Sejarah Anti-Sains dan Manifesto Taklid Buta pada Ideologi Represif

Menristek Bambang Brodjonegoro saat memberikan penjelasan mengenai Tim Pengembangan Vaksin COVID-19 kepada Komisi VII dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (8/9/2020). | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Ilusi bahwa ‘sains adalah bebas nilai’ akhirnya dibongkar habis-habisan di era pandemi COVID-19, karena di kondisi gawat darurat sekarang ini, ilmuwan didorong harus bersikap tegas dimana mereka berdiri. Mereka berdiri untuk kemanusiaan, yang berarti menggunakan ilmunya untuk kebaikan sesamanya dan dunia, atau berdiri untuk ideologi represif anti-sains yang memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu, dan memarginalkan kelompok di luarnya.
Pada akhirnya, kemanusiaan dan ideologi totaliter harus berhadapan secara langsung selama pandemi ini, dan menjadikan para ilmuwan sebagai proksi dua episteme yang saling bertentangan tersebut. Menariknya, tarik menarik antara kemanusiaan dan ideologi represif tidak hanya terjadi sekarang, namun jauh sebelum perang dunia II meletus sudah dimulai dialektika tersebut. Sejarahnya ternyata cukup panjang, dan pada akhirnya ilmuwan memang harus melakukan pemihakan yang tegas untuk melawan episteme anti-sains.
Philip Lenard dan ide ‘sains Jerman’ merupakan sejarah kelam ideologi anti-sains di Jerman. Dia diberikan jabatan sebagai ‘penasihat sains Arya senior’ oleh Adolf Hitler, karena pintar menjilat. Sesungguhnya Lenard adalah ilmuwan berprestasi, pernah menang Nobel fisika tahun 1905 mengenai sinar katoda. Namun bias ideologi dia telah menghancurkan semua karir ilmuwan sempurna yang telah dibangun dengan susah payah. Lennard pernah menerbitkan buku mengenai ‘Fisika Jerman’ yang menurutnya merupakan antitesis dari ‘Sains Yahudi’ Albert Einstein dan koleganya. Pemikiran Lenard penuh bias ideologi, karena menuduh ‘Sains Yahudi’ Einstein sebagai ‘tidak nasionalis’ ,dan dengan penuh nasionalisme buta, tanpa bukti kuat,
baca juga:
Lenard menuduh ilmuwan asing, terutama dari Inggris seperti J.J Thompson mencuri ide-idenya. Episteme ‘Fisika Jerman’ selama era Nazi telah membuat dunia riset dan perguruan tinggi Jerman bergerak mundur, dan pada akhirnya setelah kalah perang dunia II, harus merelakan kepemimpinan mereka dalam bidang sains diambil alih oleh Amerika Serikat. Di Jerman modern sekarang ini, Lenard dan ‘Sains Jerman’nya sudah dilupakan para ilmuwan disana, dan mereka justru selalu menselebrasi Albert Einstein yang dahulu dimarjinalkan oleh Lenard.
Selain di Nazi Jerman, kisah tragis berkuasanya narasi anti-sains juga terjadi di Uni Soviet. Narasi ini dimulai dengan persaingan antara dua orang ilmuwan, yaitu N.I Vavilov melawan Trofim Lysenko. Vavilov adalah agricultural biologist yang sangat berdedikasi, seorang pakar biodiversitas yang mengumpulkan dan meneliti berbagai tanaman pertanian dari seluruh dunia. Dia adalah pendukung teori genetika Mendel, dan sangat percaya bahwa rekayasa genetika merupakan kunci bagi kemajuan sains Soviet. Namun musuh Vavilov, Lysenko, adalah kebalikannya. Dia menganggap genetika Gregor Mendel yang buatan barat adalah ‘proksi borjuasi’, dan ilmu ‘borjuasi’ Mendel harus dibuang ke tong sampah.
