Inspirasi dari Diego Maradona untuk Kolaborasi Ilmuwan Diaspora

Legenda Tim Nasional Argentina, Diego Maradona dilaporkan meninggal dunia. | TWITTER/@brfootball
AKURAT.CO, Sains dan teknologi adalah bidang yang sangat bertumpu pada kolaborasi internasional. Banyak contoh yang bisa dinarasikan. Misalnya, hadiah Nobel ilmu Kimia tahun 2020 sebenarnya diawali dengan sebuah diskusi lepas di kafe, alias mengobrol kasual sambil ngopi. Jennifer Doudna, yang berkebangsaan Amerika, dan Emmanuelle Charpentier, yang berkebangsaan Perancis, bertemu di sebuah kafe di Puerto Rico. Mereka mendiskusikan kolaborasi riset, terkait Genome editing. Pada akhirnya, diskusi lepas tersebut menjadi sesuatu yang besar. Bahkan teknologi yang mereka kembangkan juga mulai digunakan dalam riset COVID-19. Tidak hanya itu, ilmuwan Amerika Serikat pemenang Nobel ilmu Kimia tahun 2013, Martin Karplus, menghabiskan waktu sekian lama di di Weizmann Institute, Israel, dalam rangka menyempurnakan metode dinamika molekul, yang menjadi salah satu instrumen penting ilmu bioinformatika. Semua ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bersifat global, dan bergerak dalam framework 'think globally, act locally'. Namun, mungkin kita perlu mencari contoh yang lebih membumi mengenai bagaimana sains sesungguhnya beroperasi, dari bidang lain yang lebih populer. Kita benchmark kesana, untuk memperkaya wawasan kita.
Diego Maradona, sang pemain sepak bola legendaris dari Argentina yang belum lama berpulang, merupakan sosok yang sangat kontroversial. Kita sudah banyak tahu mengenai kontroversi 'tangan Tuhan', dan kehidupan pribadinya yang multi-dimensi. Menariknya, yang sangat mencintai Maradona tidak hanya negeri kelahirannya, namun juga sebagian bangsa Italia juga sangat mencintainya. Maradona adalah pemain sepak bola yang sangat berjasa menjadikan klub sepak bola Napoli, di Italia Selatan, berhasil bertransformasi dari klub pinggiran, dan menjadi grup elit di Eropa. Sewaktu Piala Dunia 1990 diselenggarakan di Italia, publik Italia, terutama Italia Selatan dan Napoli, bersikap mendua. Sewaktu Italia dan Argentina berlaga di Napoli, sikap warga Napoli mendua, karena 'Pikiran bersama Italia, hati bersama Maradona'. Alhasil, karena dukungan dari warganya sendiri terbelah, itu menjadi salah satu faktor Italia akhirnya kalah di laga tersebut. Segera setelah Diego Maradona berpulang, Napoli langsung mengubah nama stadion sepak bolanya menjadi nama pesepakbola asal Argentina tersebut. Berbagai acara penghormatan lain juga diadakan di Italia, termasuk salah satunya adalah inisiatif pihak klub Napoli untuk mengimitasi jersey kesebelasan Argentina menjadi jersey resmi mereka. Maradona adalah contoh duta budaya bangsanya yang par-excellence, yang juga dicintai bangsa lain. Sejak berkata 'Dalam hati, saya orang Palestina', bangsa palestina juga ikutan merasa Maradona adalah bagian dari mereka.
