Demokrasi dalam Genggaman Oligarki

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin saat mengadakan rapat pleno ke-36 di Gedung MUI, Proklamasi, Jakarta, Rabu (20/2/2019). Dalam rapat pleno yang menghadirkan sejumlah ormas islam, ulama serta cendikiawan muslim ini seharusnya menghadirkan pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandi, namun keduanya tidak bisa hadir karena sudah ada jadwal kegiatan. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Peringatan dua puluh dua tahun reformasi, telah kita lalui. Reformasi Tahun 1998 terjadi, salah satu faktornya, masyarakat rindu dengan demokrasi, dan itu tak tersedia di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto. Demokrasi dibajak dengan hadirnya kepemimpinan tokoh yang otoriter. Rakyat dibungkam, dan rezim Soeharto pun, berkuasa kurang lebih tiga puluh dua tahun.
Setelah dua puluh dua tahun reformasi berjalan, tak ada perubahan dan tak ada kemajuan, dalam proses demokratisasi di republik ini. Demokrasi cenderung menjadi mundur, penguasa ingin memaksakan kehendak, partai-partai politik tak aspiratif, oposisi mandul, dan rakyat diabaikan aspirasi dan kehendaknya.
Dalam banyak kasus, rakyat hanya menjadi objek. Bukan menjadi subjek. Dalam negara yang mengaku menjunjung nilai-nilai demokrasi, maka sejatinya rakyatlah yang harus menjadi subjek. Bukan menjadi objek penderita. Menjadi subjek adalah penentu. Sedangkan menjadi objek adalah korban.
baca juga:
Rakyatlah sang pemilik kedaulatan. Bukan pejabat atau elite yang merasa berkuasa. Dan merasa pemilik negara. Rakyat yang sejatinya sebagai pemilik negeri ini, justru terasing, karena sikap elite yang tak berpihak pada rakyatnya sendiri.
Demokrasi hanya seperti "seolah-olah". Seolah-olah demokrasi, padahal isinya oligarki. Seolah-olah demokrasi, padahal kenyataannya, berlomba-lomba membangun politik dinasti. Demokrasi juga berjalan hanya prosedural. Pilkada ada. Pileg dan Pilpres dilaksanakan. Tapi substansinya kosong.
Sejak Orde Baru, bahkan hingga kini, institusi-institusi pemerintah atau negara, bisa dibeli dengan uang. Dan bisa dibarter dengan rupiah. Bagaimana kasus Djoko Tjandra, membuat kita geleng-geleng kepala. Karena banyak penegak hukum, yang bisa dibeli dengan uang.
Tak heran, republik ini menjadi sarang para penjahat, pemeras, koruptor, begal, maling, perampok, penjambret, dan para penipu. Kemunafikan dibudayakan dan dilanggengkan. Sehingga Indonesia diambang kehancuran.
Tak dipungkiri, banyak yang diuntungkan dan menikmati, irama permainan orkestra para pengkhinat bangsa tersebut. Di negeri yang mengaku demokrasi ini, berdemokrasi menjadi sesuatu yang mahal. Ada yang mengkritik dicurigai. Bahkan ujungnya diserang balik.
Rakyat salah sedikit ditangkap dan dipidanakan. Pejabat salah banyak, dibiarkan. Rakyat menjadi ketakutan, untuk bisa mengkritik penguasa dan para pembesar di negeri ini. Tokoh-tokoh bangsa mengkritik, juga dibungkam. Dan dicari-cari kesalahan dan dosa-dosanya agar diam.
Ketika demokrasi sudah tak sesuai dengan kodratnya. Ketika demokrasi sudah tak sesuai dengan nilai-nilainya. Dan ketika demokrasi hanya menjadi sekedar asesoris, maka lambat laun demokrasi akan mati. Akan terkubur dikalahkan oleh kuatnya oligarki dan dinasti politik.
Demokrasi di negeri ini sedang tersumbat, arah bangsa juga tak jelas, pertumbuhan ekonomi minus, APBN jebol, utang menggunung, kehidupan rakyat makin sulit, corona tak bisa dikendalikan, pengangguran dimana-mana, pejabat mengumbar kemewahan, dan jika kita audit, kita sudah tahu uangnya dihasilkan dari mana.
