Islam Yang Mewarna-Warni

Kyai Tubagus Muhammad Tamyiz menunjukkan Al Quran mini bertinta emas di Masjid Jami Daarussalaam, Pasir Jambu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/5/2019). Al Quran mini dengan ukuran 10 mm x 10 mm tersebut seluruh aksaranya ditulis tangan menggunakan tinta emas serta ditulis di atas lembaran kulit kayu, dan merupakan barang bersejarah peninggalan Pangeran Wijaya Kusuma salah satu pahlawan yang berjuang pada zaman kolonial Belanda. | ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
AKURAT.CO, Islam terlahir dua kali. Pertama kali ketika Muhammad bin Abdullah dilahirkan dan kali kedua ketika Al-Qur’an diturunkan. Mana yang lebih penting dari keduanya? Jika dipahami bahwa jika tidak ada Muhammad bin Abdullah, maka tidak ada Al-Qur’an yang turun, maka kelahiran Islam yang pertama lah yang penting.
Jika dipahami bahwa Muhammad bin Abdullah dilahirkan untuk menerima Al-Qur’an, maka kelahiran Islam yang kedua lah yang penting. Tapi barangkali lebih aman jika dikatakan bahwa kedua-duanya penting karena pada keduanyalah inti ajaran Islam itu sendiri, bukan hanya pada Al-Qur’an dan bukan hanya pada manusia, tetapi pertemuan keduanya pada sebuah titik.
Ada filosofi berbeda dari kedua awal kelahiran Islam tersebut. Jika kelahiran Islam ditekankan pada kelahiran Muhammad bin Abdullah, maka itu ibarat peristiwa kelahiran yang bottom up, dari bumi dan tanah dengan segala profanitasnya dan naik menggapai langit. Jika kelahiran Islam ditekankan kepada turunnya Al-Qur’an, maka itu ibarat peristiwa top down, dari langit dengan segala sakralitasnya ke bumi. Dan keduanya berjumpa di sebuah tempat bernama Gua Hira.
baca juga:
Sebagai seorang anak manusia, Muhammad bin Abdullah memang sangat manusiawi dalam ukuran yang penuh kekurangan. Tidak ada sama sekali kekuatan super yang menemaninya. Beliau terlahir dari klan yang memiliki kehormatan sebagai penjaga Ka’bah tetapi tidak memiliki harta yang melimpah, sehingga kekuasaan relatif berada di tangan mereka yang kaya.
Beliau terlahir tanpa ayah di masyarakat yang mengagungkan laki-laki dan menghinakan perempuan. Ibunya pun tidak lama menemani karena menyusul suaminya kala Muhammad bin Abdullah masih kecil yang membuat Muhammad bin Abdullah harus berpindah-pindah pengasuhan ke kakeknya, Abdul Muthalib dan hingga pamannya, Abu Thalib.
Kelemahan ekonomi dan penindasan ekonomi, kelemahan posisi perempuan dan penindasan perempuan, kelemahan posisi sosial-politik dan penindasan sosia-politik, kelemahan posisi ras dan perbudakan, serta kelemahan-kelemahan lain adalah hal-hal yang dilihat oleh Muhammad bin Abdullah sehari-hari dan bahkan dialaminya sendiri. Itu pula yang membawa beliau melakukan permenungan di Jabal Nur, sebuah tempat yang agak jauh dari kota Makkah. Semua itulah yang nantinya mewarnai ajaran Islam yang dibawanya: pembelaan terhadap kaum lemah!
Lalu Al-Quran turun dengan spirit yang sama, yaitu pembelaan terhadap kaum lemah. Pada saat itulah pesan-pesan sakral berjumpa dengan kenyataan profan, berjumpa pula kenyataan subejektif Nabi Muhammad saw dan segala kenyataan manusiawinya dengan kenyataan objektif Al-Qur’an dan segala kenyataan Ilahinya. Pada saat itu pula ajaran Islam menjadi mewarna-warni. Karena itu, warna-warni Islam adalah wilayah kompromi atas kenyataan manusiawi dengan pesan-pesan Ilahi.
Warna-warni ajaran Islam tidak terjadi pada pembelaan terhadap kaum lemah karena itulah misi utamanya, tetapi terjadi pada cara mewujudkan pembelaan terhadap kaum lemah itu. Al-Qur’an tidak sempat mengharamkan perbudakan karena memang kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk itu. Tapi apakah Al-Qur’an meridhai perbudakan? Tentu saja tidak.
Buktinya, Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk memerdekakan budak dan menentang perbudakan oleh manusia atas manusia. Tidak sempatnya Al-Qur’an mengharamkan perbudakan adalah bentuk warna-warni Islam (dalam hal ini Al-Qur’an) yang memang harus berkompromi dengan kenyataan sosial, politik, dan ekonomi manusia. Itu terjadi pada hal-hal yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Bagaimana dengan hal-hal yang tidak terlalu mendasar di dalam ajaran Islam?
Pada hal-hal yang tidak terlalu mendasar dalam ajaran Islam, maka Islam sangat membuka ruang kompromi. Ada sebuah contoh yang cukup terkenal. Di sebuah wilayah di mana banyak penganut agama Hindu yang amat menghormati sapi, sedangkan umat Islam mempunyai Hari Raya Kurban dan salah satu hewan kurban yang paling banyak diminati di Indonesia adalah sapi. Maka pemuka agama pada waktu itu menganjurkan umat Islam untuk menyembelih kerbau daripada sapi demi menghormati penghormatan umat Hindu terhadap sapi.
Kala banyak budaya melanggengkan kepemimpinan secara turun-temurun, Islam tidak mengikutinya lewat contoh nabinya yang tidak mewariskan kepemimpinannya kepada keturunannya. Itu adalah tanda keteguhan ajaran Islam untuk menjaga pembelaan terhadap kaum lemah karena sebuah kepemimpinan yang otoriter dan kepemimpinan berdasarkan keturunan sangat membuka lebar kemungkinan kepada penindasan akibat adanya penguasa yang langgeng tak tergantikan.
Yang membuat warna-warni Islam semakin meriah adalah ketika ajaran Islam merembes ke dalam budaya. Indonesia adalah contoh paling mutlak betapa berwarna dan meriahnya orang beragama Islam. Dimulai dari perayaan kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal dengan Maulid Nabi. Ada tradisi Bunga Lado di Padang Panjang Sumatera Barat, yaitu tradisi membuat pohon hias yang berdaun uang. Uang tersebut ditempel pada ranting pohon yang dihias agar telihat menarik. Uang itu nantinya dikumpulkan untuk menjadi sumbangan bagi pembangunan atau renovasi rumah ibadah.
Di Takalar, Sulawesi Selatan, masyarakat merayakan Maulid Nabi dengan berjalan beriringan memikul julung-julung. Julung-julung tersebut berisikan telur ayam, beras, ketan, mukena, dan berbagai barang lainnya yang nantinya diperebutkan oleh masyarakat dengan riang gembira. Ramadhan tidak kalah meriah di Indonesia berbagai tradisi ceramah, buka puasa bersama, hingga makanan berbagai rupa. Lebaran pun demikian, ada ketupat, opor ayam, buras, dan sebagainya.
Tidak mungkin menolak warna-warni beragama dalam Islam karena justru itulah kekuatan Islam, bahkan dicontohkan oleh Al-Qur’an itu sendiri dengan turun berangsur-angsur dalam perjalanan sejarah. Warna-warni dalam keberagamaan Islam adalah kekuatan Islam itu sendiri, bukan kekurangannya.[]