Terlepas semua kontroversi terkait kehidupan pribadinya yang penuh lika-liku 'gelap', Maradona adalah duta bangsanya kepada dunia, dan dunia mencintai Diego Maradona secara apa adanya. Olahraga sepak bola merupakan bidang yang sudah sangat terbiasa dengan pertukaran tenaga kerja, dan banyak sekali hal positif yang dihasilkan dari pertukaran tersebut. Tidak hanya Maradona, generasi pesepakbola berikutnya, seperti Zinedine Zidane, pelatih sepak bola seperti Mourinho, juga mengikuti jejak Maradona untuk menjadi duta bangsanya di luar negeri. Tidak bisa dibayangkan, tanpa internasionalisasi, sepak bola akan menjadi olahraga yang sangat tidak menarik, membosankan, dan terlalu homogen. Internasionalisasi cabang sepak bola menjadikan olahraga tim tersebut menjadi cabang olah raga yang penuh dialektika, bahkan hiburan segar, aliran modal yang sangat masif, juga penuh keseruan, sehingga membuat dunia olah raga menjadi penuh warna. Liga Inggris, yang merupakan liga sepak bola paling kuat modalnya di Eropa, tidak akan pernah mendapat suntikan modal sebesar sekarang, yang memberikan revenue sangat besar ke pihak Inggris, jika tidak ada kebijakan internasionalisasi tersebut. Kebijakan internasionalisasi olah raga selalu menguntungkan pihak host dan guest, secara resiprokal. Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada bidang sains. Tanpa internasionalisasi, pengembangan ilmu pengetahuan dipastikan akan menjadi stagnan. Banyak 'Maradona-Maradona' bidang sains diantara kita, yang seharusnya kita dukung.
baca juga:
Di negara lain, sebagai contoh, peraih Nobel Kimia 2020, Emmanuelle Charpentier, berafiliasi di Max-Planck Institute, Jerman, namun berkebangsaan Perancis. Banyak sekali kasus seperti Charpentier, dan di negara kita sendiri, tentu saja mengenal Pak BJ Habibie, presiden ketiga kita, yang bahkan sampai menjelang akhir hayatnya, selalu bepergian pulang-pergi antara Indonesia dan Jerman. Maradona dan Charpentier menunjukkan bahwa nasionalisme bersifat dinamis, bahkan mentransendenkan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka sudah meninggalkan definisi kaku nasionalisme 'blut und eiserne' (darah dan baja), atau istilah lainnya 'Grosse Politik' (Great Politics) seperti yang dipercaya Otto von Bismarck, kanselir Jerman pertama. Bismarck, dengan didukung atasannya, Kaisar Wilhelm I dan anaknya, Wilhelm II, mengeksploitasi batas kebangsaan di Eropa, yang terjadi akibat demarkasi bahasa dan budaya, untuk memperluas pengaruh imperial Jerman. Tidak banyak yang tahu, sama seperti Inggris dan Perancis, Jerman juga pernah menjajah porsi besar dari benua Afrika sebagai ambisi imperialnya, dan banyak masalah kemanusiaan yang timbul disana saat itu. Nasionalisme 'blut und eiserne' atau 'blood and iron' yang dipropagandakan Otto von Bismarck dan segenap negarawan fasis pengagumnya seperti Benito Mussolini, Hideki Tojo, dan Adolf Hitler pada akhirnya menyeret dunia kepada dua perang besar, yang hampir menghancurkan peradaban manusia untuk selamanya. Filsuf Friedrich Nietzsche sudah lama meledek 'Great Politics' Bismarck sebagai 'memprovokasi massa untuk mendukung tirani yang menindas bangsa lain'. 'Great Politics' Bismarck adalah nasionalisme cupet, berangkat hanya pada visi lokalitas. hanya inward looking, cenderung xenofobia, dan tidak peduli, bahkan kalau perlu mengeksploitasi aspirasi bangsa lain. Untuk menegasikan nasionalisme 'Grosse Politik' Bismarck dan menguburkannya dalam-dalam, diperlukan nasionalisme yang, kalau menurut Bung Karno, yang bersemi dalam internasionalisme. Nasionalisme seperti itu yang dipraktekkan oleh Maradona dan Charpentier. Piala Dunia dan Hadiah Nobel adalah representasi nasionalisme seperti itu, karena setiap penerima hadiah prestisius tersebut, mereka mewakili negara masing-masing. Mereka berjasa mendorong olahragawan dan ilmuwan generasi selanjutnya untuk memasuki pasar global, dan secara langsung juga memperkuat negara mereka sendiri.