Karena bangsa ini sedang tidak happy, sedang tidak baik-baik saja, dan sedang tidak on the track, maka wajar jika ada beberapa tokoh bangsa yang di gawangi Din Syamsuddin, mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).
Hak para tokoh-tokoh tersebut untuk berorganisasi, berkumpul, berserikat, serta menyatakan pendapat, termasuk untuk mengkritik pemerintah. Karena semua itu dijamin oleh konstitusi.
Kehadiran KAMI bagaikan oase di padang pasir, bagaikan lilin di tengah gelapnya kehidupan, dan bagaikan rembulan ditengah gelap-gulitanya malam. Walaupun aksinya masih harus kita lihat ke depan. Namun keberanian untuk berbeda dengan pemerintah. Dan keberanian untuk bersebrangan dengan arah angin, patut kita apresiasi.
KAMI muncul, bisa jadi karena oposisi, yang dilakukan partai politik tumpul. Bukan hanya karena minoritas di parlemen. Tetapi partai oposisi, juga tak berdaya jika berhadapan dengan kepentingan dan kekuasaan.
Kasus penambahan pimpinan Ketua MPR, partai oposisi diam seribu bahasa, karena sama-sama dapat jabatan. Kasus revisi UU KPK, partai oposisi juga tenggelam, bersama-sama partai koalisi pemerintah, berusaha melemahkan, melumpuhkan, dan membunuh KPK. Dan dalam kasus-kasus lainnya, kekuatan oposisi di parlemen juga tak bisa diharapkan.
Demokrasi itu butuh check and balence. Butuh keseimbangan kekuatan, di eksekutif dengan legislatif. Butuh kontrol yang kuat dari legistatif, terhadap jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh eksekutif. Jika parlemennya mandul. Jika lembaga legislatifnya, banyak kongkalingkong dengan eksekutif. Dan jika DPR nya sudah tak memihak pada rakyat. Maka kekuatan non parlementer akan muncul.
Gerakan-gerakan ekstra parlementer akan banyak muncul ke depan, jika demokrasi dalam ancaman dan dalam genggaman oligarki dan dinasti politik. Dan jika demokrasi, hanya jadi alat kepentingan bagi yang punya kekuasaan.
Bangsa ini sedang menghadapi ancaman resesi ekonomi, rakyat akan semakin sulit hidup dan kehidupannya, akan banyak yang tak bisa makan dan kelaparan, yang miskin akan semakin miskin, yang menderita akan bertambah penderitaannya. Jangan biarkan rakyat berjuang sendirian. Dan jangan biarkan rakyat mati kelaparan.
Negara harus hadir di tengah-tengah rakyat yang sedang kesulitan. Pemerintah berkewajiban membantu rakyatnya yang hidupnya menderita. Dan pejabat harusnya, bahu-membahu menolong rakyat yang miskin.
Demokrasi di republik ini harus diselamatkan. Demokrasi tak boleh hilang dan mati dari negara ini. Demokrasi harus kita jaga. Apapun resikonya. Ya, apapun resikonya. Karena sangat mahal biayanya, jika kita kembali ke sistem otoriter.
Jangan biarkan, demokrasi ada dalam genggaman para oligarki, yang bersekutu dengan kekuatan dinasti politik. Dan jangan biarkan demokrasi hanya berjalan prosedural dan seolah-olah.
Sesulit apapun masalah kita, dan seburuk apapun kondisi bangsa kita, bangsa ini tetaplah harus optimis, anak bangsa juga harus tetap optimis. Justru inilah tantangan dan peluang bagi kita, untuk memperbaiki bangsa ini. Biarkan mereka merusak bangsa. Dan biarkan juga kita-kita yang memperbaiki bangsa ini.
Mari kita bersama-sama, mengawal proses demokratisasi di republik ini. Dan mari kita juga bersama, bahu-membahu dan bergotong royong untuk berbuat yang terbaik untuk bangsa ini. Jangan biarkan demokrasi tenggelam. Dan jangan biarkan juga bangsa ini karam. Oleh karena itu, bertahanlah, dan berjuanglah.
Bangsa ini memubutuhkan anak-anak bangsa yang berjiwa ksatria. Bukan menjadi pengkhianat bangsa. Kawal demokrasi agar tetap tegak berdiri. Dan jaga bangsa ini agar gagah perkasa. Save demokrasi Indonesia.[]