Selain genetika secara umum, Lysenko menolak dasar teori dari biologi molekuler, termasuk keberadaan DNA dan gen. Walaupun anti-sains, Lysenko adalah penjilat ulung, dan berhasil mengambil hati Stalin, sehingga pemimpin besar Soviet tersebut memberikannya posisi sebagai pemimpin di Lenin Institute, sebuah lembaga yang mendiseminasikan kebijakan sains di Uni Soviet. Akhirnya dengan kekuasaan yang dia miliki, Lysenko berhasil memenjarakan Vavilov ke gulag di Siberia. Ini sangat ironis, karena Vavilov sebenarnya adalah ilmuwan pertanian yang terkenal di seluruh dunia, dan pemikirannya juga menjadi rujukan di barat. Anti-sains Lysenko telah menghancurkan sains Soviet, dan sekali lagi menguntungkan Amerika Serikat yang dominasi perolehan Nobel Sainsnya semakin tidak terkalahkan. Akhirnya pemerintah Soviet menyadari kekeliruannya di tahun 60an, dan mulai merehabilitasi namanya. Di Rusia pasca-Soviet, sekarang justru Vavilov dinarasikan pemerintah mereka sebagai seorang pahlawan ilmu pengetahuan, sementara Lysenko justru digambarkan sebagai seorang ‘loser’.
Di era pandemi COVID-19, ternyata kisah tragis di Nazi Jerman dan Uni Soviet tersebut terulang kembali dengan skala yang jauh lebih masif dan mengglobal. Di Amerika Serikat, kelompok ‘white supremacist’ atau supremasi kulit putih menghembuskan isu bahwa Bill Gates merupakan pencipta virus SARS-CoV-2, COVID-19 menurut mereka adalah hanya flu biasa, dan mereka juga menghembuskan isu keberadaan 'Chinese Virus', dimana menurut mereka pihak China bertanggung jawab atas pandemi COVID-19, karena menurut mereka, virus SARS-CoV-2 dibuat di salah satu lab di negara tersebut. Teori ‘Bill Gates’, ‘COVID-19 adalah flu biasa’ dan ‘Chinese Virus’ penuh kontradiksi satu sama lain, dan berasal dari pihak yang sama. Narasi yang tidak konsisten dan saling bertentangan tersebut sudah menjadikan narasi mereka tidak logis sama sekali, dan tidak valid.
Sayangnya, banyak yang percaya dengan narasi menyesatkan tersebut. Mengapa teori ‘Bill Gates’ ‘COVID-19 flu biasa’ dan ‘Chinese Virus’ sangat beresonansi di media sosial, berbagai blog, dan portal berita yang tidak terpercaya, tidak lain karena dukungan modal yang sangat besar dari kelompok elit tertentu yang memiliki kepentingan politik. Di Amerika Serikat, seorang ilmuwan eksil dari Hong-Kong bernama Li-Meng Yan menerima dukungan dari tokoh white supremacist terkemuka Amerika Serikat, yaitu Steve Bannon, untuk mendanai penelitiannya yang diframing untuk memojokkan pihak China. Sama seperti Philip Lenard di Jerman dulu, Yan awalnya adalah ilmuwan berprestasi di negaranya. Namun karena ada konflik yang tidak di disclose dengan manajemen lembaga penelitiannya, akhirnya Yan melarikan diri ke Amerika Serikat, dan dengan dukungan pendanaan dari Bannon, merilis working article yang menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 adalah buatan China.
Media sosial dan online ‘berjasa’ mendiseminasikan pemikiran Yan dan pengikutnya seperti aliansi dokter dunia, ke seluruh jagat. Li-Meng Yan bahkan pernah tampil di Fox News, channel berita konservatif, untuk mempromosikan ide konspiratif absurdnya. Perlu diperhatikan bahwa Ideologi anti-sains di Nazi Jerman dan Uni Soviet hanya menghancurkan kedua negara tersebut, namun anti-sains di era pandemi COVID-19 memiliki potensi untuk membuat seluruh dunia menjadi kacau balau, karena dunia maya akan mengaplikasi ide tersebut ke seluruh dunia. Infodemik dari para covidiot ini akan menghasut publik untuk meninggalkan protokol kesehatan WHO, dan mereka memberikan ‘bumbu’ politik dengan menyatakan bahwa WHO tidak perlu didengarkan karena sudah pro-China. Sebuah tuduhan serius yang ditolak mentah-mentah oleh pihak WHO itu sendiri. Pihak China juga menolak tuduhan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pandemi COVID-19, karena sampai sekarang memang menurut mereka tidak ada bukti yang solid terhadap hal itu.