Sains merupakan pertukaran pemikiran dan wacana dari seluruh dunia. Misalkan, satu paper tentang human genome sequencing, melibatkan berbagai negara. Amerika Serikat yang memimpin, namun karena merupakan negara imigrasi, mereka sangat bergantung dengan imigran. Ilmuwan migran di negara paman sam tersebut, juga pada akhirnya membawa juga jaringan ilmuwan di negara asalnya. Sehingga kolaborasi internasional dapat terjadi dan terjamin. Mengikuti Amerika Serikat, akhirnya negara maju lain seperti Jerman, Inggris, Perancis, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan lainnya juga melakukan strategi yang sama. Bagaimana dengan kita? Sebenarnya Ristek dan DIKTI juga sedang dalam proses mengembangkan strategi serupa, dimana diaspora Indonesia di luar negeri menjadi salah satu tulang punggungnya. Berarti, SDM yang kembali tidak harus secara fisik, tapi mengusahakan benefit secara resiprokal antar institusi dan negara. Namun kebijakan ini walau didukung oleh pemangku kepentingan, memiliki tantangan dalam menghadapi mindset 'lokalitas adalah segalanya'. Banyak yang tidak paham, bahwa nasionalisme bukan berarti sekedar mengagungkan aspek lokalitas kita, tapi juga, seperti yang ditunjukan oleh Maradona, menunjukkan keunggulan komparatif tersebut keluar perbatasan negeri kita.
Problematikanya, itu berasal dari pengetahuan sejarah kita sendiri. Jarang diangkat, bahwa Bung Karno mempraktekkan kebijakan internasionalisme tersebut secara langsung. Beliau mengundang insinyur dari Uni Soviet untuk membangun berbagai proyek infrastruktur, seperti gelora bung karno, jalan raya di Palangkaraya. Namun beliau juga mengirim pelajar kita untuk menuntut ilmu di negara-negara blok timur, untuk mengembangkan kerjasama internasional yang lebih kuat. Pemerintah Soekarno bahkan sudah menyiapkan Indonesia supaya menjadi salah satu negara kekuatan nuklir dunia, juga berbagai riset lanjutan lain. Namun visi internasionalisme Bung Karno akhirnya harus dikubur dalam-dalam karena prahara G30S, dan banyak sekali mahasiswa kita yang akhirnya mencari suaka di Eropa karena prahara politik tersebut, sehingga mengakibatkan investasi SDM kita menguap. Akibat prahara politik tersebut, selama puluhan tahun, kita hanya bisa menjadi penonton sewaktu negara sahabat kita seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok, bertransformasi menjadi pusat sains dan teknologi tingkat dunia, yang tidak kalah dengan semua negara barat. Setelah hampir setengah abad, pemerintah kita mencoba membangkitkan lagi visi internasionalisme tersebut untuk mengejar ketertinggalan dengan sahabat-sahabat kita tersebut, misalnya dengan diawali dengan beasiswa Habibie, kemudian pengadaan beasiswa DIKTI, LPDP dan berbagai skema kerjasama internasional. Namun masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Trauma destruksi visi internasionalisme Bung Karno memerlukan waktu untuk disembuhkan sepenuhnya.
Presiden Amerika Serikat dari tahun 2009-2017, Barack Hussein Obama, pernah berkata bahwa sulit mencari makanan Indonesia yang enak di negaranya, karena mayoritas diaspora Indonesia pasti kembali ke negaranya. Tentu ini berbeda dengan diaspora negara lain, yang sering kali memilih menetap di negara tujuannya. Misalnya, Sekarang, India sedang bersuka cita karena salah satu diasporanya, yaitu Kamala Harris, terpilih menjadi Wapres negara adidaya tersebut. Tidak hanya itu. Bahkan mulai Januari 2021, Prof. Srikant Datar, seorang keturunan India, akan memimpin sekolah bisnis paling prestisius di dunia, yaitu Harvard Business School. Ini sebuah contoh bahwa diaspora dimungkinkan berperan strategis untuk meningkatkan hubungan kedua negara. Mengapa Presiden Obama mempertanyakan kecenderungan 'pulang kampung' kita, salah satunya karena kita jarang mengangkat peran diaspora dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Salah satu diaspora kita yang paling terkenal, tentu saja adalah Tan Malaka. Petualangan Tan Malaka keliling dunia dan memiliki berbagai nama samaran untuk menghindari 'endusan' intelijen kolonial barat misalnya, mulai dari Belanda, China, Uni Soviet, Filipina, dan kembali ke tanah air, jarang sekali diangkat karena berbagai alasan ideologis. Bahwa Tan Malaka pernah berdebat sengit dengan Josef Stalin, pemimpin Uni Soviet, untuk memperjuangkan kepentingan kita, itu tidak pernah diangkat di buku sejarah. Ini baru seorang Tan Malaka, karena pasti ada banyak tokoh diaspora lain, yang berjuang demi kemerdekaan kita di luar negeri, namun tidak pernah diangkat dalam paradigma kolektif kebangsaan kita. Negara lain, Irlandia misalnya, tidak pernah menutupi bahwa diaspora berperan sangat dominan dalam kemerdekaan mereka.
