Dilema Kebebasan Pendapat dan Pengendalian Transmisi Virus SARS-CoV-2

Petugas mengecek sampel tes swab saat pelaksanaan tes swab massal di Puskesmas Ciganjur, Jakarta Selatan, Kamis (7/1/2021). | AKURAT.CO/Endra Prakoso
AKURAT.CO, Infodemi adalah informasi tidak benar atau hoax mengenai suatu krisis besar yang beredar secara masif terutama di dunia maya, melalui media sosial (medsos) dan platform chat. Semburan dusta, atau ‘firehose of falsehood’ infodemi ini banyak sekali dipengaruhi oleh pemikiran menteri penerangan Nazi Jerman, Joseph Goebbels. Quote Goebbles yang terkenal adalah ‘1000 kebohongan, jika diulangi terus menerus, akan dipercaya sebagai kebenaran’.
Dengan demikian, Goebbels adalah bapak infodemi modern. Kegilaan Goebbels menggagantifikasi sifat ‘Kedewaan’ Adolf Hitler berhasil menjadikan Jerman, sebuah bangsa yang sangat maju dalam segala bidang saat itu, terpuruk habis dibawah ideologi fasis yang rasialis dan brutal.
Tak jauh beda dengan dunia saat ideologi fasis berkuasa dulu, sekarang, banyak beredar infodemi terkait COVID-19 di dunia maya, dan temanya selalu berulang.
baca juga:
Namun semuanya berpusat pada premis dasar bahwa pada dasarnya pandemi COVID-19 tidak pernah ada dan dapat diabaikan. Kemudian ditambahkan berbagai ‘bunga’ hasil fantasi ngawur seperti nakes mencari untung dari mengcovidkan pasien, Bill Gates membuat virus corona, ‘Chinese Virus’, konspirasi industri farmasi untuk mencari untung, vaksin COVID-19 tidak handal, vaksin dengan mikrochip, membenturkan ekonomi dengan protokol kesehatan (prokes), Corona itu bakteri, dan sebagainya.
Semua klaim tersebut tidak ada bukti ilmiahnya, namun infodemi tersebut sudah tersebar dimana-mana. Sebenarnya, era post-truth ini, sudah jauh sebelumnya diramalkan kedatangannya oleh Filusuf Perancis Jean Baudrillard. Di tahun 90an, dia pernah membuat statement sangat satir bahwa siaran channel berita CNN mengenai perang teluk adalah settingan studio belaka. Semburan dusta terkait COVID-19 ini bersifat masif, berkecepatan sangat tinggi, berulang secara otomatis, sehingga hampir-hampir manusia normal tidak punya waktu menanggapinya.
Semburan infodemi ini menggunakan semua teknik komputasi yang ada di dunia maya, termasuk ‘bot generator’, ‘data mockery’, ‘ternak akun’, ‘cracking’, dan dengan belajar dari agitasi Cambridge Analytica pada pilpres Amerika Serikat tahun 2016, mengemploy prinsip rekayasa sosial untuk memframing targetnya.
Di Amerika Serikat, pendukung infodemi COVID-19 ini hampir berhasil melumpuhkan negara adidaya tersebut karena sampai detik ini, negara paman sam masih tercatat sebagai negara dengan kasus dan mortalitas COVID-19 terbanyak di dunia, salah satunya disebabkan karena kurang berjalannya prokes atas nama ‘kebebasan berserikat dan individu’. Infodemi tersebut sangat mengerikan, karena berakibat fatal ketika peristiwa ‘insurrection’ pada hari rabu, 6 Januari 2021 di Gedung Capitol, para perusuh hampir semuanya melanggar prokes. Infodemi yang membenturkan ‘kebebasan’ disatu sisi, dan prokes disisi lain memang sangat efektif untuk menciptakan chaos.
Buktinya, selain peristiwa ‘insurrection’, baru beberapa bulan yang lalu, Gubernur negara bagian Michigan Gretchen Whitmer, hampir saja diculik dan disandera oleh komplotan ‘covidiots white-supremacist’ yang kontra terhadap kebijakan ‘lockdown’ Whitmer. Untungnya plot mengerikan tersebut berhasil digagalkan Kepolisian, FBI dan Kejaksaan Agung, dan aparat juga menemukan setumpuk senjata lengkap di gudang milik konspirator tersebut. Sabotase yang lebih ringan juga terjadi baru-baru ini di Amerika Serikat, yaitu kasus pengrusakan 500 dosis vaksin COVID-19 di Wisconsin oleh seorang pendukung teori konspirasi. Namun, kabar baiknya, menangnya Joe Biden-Kamala Harris yang sangat pro-sains dan pro-kesehatan masyarakat (kesmas) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih negara adidaya tersebut berhasil merem agitasi mereka secara signifikan.
Jauh sekali sebelum plot penculikan Gubernur Whitmer digagas oleh geng covidiots tersebut, dan peristiwa ‘insurrection’, Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros pada bulan Februari 2020, sudah sangat mengkhawatirkan dari awal bahwa wabah COVID-19 yang sebelumnya diumumkan WHO sebagai ‘International Public Health Concern’ akan disertai dengan infodemi masif (Catatan: WHO baru mengumumkan bahwa COVID-19 berstatus pandemi pada Maret 2020).