Anomali Masjid

Jamaah saat melaksanakan tidur siang di ruang utama masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (10/5/2019). Puasa di bulan ramadan dimanfaatkan sejumlah warga yang berkerja untuk tidur siang di masjid Istiqlal. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Kata “masjid” berasal dari bahasa Arab yang berarti “tempat sujud”. Dari kata masjid, paling tidak, masjid dipahami tidak satu macam. Ada masjid dalam bentuk hamparan bumi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa telah dijadikan oleh Allah SWT bagi Nabi-Nya (sekaligus bagi ummat Nabi-Nya) hamparan bumi sebagai masjid. Namun ada masjid dalam bentuk lebih terbatas karena hanya mencakup sebidang tanah dan dibatasi oleh dinding atau patok.
Masjid dalam bentuknya yang pertama, meskipun berbentuk ruang (bumi), sesungguhnya tidak terbatas ruang karena yang disebutnya masjid pada bentuk pertama itu adalah bumi dan bumi berarti keseluruhan ruang, bukan sebagian. Karena itu, batas sesungguhnya masjid dalam bentuk pertama bukanlah ruang, tetapi fungsi yang menegaskan kembali arti masjid, yaitu tempat sujud, tempat menghamba, tempat mengabdi, dan tempat memakmurkan bumi. Memang perkembangan pemahaman tentang sabda Nabi Muhammad SAW di atas lebih diwarnai oleh makna fikih yang menegaskan bahwa di manapun umat Islam boleh melaksanakan shalat, tidak hanya di tempat yang disebut “masjid”. Itu semata-mata perebutan makna yang dimenangi oleh disiplin keilmuan fikih.
Sedangkan masjid dalam bentuknya yang kedua adalah terbatas dan lebih menekankan simbol dalam bentuk ruang daripada fungsi. Dampaknya, sujud terbatas ruang dan waktu. Jika hanya terbatas ruang dan waktu, tidak ada masalah pada makna masjid karena memang manusia adalah makhluk yang terbatas ruang dan waktu, namun jika itu berarti masjid menjadi eksklusif dan membatasi diri pada dimensi vertikal dan tidak horizontal dan kalaupun horizontal, hanya menyapa kelompok tertentu dan mengeksklusi kelompok yang lain, maka bentuk kedua masjid telah memusuhi bentuk pertamanya.
baca juga:
Kita masih ingat betapa masih pelik urusan pendirian tempat-tempat sujud di negeri ini oleh kelompok-kelompok pesujud tertentu karena adanya kelompok lain yang membatasi sujud hanya pada caranya, ruangnya, tempatnya, dan maunya sendiri. Bahkan umum dipahami bahwa menghalangi sujud dan menghalangi pendirian tempat sujud umat lain adalah salah satu bentuk sujud itu sendiri. Dampak seperti itu adalah contoh sujud yang berbatas sehingga barangkali memang sujud seperti itu adalah sujud kepada Allah SWT, tetapi apakah itu berarti memakmurkan bumi? Apakah itu berarti menghargai kemanusiaan? Atau apakah itu peneguhan sujud sediri dan menafikan sujud-sujud lainnya? Mari kita lihat bagaimana masjid ketika pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kala hijrah ke Madinah, Nabi mendirikan dua masjid, yaitu sebuah masjid dalam perjalanan hijrah dan sebuah masjid lagi saat sampai. Setelah itu, Nabi mempersaudarakan sesama kaum Muslim (Anshar dan Muhajirin) lalu mempersatukan kaum Muslim dengan non-Muslim dalam bingkai Piagam Madinah. Penamaan “Muhajirin” dan “Anshar” ini adalah simbol spirit persatuan yang hendak ditanamkan oleh Nabi. Hingga kini, dunia ini dipenuhi oleh manusia dengan minimal dua entitas, yaitu entitas mereka yang berpindah (Muhajirin) dan entitas mereka yang menetap (Anshar). Perpindahan dalam apapun bentuknya menyiratkan keterasingan dan kerapuhan sedangkan menetap dalam bentuk apapun menyiratkan keteguhan dan stabilitas. Kedua entitas ini harus saling mengisi dalam bingkai kemanusiaan agar tercipta sebuah komunitas yang kuat dan sejahtera.
Urutan kisah di atas mengisyaratkan masjid sebagai inspirasi untuk merangkul perbedaan, bukan mempertajamnya, baik perbedaan antarsesama Muslim maupun perbedaan dengan non-Muslim dan Nabi Muhammad SAW melakukan kedua-duanya. Inspirasi masjid seperti itu berbeda belakangan ketika pembangunan sebuah masjid adalah simbol pemisahan diri sekelompok Muslim dengan Muslim lain karena perbedaan aliran; penguasaan atas manajemen sebuah masjid adalah simbol tersingkirnya aliran berbeda dari masjid yang sama; bahkan jamaah sebuah masjid kini sudah mulai mengurusi tempat ibadah agama lain yang dianggap mengancam eksistensinya.
Legitimasi masjid sebagai tempat bersemainya relasi vertikal adalah kekuatan yang sekaligus bisa melegitimasi bersemainya relasi horizontal, namun hal itu belum banyak dilakukan oleh masjid-masjid. Kalaupun ada relasi horizontal, maka yang dimaksud adalah relasi sesama umat Islam, belum melampaui itu dan karena itu, belum mampu menyamai dimensi masjid di masa Rasulullah SAW. Masjid-masjid kini lebih sibuk berfungsi sebagai benteng terakhir dari rasa terancam dari eksistensi umat-umat lain dan bahkan lebih jauh dari masjid lah suara-suara kebencian atas perbedaan itu dinyalakan dan dinyalakkan.
Padahal jika kita kembali kepada masjid di masa Rasulullah SAW yang begitu merangkul, maka seharusnya masjid adalah tempat istirahat dari penatnya perbedaan strata ekonomi, strata sosial, dan pilihan politik di luar masjid. Kita tahu di masjid, perbedaan strata ekonomi, strata sosial, dan pilihan politik hilang dan yang duduk di saf depan adalah mereka yang lebih dahulu datang, bukan ukuran yang lain.
Tapi masjid adalah benda mati dan yang membuatnya hidup adalah jamaahnya. Bagaimana jamaahnya, maka begitulah masjidnya. Bukan salah masjid jika yang keluar dari loadspeakernya adalah suara-suara kebencian dan ketakutan kepada perbedaan, tapi salah jamaahnya. Dan juga bukan sepenuhnya salah jamaah yang membenci itu sehingga masjid menjadi demikian, tetapi salah jamaah yang berfikiran terbuka yang justru enggan mengisi masjid-masjid.[]