Menyambut Matinya Kepakaran Tafsir

Abd. Muid N, Kaprodi Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Institut PTIQ Jakarta | Istimewa
AKURAT.CO, Sistem demokrasi klasik meniscayakan penghargaan terhadap individu dan kesetaraan di antara semua individu. Di hadapan demokrasi, semua individu sama saja, nilai per orangnya adalah satu suara (di bilik suara) tanpa peduli apakah mereka professor, mahasiswa, atau administrator keuangan sebuah perguruan tinggi; apakah mereka direktur, manajer, atau bagian keamanan sebuah perusahaan; bangsawan, rohaniawan, tentara, atau rakyat biasa di sebuah wilayah; dan seterusnya. Bahkan semua mereka berhak menjadi pemimpin di sebuah sistem demokrasi karena demokrasi tidak mengakui kasta.
Kenyataan di atas menggelisahkan banyak pemikir. Bagaimana mungkin ada sebuah sistem yang memungkinkan siapapun untuk berada pada posisi apapun padahal orang tersebut tidak berkompeten untuk posisi itu? Bagaimana mungkin orang-orang menganut sebuah sistem yang membuat mereka akan diurus oleh orang yang tidak layak mengurusi mereka?
Namun demokrasi klasik jalan terus sebagai sebuah sistem hingga kini. Barangkali itulah yang terbaik di antara semua yang terburuk. Belakangan, ketika teknologi informasi memengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan, demokrasi yang sebelumnya menggelisahkan malah semakin menggelisahkan karena demokrasi tidak hanya sebagai sistem yang ada dalam pikiran manusia, tetapi telah menjadi sistem independen yang berada di luar diri manusia tetapi memengaruhi manusia secara keseluruhan.
baca juga:
Demokrasi klasik tidak membatasi manusia dari segi fisik, jiwa, hingga mental-spiritual, namun masih perlu waktu dan upaya ekstra dan waktu lama oleh setiap individu untuk menjadi apa yang mereka mau. Namun lewat teknologi informasi, individu hanya butuh waktu sekejap dan upaya minim untuk menjadi apa yang mereka mau. Seorang lulusan sekolah menengah pertama bisa menjadi sebijak rohaniawan kawakan lewat kalimat-kalimat postingan mereka di medsos. Sebaliknya, seorang bijak bisa menjadi senakal anak-anak baru gede di ruang maya. Tidak ada lagi jarak usia, jarak jenis kelamin, jarak sosial, jarak budaya, dan jarak-jarak lainnya. Dunia teknologi informasi tidak lagi menawarkan sistem demokrasi klasik tetapi menawarkan sistem hiperdemokrasi dan ini adalah hiperdemokrasi era pertama.
Kenyataan di atas mulanya mengagetkan banyak orang dan juga menggelisahkan mereka, namun kini sudah dianggap biasa, sebiasa udara yang dihirup setiap saat. Bahkan banyak yang menganggapnya peluang bagi mereka yang hendak berkembang tetapi terhalang oleh birokrasi demarkasif usia, pengalaman, ijazah, keturunan, jenis kelamin, budaya, dan ras. Mereka yang kaget pun mulai memaklumi.
Kekagetan terbaru, namun sesungguhnya bisa diduga jauh sebelumnya, adalah kenyataan matinya kepakaran, yaitu kala tidak ada jarak waktu dan upaya maksimal hanya untuk menjadi pakar di suatu bidang keilmuan, misalnya bidang keilmuan tafsir. Seorang yang bahkan bahasa Arabnya tergagap-gagap pun bisa menantang seorang yang pakar tafsir yang memiliki karya tafsir 30 juz. Parahnya, sang penantang memiliki lebih banyak follower dibanding sang pakar. Jadi dalam hal kepakaran pun sedang terjadi hiperdemokrasi. Ini disebut hiperdemokrasi era kedua.
Sebagaimana hilangnya keterkejutan atas hiperdemokrasi era pertama kini sudah menjadi hal biasa, bahkan dianggap peluang karena hilangnya sekat-sekat birokrasi, maka ada kemungkinan keterkejutan atas hiperdemokrasi era kedua juga nantinya akan menjadi hal yang biasa. Kalaupun tetap dianggap bukan hal biasa, lalu bagaimana melawannya?
Kita bisa berkaca kepada kegelisahan kala pertama kali demokrasi muncul yang dicurigai akan melantik para pandir menjadi pemimpin. Kegelisahan tetap kegelisahan; demokrasi jalan terus; orang pandir kadang mencapai puncak, tetapi demokrasi juga melahirkan banyak orang-orang besar.
Hiperdemokrasi era pertama mengguncang posisi status quo sekaligus berarti peluang bagi mereka yang terbatas demarkasi birokrasi untuk bisa unjuk rasa dan unjuk gigi. Kegelisahan barangkali hanya milik para pemegang kekuasaan yang tidak ingin kekuasaannya terganggu, bukan para penggedor kekuasaan yang juga ingin diberi kesempatan. Itulah era disrupsi yang berselimut pesimisme sekaligus mengobarkan optimisme.