Salah satu faktor dominan mengapa akhirnya Irlandia bisa merdeka dari Inggris, karena tekanan lobi-lobi diaspora Irish di Amerika Serikat dan negara-negara lain terhadap Inggris. Bahkan menurut kabar terakhir, rencana PM Inggris Boris Johnson untuk meng introduce 'hard border' antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara gagal total, karena Joe Biden, Presiden terpilih AS yang masih keturunan Irish dan malah masih punya saudara di Irlandia, langsung menelpon Johnson supaya membatalkan rencananya. Ini suatu ironis, karena pelajaran sejarah yang kita terima selama ini, memberi kesan bahwa kemerdekaan kita seperti suatu event yang bersifat lokal dan tidak berhubungan dengan gerakan diaspora. Internasionalisme Tan Malaka, yang akhirnya diformulasikan ulang oleh Bung Karno, hilang di buku pelajaran sejarah kita. Tidak heran bahwa dalam berbagai kebijakan kita, aspek lokalitas selalu menjadi panglima. Episteme 'lokalitas adalah segalanya' adalah absurd, karena aliran ideologi, modal, dan manusia di era globalisasi dan industri 4.0 ini bersifat masif dan melampaui perbatasan negara-bangsa. Ini belum terlambat untuk berubah, karena toh 'nasionalisme yang bersemai di internasionalisme' adalah pemikiran bapak bangsa kita sendiri. Hubungan 'saudara' antara Irlandia dan India disatu sisi, dan Amerika Serikat di sisi lain, bisa menjadi benchmark kita, bahwa diaspora dapat berperan sangat strategis dalam kebijakan nasional kita, termasuk dalam bidang sains dan teknologi tentunya. Di dalam sains, Publikasi ilmiah akan lebih banyak dibaca jika melibatkan banyak institusi, terutama jika paper tersebut lintas negara. Proyek raksasa seperti 'Human Genome Project' (HGP), '1000genome', 'Solidarity Trial WHO for COVID-19', hanya bisa terlaksana dengan kolaborasi internasional, dan diaspora berbagai negara merupakan salah satu ujung tombaknya. Banyak pemenang nobel yang PhD dan post-doc nya disupervisi oleh Profesor dari negara lain, dan pada akhirnya bekerja di negara lain juga. Selain Charpentier, contoh awal adalah Marie Curie, seorang diaspora Polandia di Perancis, yang menang nobel sains dua kali (Fisika dan Kimia). Walaupun sudah menjadi warga negara Perancis, Curie tetap merasa dirinya orang Polandia sampai wafatnya.
Maradona, seorang tokoh besar sepak bola, meninggalkan kita dengan berbagai kontroversi dan paradoksnya. Tetapi Maradona mengajarkan bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas negara bangsa. Sebagai duta negaranya, sewaktu Argentina menang piala dunia 1986 dari Inggris, Argentina baru saja kalah perang dengan Inggris dalam memperebutkan Pulau Malvinas. Di tahun 80an, Argentina dan Inggris memang sedang tegang-tegangnya hubungan diplomatik mereka. Namun saat itu, Maradona menunjukkan kebesaran hati, yaitu ikut bergabung dengan pemain tim nasional Inggris dalam suatu pesta, kemudian bersenda gurau dan akrab dengan mereka, dengan meninggalkan politik jauh-jauh. Secara personal, tidak ada dendam diantara mereka. Maradona menunjukkan bahwa ranah kemanusiaan jauh berada diatas intrik-intrik politik. Sains juga seperti itu, karena kemanusiaan dalam sains tidak mengenal tapal batas, dan bekerja sama untuk kemanusiaan adalah untuk kebaikan dunia, dan masa depan anak-cucu kita. Di sini, kita banyak belajar kepada Diego Armando Maradona, sang legenda Sepak Bola.[]