Merindukan Kemerdekaan Sejati

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat menghadiri Sidang Tahunan Tahun 2020 di gedung kura-kura, Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (13/8/2020). Presiden Joko Widodo mengenakan baju adat Sabu dari Nusa Tenggara Timur (NTT). | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Tak terasa, tiga hari lagi, kita akan memperingati 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Pada hari Senin, 17 Agustus 2020, setiap anak bangsa, harus menundukkan kepala, beberapa menit, untuk mendoakan para pahlawan yang gugur, agar bangsa ini berdiri. Doa kita, akan melapangkan kubur mereka. Dan doa kita, akan membawa harapan, bagi Indonesia ke depan.
Hari ini, seluruh rakyat Indonesia, telah menyaksikan pidato kenegaraan presiden RI (Jokowi), dalam sidang tahunan MPR RI. Jika kita amati isi pidato kepala negara tersebut, maka presiden Jokowi, telah membawa rasa optimisme bagi bangsa dan rakyatnya. Karena isi pidatonya, bernilai positif dan dimbil dari cerita-cerita yang baik-baik.
Namun, pidato Jokowi tersebut terkesan normatif. Pidato yang hanya mengungkap dan berisi, sisi baik pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Namun tak mengungkap secara objektif, kebobrokan, kongkalingkong, permainan, dan intrik-intrik politik yang telah dilakukan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
baca juga:
Paling tidak harus diungkap secara jujur, bukan hanya kelebihan dan prestasi, atas apa yang telah dikerjakan. Namun yang paling penting adalah, melakukan refleksi, evaluasi, dan introspeksi diri, akan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga negara tersebut terhadap rakyat.
Memang sangat tak mungkin, Presiden bicara kejelekan, kebobrokan, dan minus pemerintahannya sendiri. Apalagi dilakukan dalam sidang tahunan MPR RI. Yang tentu disaksikan oleh jutaan pasang mata rakyat Indonesia.
Pidato presiden juga, hanya berbicara satu sudut pandang saja. Hanya sudut pandang pemerintah, parlemen, dan lembaga yudikatif. Tapi tidak mengungkap sudut pandang lain, yaitu sudut pandang rakyat. Yang telah banyak dirugikan, karena kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara tersebut.
Pidato Jokowi tersebut terlihat indah, dalam rangkaian kata di atas kertas. Namun fakta dan implementasinya, tak seindah isi pidatonya. Bicara pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum. Tapi faktanya KPK dibunuh, dan pelan-pelan akan dikubur. Tak mungkin kita mengandalkan penegak hukum yang ada. Karena semuanya bisa “dimainkan” dan ada dalam genggaman kekuasaan.
Bicara demokrasi. Tapi nyatanya rakyat takut untuk mengkritik pemerintah. Sedikit saja rakyat mengkritik, langsung di kriminalisasi dan ditangkap. Aktivitas media sosial rakyat dipantau. Kegiatan barisan oposan juga diawasi. Dan rakyat juga banyak dimanipulasi, oleh pemberitaan-pemberitaan yang menguntungkan pihak penguasa.
Parlemen juga mandul. Tak ada yang mau jadi oposisi. PKS yang mengklaim diri sebagai partai oposisi pun, tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sering larut dan ikut, dalam permainan politik pihak koalisi pemerintah.
Tak ada checks and balances. Parlemen dikuasai oleh koalisi pemerintah. Artinya apa yang dimau oleh pemerintah, pasti akan disetujui oleh DPR. Karena tak ada kontrol yang kuat dari parlemen, akhirnya pemerintah bisa mendikte parlemen, sehingga demokrasi menjadi rusak. Apa yang dimau pemerintah, selalu dieksekusi oleh parlemen, padahal banyak yang bertentangan dengan kehendak rakyat.
Oleh karena itu, tak aneh dan tak heran. Jika banyak kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh pemerintah, walaupun itu bertentangan dengan aspirasi publik, seperti revisi UU KPK, dan lain-lain, langsung disetujui dan ditempel oleh DPR.
Demokrasi bisa mati dan bisa terkubur. Bersamaan terkuburnya KPK. 75 tahun Indonesia merdeka, bukan demokrasi yang terkonsolidasi dan merdeka. Demokrasi justru telah dibajak oleh kekuatan oligarki dan politik dinasti. Akhirnya, demokrasi hanya ada di atas kertas dan teori. Faktanya, bangsa ini sedang memperkuat dan membudayakan oligarki dan politik dinasti.
75 tahun Indonesia merdeka. Namun rakyatnya belum merdeka. Sumber Daya Alam (SDA), bukan lagi dikuasai negara. Tapi sudah banyak dikuasai swasta. Kemiskinan masih ada dimana-mana. Kebodohan masih merajalela. Bangsa ini belum bebas. Belum merdeka. Ya, belum merdeka dari kemiskinan dan kebodohan.
Peringatan kemerdekaan di tengah pandemi, juga telah banyak membawa derita. Karena rakyat banyak yang hidupnya susah dan makin susah, yang miskin, juga makin miskin.
75 sudah cukup bangsa ini untuk bangkit. Bangkit dari segala keterpurukan. Karena salah kelola dan salah urus. Pidato Jokowi yang optimistis itu harus dilakukan, dan kita sebagai rakyat juga harus optimis. Namun optimis dalam pidato, juga harus termanifestasikan dalam kebijakan dan dapat diimplementasikan di lapangan.
Optimis itu harus. Merdeka juga harus. Namun, jika rasa optimisme dan kemerdekaan itu hanya ada dalam kata-kata. Tak pernah ada dalam kenyataan, maka optimisme dan kemerdekaan itu hanya ilusi. Hanya bisa dibayangkan dan dikatakan. Tapi tak bisa dirasakan dan dinikmati.
Kita semua merindukan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan yang abadi. Bukan kemerdekaan semu. Bukan kemerdekaan seremoni. Dan bukan kemerdekaan yang basa-basi. Dan bukan kemerdekaan yang hanya dinikmati segelitir elite. Tapi tak menyentuh rakyat.
Nikmat kemerdekaan harus kita syukuri. Optimisme kepala negara juga harus direnungkan. Kesulitan rakyat juga harus terselesaikan. Kemiskinan dan kebodohan juga harus dihilangkan.
Boleh kita berteriak merdeka. Namun jika tak punya beres di rumah. Itu artinya belum merdeka. Belum sejahtera. Belum menikmati kemerdekaan dan kesejahteraan sejati. Boleh kita lantang mengatakan merdeka atau mati. Namun jika masih punya banyak utang, itu juga belum merdeka.
Merdeka itu bebas. Bebas dari kolonialisme. Bebas dari kemiskinan. Bebas dari kebodohan. Dan bebas melakukan apapun yang disertai tanggung jawab. Di hari kemerdekaan Indonesia ke 75 tahun ini, marilah kita jadi manusia merdeka. Manusia Indonesia merdeka lahir dan batin.
Kemerdekaan sejati yang kita rindukan akan hadir. Jika para pengelola negara ini, ada dijalan yang benar, tak membudayakan kemunafikan, tak korupsi berjamaah, tak mementingkan diri, keluarga, dan partainya. Selama para penyelenggara negara tak mau berubah, maka kemerdekaan itu hanya ilusi.[]