Jalan Sunyi Ilmuwan di Pandemi COVID-19, Antara Idealisme dan Pragmatisme

Ilmuwan bekerja di laboratorium Gamaleya Research Institute of Epidemiology and Microbiology untuk memproduksi dan menguji vaksin COVID-19 di Moskow, Rusia, Kamis (6/8/2020). | RDIF/Handout via REUTERS
AKURAT.CO, Pada tahun 1920 an, Julien Benda, seorang filsuf Perancis, pernah menulis sebuah buku yang berjudul “la Trahison des Clercs” atau “Pengkhianatan Intelektual”. Benda memperingatkan untuk waspada dengan ‘kultus keberhasilan’, dimana politik kepentingan sudah bercampur baur dengan kecendekiawanan dengan gaya sophisme, bersama sentimen partikularisme golongan. Benda menulis buku tersebut sewaktu Eropa sedang dalam kondisi resesi karena baru selesai perang dunia pertama. Jerman sebagai negara yang kalah perang, sudah mulai mempersiapkan militernya untuk balas dendam, sementara Inggris dan Perancis sebagai pemenang semakin siaga.
Suasana tegang di Eropa tersebut meningkatkan ketegangan antar negara, dan juga antar berbagai ideologi besar. Berlatar belakang kondisi tersebut, Benda meramalkan akan terjadinya kooptasi ilmuwan terhadap kepentingan ideologi kekuasaan, dan akhirnya hal tersebut terjadi dengan pecahnya perang dunia kedua di tahun 1939 dengan berkuasanya ideologi fasis di Eropa, dan dunia.
Keteledoran ‘appeasement politics’ PM Inggris Neville Chamberlain menyebabkan Nazi Jerman menguasai hampir seluruh daratan Eropa. Sejalan dengan ekspansi militer dan politik Nazi, mereka mendukung Kaiser Wilhelm Institute untuk melakukan studi Eugenika. Salah satu penelitinya adalah Josef Mengele. Dia menyalahgunakan ilmu kedokteran yang dikuasainya untuk kepentingan ‘kemurnian dan kebersihan ras arya’ yang merupakan hoax ciptaan orientalis pro ‘white supremacist’. Penelitian tersebut sebenarnya bukan penelitian sama sekali, karena tidak ada ‘informed consent’ ke partisipan, juga adanya relasi kuasa antara ras ‘superior’ dan yang dianggap ‘inferior’. Tidak ada pula penelaahan hasil riset oleh rekan sejawat, sebab riset ini adalah untuk kepentingan ideologi Nazi, dan mendukung ‘kebersihan rasial’. Tidak ada juga ‘randomized trial’ seperti SOP uji klinis ilmu kedokteran, karena Mengele sengaja meng introduce bias terhadap kelompok tertentu sesuai bias ideologi dia, yang penuh hoax.
baca juga:
Karena tidak ada ‘informed consent’ dan telaah sejawat, kemudian kuatnya nuansa relasi kuasa, riset Mengele sudah sangat bermasalah dari awal, dan tidak memenuhi syarat dalam keilmuannya. Ditambah lagi berdasarkan kesaksian banyak pihak, Mengele secara langsung dan tidak langsung menyiksa partisipan nya yang dianggap ‘inferior’. Menurut hemat kami, yang dipraktekkan Josef Mengele bukanlah ilmu kedokteran, bahkan praktek ilmu apapun di dunia ini juga bukan, selain karena melanggar sumpah hipokrates, Mengele menggunakan pengetahuannya sebagai instrumen kekuasaan ideologi yang sangat brutal, penuh dengan hoax, dan jahat. Dengan kata lain, Mengele adalah prototipe ‘penghianat intelektual’ yang ‘par excellence’ menurut kacamata Julien Benda.
Sewaktu akhirnya Tentara Anglo-Amerika dibawah pimpinan Jendral Dwight Eisenhower, dan Tentara Merah Soviet di bawah Jendral Gregory Zhukov berhasil membebaskan Jerman dan Eropa dari belenggu kebiadaban fasisme di bulan Mei tahun 1945, Josef Mengele berhasil melarikan diri ke Amerika Selatan, dan upaya dinas intelijen Israel, Mossad, di kemudian hari untuk melacak keberadaannya tidak pernah berhasil. Tidak hanya itu, semua arsip riset eugenika Mengele di Kaiser Wilhelm Institute tidak pernah ditemukan, dan dinyatakan raib oleh pihak sekutu. Raibnya arsip-arsip penting tersebut, mempersulit penuntutan dan pengejaran terhadap Mengele. Ironisnya, Mengele meninggal dengan tenang di Brazil, tanpa diketahui musuh-musuhnya, termasuk pihak Mossad.
Kemudian, sembari Panglima Tentara Sekutu, Jendral Dwight Eisenhower melakukan program ‘denazifikasi’, Kaiser Wilhelm Institute diubah namanya menjadi ‘Max Planck Institute’, yang masih beroperasi sebagai lembaga ‘basic research’ milik pemerintah Jerman sampai dengan sekarang. Berbeda sekali dengan pendahulunya, Max Planck Institute sekarang adalah lembaga yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, demokratis, dan terbuka kepada peneliti berkualifikasi dari latar belakang apapun yang tertarik melakukan ‘basic research’. Bahkan direktur dan kepala divisinya sekarang banyak yang bukan orang Jerman.
Berakhirnya Perang Dunia II dan runtuhnya fasisme merupakan titik awal dari pendirian PBB, dan salah satu organnya yang paling berpengaruh, yaitu WHO. Salah satu alasan mengapa WHO didirikan, adalah supaya tidak ada penelitian kesehatan yang disalahgunakan untuk ideologi brutal seperti Nazisme, dan nakes secara konsisten melaksanakan sumpah hipokrates yang memperjuangkan kemanusiaan.
Keprihatinan tersebut dituangkan pada salah satu sila yang sangat pro-kemanusiaan di pembukaan konstitusi WHO menyatakan “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition”. WHO Manual (Section XV.2) dirilis berisi pedoman etika riset yang melibatkan manusia sebagai partisipan penelitian. Pasca keruntuhan ideologi fasis, WHO, bersama dengan organisasi induknya yaitu PBB, mengawal terbentuknya tata dunia baru yang mengarus-utamakan kemanusiaan, walaupun masih banyak sekali kendala yang dihadapi.
Dengan meninggalkan era Mengele yang brutal, dan di bawah supervisi ketat dari dewan keamanan PBB, akhirnya Jerman memasuki era baru yang jauh lebih humanis dan semakin menjauhi peringatan propetik distopia nya Julien Benda. Jerman modern sekarang sedang ‘ngefans’ dengan Profesor Christian Dorsten dari Institute of Virology, Charité – Universitätsmedizin Berlin. Mengapa? Dengan mengikuti ketentuan WHO secara teguh, Ia adalah Ilmuwan yang banyak memberikan saran penanganan pandemi COVID-19 kepada Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen. Dijuluki media Jerman sebagai ‘Tsar Virus corona’ karena sering diundang media untuk penyuluhan publik mengenai COVID-19. Setali tiga uang dengan koleganya Anthony Fauci dari Amerika Serikat, Prof Drosten juga menerima ancaman pembunuhan dengan motif politik oleh pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan ‘lockdown’ Jerman yang diformulasikan oleh beliau. Oleh karena itu, sampai sekarang, Prof Drosten berada dibawah perlindungan kepolisian federal.