Refleksi Hubungan Vanuatu-Indonesia Pasca Sidang PBB

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Selandia Baru Tantowi Yahya (kanan) berbincang dengan Musisi Glenn Fredly (kiri) disela-sela acara diksusi Panel bertajuk | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Sidang Umum (SU) PBB 2020 yang berlangsung sejak 15 September lalu diwarnai pidato Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman yang menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua. Meskipun hal ini bukan sebuah hal baru, namun fenomena ini selalu menarik perhatian publik di tanah air. Publik tampak heran karena Vanuatu berani menantang negara kita yang jumlah penduduk dan luas daratannya hampir mencapai 1.000 kali lipat negaranya sendiri.
Ada apa dengan Vanuatu?
Faktor utama yang berkaitan dengan sikap Vanuatu adalah pernyataan dari Perdana Menteri pertama Vanuatu, Walter Lini. Pada tahun 1980, saat Vanuatu merayakan kemerdekaannya dari Inggris, Walter Lini menyebutkan bahwa Vanuatu tidak akan sepenuhnya merdeka sampai sisa bangsa Pasifik yang terjajah, temasuk di Papua, telah bebas secara politik.
baca juga:
Bebas secara politik menurut pandangan kami telah di salah artikan sehingga lahirlah Wantok Blong Yumi tahun 2010 yang diprakarsai Ralph Regenvanu. Mereka mengabaikan fakta bahwa apa yang dicita-citakan Walter Lini tersebut, sesungguhnya telah tercapai di Papua: bebas secara politik, demokrasi, pemilihan langsung, aksi-aksi afirmatif, akses terhadap pelayanan publik dan pembangunan. Hal-hal tersebut adalah hak-hak dasar penduduk Papua yang telah dipenuhi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Faktor kedua adalah konstitusi Vanuatu, The Constitution Supreme Law, pada bagian kedua yang mengatur hak dan kewajiban dasar manusia. Disebutkan, setiap manusia harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan. Konstitusi Vanuatu juga secara eksplisit menyatakan bahwa negara tersebut dibangun atas asas keyakinan pada agama Kristen.
Fakta ini, serupa dengan faktor pertama, dimanfaatkan oleh Kelompok Separatis Papua (KSP) yang gencar menghembuskan berita miring tentang Indonesia yang bersifat sepihak, tendensius, tidak terverifikasi. Konstitusi Vanuatu pada umumnya mengandung banyak nilai dan prinsip yang selaras dengan Konstitusi Indonesia, terkecuali soal agama. Beberapa media di Vanuatu dan Pasifik, baik yang resmi maupun bukan, sering memberitakan klaim dari aktivis KSP tentang rangkaian pelanggaran HAM di Papua. Informasi menyesatkan dari KSP juga membawa framing media bahwa terjadi penindasan oleh Indonesia yang berstatus sebagai negara muslim terbesar di dunia terhadap penduduk asli Papua.
Agresifnya kampanye yang dilakukan oleh KSP di Vanuatu membuat masyarakat setempat mendapat informasi yang tidak benar tentang Indonesia. Gabungan semua faktor ini membuat isu Papua menjadi sebuah komoditas politik menarik di Vanuatu.
Dalam catatan penulis, pada masa kampanye Pemilu Vanuatu, isu dukungan terhadap kemerdekaan Papua bahkan kerap masuk dalam platfrom partai peserta. Sehingga tidak mengherankan jika aksi oknum politisi di Vanuatu tidak berhenti hanya di panggung PBB, dukungan terhadap separatisme Papua juga dilakukan di berbagai panggung internasional lainnya.
Upaya paling gencar yang dilakukan oleh Vanuatu terlihat pada dukungan yang diberikan kepada KSP di berbagai organisasi regional Pasifik seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), Pacific Islands Forum (PIF), hingga organisasi African, Caribbean and Pacific (ACP) Group of States. Dari sejumlah kelompok ini, Vanuatu tampak berupaya untuk menarik simpati dan rasa kebersamaan bangsa Pasifik untuk ikut mendukung kemerdekaan Papua. Setidaknya dalam lima KTT PIF terakhir, isu Papua selalu masuk dalam pembahasan karena desakan dari Vanuatu.