Banalitas Ekonomi Umat (Islam)

Direktur Eksekutif Akurat Poll Adlan Nawawi saat acara Rilis Survey Kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (4/8/2020). Akurat Sentra Riset & Consulting (Akurat Polling) menyelenggarakan survei tentang kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang dilakukan dengan tatap muka terhadap 1.200 responden di seluruh tanah air pada 15-24 Juli 2020. Survei ini juga sekaligus menyoroti elektabilitas dan popularitas figur-figur yang dipersepsi mampu menduduki singgasana presiden pada 2024 mendatang. | AKURAT.CO/Endra Prakoso
AKURAT.CO, “....kalian banyak, tetapi seperti buih di atas air.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi dan Abu Dawud)
Di tengah populasi Muslim yang hampir mencapai 1,9 miliar dan secara khusus berjumlah kurang lebih 229 juta pemeluk di Indonesia, masyarakat Muslim setidaknya masih dilanda persoalan sosial dan kemasyarakatan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Jika data populasi miskin mencapai 26,42 juta dari jumlah keseluruhan penduduk pada awal 2020, maka bisa dibanyangkan berapa banyak populasi Muslim yang berada dalam situasi tersebut.
Populasi tersebut memang tidak menyebut secara spesifik penganut agama tertentu, namun bisa disimpulkan, mereka yang berada di bawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan dihuni mayoritas umat Islam. Kesimpulan sederhana, boleh jadi menunjukkan bahwa di balik kumpulan besar itu, menyimpan kelemahan.
baca juga:
Ayat Pemberdayaan
Tidak kurang ayat al-Qur’an menggugah memori publik untuk mengarusutamakan keberdayaan. Tuhan sebagai penggerak perubahan bahkan disebut tidak akan bekerja sendiri tanpa dukungan kreativitas manusia. Salah satu ayat yang sering dirujuk adalah: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (QS. Ar-Ra’d/13: 11).
Quraish Shihab menjelaskan pemaknaan ayat tersebut dengan menyitir secara khusus huruf “ma” dalam penggalan “ma bi anfusihim”. Perubahan bersumber pada pelaku, Tuhan dan diri manusia yang meliputi keberanian dan sikap mental. Pada tataran yang lebih subtil, perubahan hanya akan terjadi melalui gabungan nilai yang dihayati serta iradah (kehendak) dari manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan untuk melakukan sesuatu sehingga menghasilkan perubahan sosial.
Sayangnya, tidak semua mengarah pada ketersalingan tersebut. Ayat tentang Tuhan yang memberi rezeki kepada hamba-Nya tanpa dia sangka, juga cukup memenuhi persepsi umat. Seakan berharap pada keajaiban, perubahan dipandang akan datang dengan sendirinya tanpa dijemput dan diusahakan secara maksimal. Cukup dengan geliat ritualitas, realitas diharapkan menuai perubahan dengan sendirinya.
Tampaknya, Islam sebagai aksi sosial belum menjadi perbincangan yang riuh. Agama sebagai agent of change belum sepenuhnya menjadi ritualitas keseharian di balik banalitas kehidupan masyarakat Muslim yang dirundung ketidakberdayaan. Islam begitu mendayu dan mengasyikkan sebagai lantunan, tapi memprihatinkan sebagai kehidupan yang sedang dijalani oleh pemeluknya.
Praksisme Islam