Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Al-Quran

Kyai Tubagus Muhammad Tamyiz menunjukkan Al Quran mini bertinta emas di Masjid Jami Daarussalaam, Pasir Jambu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/5/2019). Al Quran mini dengan ukuran 10 mm x 10 mm tersebut seluruh aksaranya ditulis tangan menggunakan tinta emas serta ditulis di atas lembaran kulit kayu, dan merupakan barang bersejarah peninggalan Pangeran Wijaya Kusuma salah satu pahlawan yang berjuang pada zaman kolonial Belanda. | ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
AKURAT.CO, Jika kebebasan beragama disamakan dengan kebebasan berkeyakinan, maka sesungguhnya kebebasan seperti itu ada. Bagaimana mungkin keyakinan seseorang atau sekelompok orang bisa dibatasi atau dikekang? Semisal seseorang yakin bahwa pocong itu ada, bagaimana orang lain bisa mengintervensi keyakianan orang itu dan memaksanya untuk tidak meyakininya? Barangkali budaya bisa secara berangsur-angsur mengubah keyakinan, tetapi pasti itu berlangsung tidak dalam sekejap.
Kebebasan beragama adalah hal yang berbeda dengan kebebasan berkeyakinan karena kebebasan beragama bisa dikekang dan diatur. Di sebuah negara, peraturan bisa membatasi jumlah agama lalu memaksa warganya untuk hanya memilih salah satu di antara agama-agama yang terbatas itu. Konsekuensinya, ritual yang berkaitan dengan agama yang sudah dibatasi itupun bisa diatur mana saja yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Sekilas penjelasan di atas bisa membedakan mana kebebasan beragama dan mana kebebasan berkeyakinan. Namun ada irisan di antara keduanya yang bisa kembali mengaburkan hubungan antara keduanya. Misalnya, kebebasan beragama yang dimaksud di atas adalah kebebasan dalam bentuk lahiriah agama, seperti nama agama dan ritual agama itu. Contohhnya, Islam adalah nama sebuah agama dan ritual Islam sudah jelas seperti apa; sebagaimana terangkum di dalam Rukun Islam sehingga dengan mudah untuk mengukur siapa yang tidak mengaku agamanya Islam di dalam KTP-nya dan tidak melakukan ritual Islam yang ada di dalam Rukun Islam, maka bisa dipaksa untuk mencatatkan Islam di KTP-nya dan melaksanakan Rukun Islam.
baca juga:
Problemnya, ada dimensi yang tidak lahiriah dan tidak kasat mata di dalam agama, yaitu dimensi keyakinan. Dalam Islam, keyakinan itu termaktub di dalam Rukun Iman. Pertanyaannya, bagaimana mengatur keimanan seseorang sebagimana mengatur Rukun Islam-nya? Keimanan tidak tampak secara lahiriah sehingga meskipun seseorang menuliskan Islam di KTP-nya dan melaksanakan Rukun Islam, tidak ada jaminan keimanannya sebagaimana dalam Rukun Iman.
Pada konteks di ataslah kebebasan beragama barangkali bisa dibicarakan, yaitu dengan membedakan antara kebebasan beragama dengan kebebasan berkeyakinan. Beragama dalam konteks di atas bisa disebut agama yang terinstitusi, sedangkan berkeyakinan di dalam konteks di atas adalah agama yang tidak terinstitusi. Terinstitusi dimaksudkan di sini bisa dengan diinstitusi oleh penganut agama itu sendiri dan bisa pula diinstitusi oleh negara. Dengan kata lain, kebebasan beragama yang bisa dikekang adalah kebebasan yang berada di atas kertas, sedangkan yang berada di sanubari masing-masing orang tetap liar melanglang buana sampai kapan pun.
Tulisan ini belum meneliti cukup jauh untuk menentukan bagaimana Al-Quran menyebutkan beragama (agama) dan bagaimana menyebutkan berkeyakinan (keyakinan), namun untuk sementara bisa disebutkan bahwa Al-Quran menyebutkan al-dîn dan al-islâm untuk agama dan menyebutkan al-îmàn untuk keyakinan. Mari kita bandingkan antara keduanya dengan menyebutkan sedikit ayat yang berkaitan.
Ada yang unik ketika Al-Quran menyebutkan agama (al-dîn dan al-islâm) dalam QS. Al-Baqarah/2: 256 yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Ayat ini adalah ayat yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai bukti Al-Quran mendukung kebebasan beragama. Namun ayat lain yang juga menggunakan kosa kata al-dîn dan al-islâm mengesankan sebaliknya, yaitu QS. Ali Imran/3: 19 yang menegaskan bahwa satu-satunya al-dîn di sisi Allah adalah al-islâm. Ayat ini dianggap banyak kalangan sebagai bukti eksklusivitas Islam.
Namun jika dicermati, baik QS. Al-Baqarah/2: 256 maupun QS. Ali Imran/3: 19 sama-sama hendak mengatakan bahwa hanya Islam lah agama yang benar karena pada lanjutan QS. Al-Baqarah/2: 256 disebutkan bahwa telah terang-benderang mana yang benar (Islam) dan mana yang sesat (selain Islam). Tetapi bukan berarti ada pemaksaan untuk memeluk suatu agama dalam kedua ayat tersebut karena berbeda antara penegasan kebenaran sebuah agama dengan paksaan untuk memeluknya. Bahkan pada QS. Al-Baqarah/2: 256 ditegaskan tidak adanya paksaan tersebut.
Kita lanjutkan kepada kebebasan berkeyakinan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa istilah yang bisa dipakai untuk memahami bagaimana Al-Quran berbicara tentang kebebasan berkeyakinan adalah kosa kata al-îmàn. Dalam hal ini, ada sebuah ayat yang populer dipahami sebagai ayat kebebesan berkeyakinan yaitu QS. Yunus/10: 99. Dalam ayat itu disebutkan bahwa seandainya Allah menghendaki seluruh manusia beriman (berkeyakinan sama), maka itu mudah saja, tetapi Allah tidak menghendakinya. Bagian terpenting ayat itu adalah ketika ada pertanyaan apakah engkau hendak memaksa manusia semuanya untuk beriman (berkeyakinan sama)?