Anggapan SJ-182 Jatuh karena Rusak Sistem Kendali Diragukan

Pasukan penyelam dari TNI menunjukkan kantong berisikan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang berhasil ditemukan di lokasi jatuhnya pesawat di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Selasa (12/1/2021). | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Berbagai spekulasi terus bermunculan pasca jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Kepulauan Seribu. Bahkan baru-baru menurut pengamat penerbangan Alvin Lie, dugaan kecelakaan pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak itu diakibatkan permasalahan di sistem kendali bukan cuaca buruk.
Menanggapi spekulasi tersebut, praktisi hukum Ricky Vinando pun menyangkal, kata Ricky, pesawat kehilangan ketinggian hingga lebih dari 10.000 kaki karena mau menghindari fakta yang tak bisa disangkal siapapun yaitu adanya awan cumulonimbus yang membentang hingga 15 Km di Kepulauan Seribu saat SJ-182 lost contack, kemudian disusul lagi fakta tak terbantahkan SJ-182 berbelok ke arah barat daya dan tidak melintas di jalur yang semestinya dilalui yaitu 075 derajat, sehingga dugaan kuat jatuhnya SJ-182 bukan karena masalah dalam sistem kendali.
"Bagi saya analisa itu (ada masalah sistem kendali) sama sekali tidak masuk logika hukum, karena bayangkan kalau pilot yang menerbangkan pesawat namun udah dihadang awan Cb atau cumulonimbus yang sangat berbahaya dan telah membentang di depan sepanjang 15 Km dengan suhu puncak awan -70°C, apa yang terjadi?" kata Ricky Vinando, pada Jumat (15/1/2021).
baca juga:
Menurutnya, berdasarkan data satelit cuaca, pada saat lost contacknya SJ-182, ada awan cumulonimbus dengan bentangan sepanjang 15 kilometer. Dengan bentangan sepanjang itu pesawat Sriwijaya Air diduga awalnya berusaha menghindari awan itu namun pada akhirnya pilot tidak dapat lagi menghindari awan tersebut dan diduga kuat mengalami tekanan udara ke bawah.
"Makanya saya perkuat analisa saya soal tekanan ke bawah itu dengan keterangan ahli Fisika Prof Budi Santoso yang muncul belakangan ini dan bilang dugaannya pesawat kehilangan daya angkat untuk menghindari cuaca buruk, ya sangat logis kehilangan daya angkat karena cuaca," ujarnya.
Kata Ricky, ketika sudah mengalami tekanan ke bawah, maka pesawat akan mengalami kesulitan ketika mencoba untuk naik lagi. Jadi kalau dikatakan cuaca tidak membuat pesawat mengalami kehilangan ketinggian sedemikian cepat, maka logika hukumnya bisa dibantah.
Ricky memberikan contoh kasus yang pernah dialami GA-421 pada Januari 2002. Kata Ricky, kasus SJ-182 ini diawalannya ada persamaan dengan GA-421 pada 2002, namun endingnya tidak ada persamaan.
Awalnya dulu GA-421 pada 2002 sudah terbang di ketinggian 31.000 kaki, tapi ada awan cumulonimbus besar. Saat itu juga, GA-421 masuk ke awan Cb dan terjadi turbulensi hebat. Sebelum itu pilotnya saat itu meminta road direct ke Blora, memotong lewat jalur kiri, padahal harusnya lewat Lasem.
"Sama dengan SJ-182 , belok arah ke arah barat daya, ke arah yang tidak semestinya, yaitu arah 075 derajat," kata Ricky.