial yang given sejak kecil, berupa ikatan darah, ras, suku, agama, dan etnis. Ikatan itu kemudian menghadapi tantangan baru setelah hadirnya nation state, yang memiliki karakter berbeda, yaitu memisahkan antara kepentingan umum dengan kepentingan kelompok atau privat.