Dua Adik Sultan HB X Dipecat dari Jabatannya di Keraton Yogyakarta

Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X dan GKR Hemas usai menerima kunjungan dari Raja-Ratu Belanda, Rabu (11/3/2020). | AKURAT.CO/Kumoro Damarjati
AKURAT.CO, Dua adik Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, yakni GBPH Yudhaningrat dan GBPH Prabukusumo, dipecat dari jabatannya di Keraton Yogyakarta. Informasi ini tersiar mulanya melalui sebuah surat yang beredar di media sosial.
Isi surat tersebut ditulis menggunakan bahasa Jawa dengan tanda Keraton Yogyakarta yang di bagian atasnya bertuliskan Dhawuh Dalem. Ada dua bab dalam surat ini.
Bab pertama berisikan pergantian pimpinan Keraton Yogyakarta di Parwabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sebelumnya dipimpin oleh adik Sri Sultan HB X yaitu GBPH Yudaningrat. Dengan surat ini, jabatan itu kemudian dipegang oleh putri sulung Sultan, yakni GKR Mangkubumi.
baca juga:
Pada bab kedua tertulis mengenai pergantian pimpinan Keraton Yogyakarta di bidang Nityabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, di mana sebelumnya jabatan ini dipegang oleh adik Sultan HB X lainnya, yaitu GBPH Prabukusumo. Jabatan itu kini diisi oleh putri Sultan HB X yaitu GKR Bendara seiring terbitnya surat ini.
Surat itu ditandatangani oleh Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Hamengku Bawono KA 10 pada 16 Bakdamulud Jimakir 1954 atau 2 Desember 2020.
GBPH Prabukusumo atau yang akrab disapa Gusti Prabu buka suara terkait surat ini. Dirinya mempertanyakan alasan pemecatan dari jabatannya dari Keraton Yogyakarta lantaran ia meyakini tidak pernah melakukan kesalahan.
"Sabar bersabar, kalau saya dengan dhimas Yudho (GBPH Yudhaningrat) dipun jabel kalenggahanipun, artinya itu dipecat. Karena itu saya membuat ini (pernyataan tertulis) agar warga DIY tahu, kalau saya dan dhimas Yudho itu tidak salah," katanya, Selasa (19/1/2021).
Gusti Prabu menyebut dirinya memang tak lagi aktif di Keraton Yogyakarta, tepatnya sejak Sultan HB X mengeluarkan Sabdatama dan Sabdaraja tahun 2015 silam. Ia dan adik-adiknya yang lain mundur melayani Sultan lantaran menilai isi Sabdatama dan Sabdaraja ini bertentangan dengan Paugeran Keraton Yogyakarta.
“Artinya, mengapa orang salah tidak mau mengakui kesalahannya. Malah memecat yang mempertahankan kebenaran, yaitu kesungguhan pikiran, niat, dan hati yang mulia untuk mempertahankan adat istiadat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak HB I hingga HB IX,” tegasnya.