Quo Vadis Kampus Merdeka

Mendikbud Nadiem Makarim (tengah) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (20/2/2020). Rapat tersebut membahas tentang anggaran tahun 2020. Dalam rapat ini juga membahas terkait polemik pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) menggunakan GoPay. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Kebijakan kampus merdeka, Mendikbud Nadiem Makarim menuai banyak polemik. Terkesan bagus secara konseptual, namun dalam operasionalnya justru bisa menyesatkan bagi para stakeholder di dunia pendidikan. Konsep yang tidak dikalkulasi secara matang, hanya akan menjadikan kampus, sebagai institusi tempat tumbuhnya, komersialisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi dunia pendidikan.
Kampus-kampus di Indonesia memang masih terbelenggu, bukan hanya karena persoalan klasik yang membayangi, seperti persoalan civitas akademika kampus, yang masih berkutat pada persoalan administrasi. Namun juga persoalan office politik, dan campur tangan pemerintah dalam dunia akademik.
Dosen dipaksa untuk melaporkan kegiatan-kegiatan tri dharma perguruan tinggi, yang menguras tenaga dan pikiran. Mahasiswa juga dijejali dengan mata kuliah yang sangat banyak, sehingga banyak mempelajari teori, tapi miskin implementasi. Hebat secara teoritik. Tapi memble ketika sudah menghadapi realitas kehidupan.
baca juga:
Kebijakan kampus merdeka, sejatinya jangan hanya terkesan merdu di dengar. Dan seolah-olah indah dipandang. Sebagai konduktor, Mendikbud harus dapat mengakselerasikan kebijakannya secara tepat, sehingga dapat dinikmati oleh civitas akademika kampus, yang menjadi sasaran kebijakannya. Bukan malah memaksakan sesuatu yang hanya terdengar merdu, tapi hanya di alam pikiran Mendikbud saja. Karena komposisi yang baik, hanya akan dapat tercipta apabila seluruh stakeholder pendidikan di perguruan tinggi dilibatkan di dalamnya. Sehingga timbulnya nada-nada sumbang, karena salah dalam mengkalkulasi kebijakan dapat dihindari.
Karena pada dasarnya, sesuatu yang datang dari atas, kebijakan yang dibuat dari Kemendikbud, belum tentu cocok dan dapat dioperasionalisasikan di kampus-kampus. Konsep yang baik, jika tak bisa dieksekusi di lapangan, sama saja dengan menanam tumbuhan, namun tak disiram, akan mati kekeringan.
Kebijakan kampus merdeka, jangan hanya terlihat seolah-olah baik, karena memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk secara sukarela, boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya, sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS. Artinya mahasiswa bisa belajar di kelas, magang atau praktek kerja di industri dan organisasi, pertukaran mahasiswa, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.
Namun yang menjadi persoalan, apakah ada payung hukum kampus merdeka tersebut, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan aturan lainnya, sehingga kampus merdeka menjadi kuat secara legitimasi. Ataukah hanya sekedar aturan Mendikbud saja. Sehingga ketika Menteri berganti, maka kebijakan kampus merdeka pun bisa diganti.
Dunia kampus, banyak mengeluhkan kebijakan kampus merdeka, selain karena konsepnya yang masih kabur dan belum jelas, tak bisa dipahami oleh stakeholder pendidikan, dan dalam implementasinya juga membuat pihak kampus pusing tujuh keliling.
Dengan adanya kebijakan kampus merdeka, kampus-kampus harus merubah kurikulum. Kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) tahun 2017 saja, yang belum lama diimplementasikan oleh universitas-universitas, membuat banyak kekacauan di internal kampus. Apalagi adanya kampus merdeka, yang menganggap 40 SKS mahasiswa, bisa dikonversi dengan magang di perusahaan, dll.