Membangun Kembali Kejayaan Islam

Ilustrasi agama Islam | pixabay.com/abdullah_shakoor
AKURAT.CO, Seperti sudah tertanam di benak banyak orang bahwa Islam pernah jaya. Konsekuensi dari isi benak itu bisa bermacam-macam. Jika pernah jaya, berarti Islam saat ini sedang tidak jaya, bahkan terkebelakang. Jika pernah jaya, berarti Islam saat ini (barangkali) sedang berusaha untuk jaya kembali dengan berbagai cara, baik lewat jalur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hingga ilmu pengetahuan.
Jika pernah jaya, berarti dunia ini adalah panggung perebutan kejayaan yang tidak pernah berakhir dan kini Islam sedang kehilangan panggung. Jika pernah jaya, maka ada ciri-ciri tertentu dari Islam yang sebelumnya ada dan karena itu disebut jaya lalu kini tidak ada lagi. Masih banyak kensekuensi yang bisa timbul dari tanaman di benak itu dan tiap konsekuensi membutuhkan pembuktian.
Tulisan ini tidak mampu menjelaskan kerumitan di atas secara seksama. Karena itu, tulisan ini merasa cukup dengan memulai menjawab pertenyaan: Mengapa bisa ada tanaman di dalam benak banyak orang bahwa Islam pernah jaya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam kerangka peradaban, maka perlu penentuan wilayah mana saja yang disebut Islam. Lalu sampailah pada sebuah istilah: “dunia Islam” dan itu berarti masyarakat dengan mayoritas Muslim dan/atau penguasa Muslim. Itu meminjam pengertian dari Tamim Ansary dalam Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam (2015). Wilayah tersebut relatif tidak berubah hingga saat ini sejak masa kala Islam disebut jaya dahulu. Memang ada perubahan ketika penganut Islam mengalami peningkatan di wilayah Eropa dan Amerika sekitar 30 tahun belakangan, tetapi kenyataan belum menjadikan wilayah tersebut “dunia Islam”.
baca juga:
Setelah jelas mana yang disebut “dunia Islam”, maka mulai bisa dijelaskan pula mengapa bisa tertanam di dalam benak banyak orang bahwa Islam pernah jaya. Hal itu karena memang wilayah yang disebut dunia Islam itu pernah menjadi pusat dunia dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan.
Yang unik dari Islam adalah perkembangannya secara geografis sehingga semakin meninggalkan wilayah yang disebut “dunia Islam” itu terus terjadi hingga detik ini bahkan ketika Islam tidak lagi bisa disebut jaya. Sepertinya, perkembangan Islam tidak harus tergantung kepada kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuannya.
Kenyataan di atas memberikan pandangan berbeda bahwa jika ukurannya adalah kesinambungan perkembangan dari sejak muncul di Jazirah Arabia abad ke-7, maka Islam masih terus mempertahankan kejayaannya hingga menembus batas-batas yang barangkali tidak terbayangkan oleh generasi-generasi awalnya. Jika ukurannya adalah Islam sebagai entitas yang semakin meneguhkan identitasnya bersamaan dengan hadirnya identitas-identitas lain, maka Islam masih menggenggam kejayaannya.
Namun jika ukurannya adalah sebagai pusat kekuatan dunia, maka di situlah barangkali Islam bisa disebut tidak lagi jaya. Tetapi mengapa yang tertanam di benak orang banyak adalah bahwa Islam tidak lagi jaya di tengan banyaknya kenyataan bahwa Islam masih terus berkembang? Jawaban pertama yang bisa diajukan adalah bahwa ukuran kejayaan itu sendiri.
Jika ukuran kejayaan adalah kekuatan material, maka Islam memang tidak sedang jaya atau tidak jaya lagi. Namun untuk ukuran kekuatan spiritual, Islam masih jaya dan masih menjadi salah satu rujukan bagi orang-orang yang hendak menoleh kepada peradaban spiritual. Berbeda dengan beberapa agama lain yang sepertinya sudah mulai luntur spiritualitasnya.
Jawaban kedua yang bisa diajukan adalah posisi Islam yang bukan lagi pusat kekuatan dunia. Untuk yang satu ini, Islam memang telah mengalami beberapa kali guncangan yang meruntuhkan kejayaan mereka. Pertama adalah gangguan lewat Perang Salib yang membuat Eropa jadi belajar dari kejayaan Islam.