Dewan Moneter, Langkah Penuh Risiko

Anggota III BPK RI Achsanul Qosasi | Istimewa
AKURAT.CO, Wacana pengembalian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia —atau bahkan pembubaran lembaga ini— dan revisi undang-undang (UU) Bank Indonesia (BI) dalam mana terdapat pasal tentang pembentukan dewan moneter terus bergulir. Kemungkinan bahwa pemerintah masih dalam tahap testing the water, melempar wacana dan melihat reaksi publik, cukup besar. Sebab kedua langkah ini bisa sangat berisiko bagi dinamika perekonomian nasional.
Pada Juli 2020, misalnya, secara langsung Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyatakan bahwa OJK tak termasuk lembaga yang akan dibubarkan pemerintah. Alasan utamanya adalah karena OJK dibentuk berdasar undang-undang (UU), ketika lembaga-lembaga negara yang lebih berpotensi dibubarkan adalah yang dibentuk dengan dasar peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (Perpres).
Secara konstitusional, alasan pemerintah tentu sudah tepat. Seperti kita tahu, pembentukan OJK adalah atas dasar UU No. 21/2011 tentang OJK dan fungsi pengawasan sektor perbankan baru beralih dari Bank Indonesia ke OJK pada 31 Desember 2013. Pasal 6 UU tersebut menjelaskan bahwa tugas utama OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB).
baca juga:
Dalam bahasa lain, peran OJK pada dasarnya adalah mengurus aspek mikroprudensial ketika BI mengelola aspek makroprudensial. Dalam praktiknya, OJK mengelola perizinan untuk pendirian bank, kegiatan usaha bank, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, serta pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank. Di samping itu, OJK berwenang terkait manajemen risiko industri perbankan, tata kelola perbankan, serta pemeriksaan bank.
Isu kedua, mengenai pembentukan dewan moneter, juga sudah dijawab oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani. Revisi atas UU yang menjadi dasar keberadaan dan kewenangan BI, yaitu UU No. 6/2009 tentang Bank Indonesia, merupakan inisiatif DPR-RI. Namun posisi pemerintah sendiri apakah menerima atau menolak RUU tersebut belum dijelaskan.
Sebaliknya, mungkin lebih sebagai upaya menenangkan pasar yang sempat gugup, Menkeu menegaskan tentang fokus pemerintah pada upaya-upaya mengelola kebijakan moneter yang kredibel, efektif dan independen. Demikian juga, pemerintah bersama BI fokus pada upaya menjaga stabilitas dan kepercayaan ekonomi dalam koridor yang berlaku saat ini.
Secara lebih teknis, Menkeu menyatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji kemungkinan integrasi antara pengaturan makroprudensial dan mikroprudensial, yang diungkapnnya sebagai “Otoritas pengawas bank dan moneter berada di alam satu atap.” Parameternya adalah tingkat keterkelolaan pengawasan, penegakan aturan serta koordinasi antar lembaga. Integrasi atau penggabungan ini dengan demikian bisa saja diartikan sebagai peleburan kembali fungsi OJK dalam BI setelah dipisahkan pada pada Desember 2013.
Kehati-hatian
Hemat saya, wacana pengembalian peran pengawasan perbankan dari OJK ke BI serta pembentukan semacam dewan moneter tak bisa dilakukan dengan serta-merta apalagi terburu-buru. Saya ingat sekali bagaimana tak mudahnya proses pembahasan RUU No. 21/2011 yang kini menjadi UU OJK. Perdebatan keras kami yang panjang dan alot, yang mencapai delapan kali masa sidang, didasari oleh keinginan kuat supaya BI dan OJK betul-betul kuat dan independen. Sehingga, jika kini akan dilakukan perubahan kembali, harus ada dasar pemikiran yang juga betul-betul kuat.