Menjual Tubuh

Afriadi, S.Fil.I., M.IKom, Anggota Dewan Redaksi Akurat.co | Dok. Akurat.co
AKURAT.CO, Prostitusi online, praktik menjual tubuh untuk aktivitas seksual yang difasilitasi sarana komunikasi daring dalam bertransaksi, telah menjadi trend atau bahkan seperti menjadi alternatif yang lebih aman. Dengan daya cakup yang relatif tak terbatas, praktik ini amat mudah terjadi di berbagai kalangan masyarakat. Kalangan artis dan model banyak terlibat dalam transaksi ini. Salah satu kasus terbaru adalah yang melibatkan artis berinisial VS yang diamankan kepolisian di darah Bandar Lampung, hari ini (29/07). Sebelumnya, artis FTV berinisial HH juga digelandang kepolisian di wilayah Medan pada 13 Juli lalu.
Menjadi salah satu profesi tertua di dunia, praktik prostitusi pada dasarnya tak pernah bisa diberantas di hampir seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia. Secara politik, cukup banyak negara yang pada akhirnya mengatur prostitusi dengan cara melegalkan di tempat-tempat tertentu (lokalisasi), di samping negara-negara yang betul-betul mengharamkan dan terus berusaha memberantasnya.
Indonesia sendiri pernah memiliki beberapa lokalisasi, meskipun secara hukum tak bisa dikategorikan benar-benar legal. Namun, terutama karena alasan dan desakan kelompok-kelompok keagamaan dan kemanusiaan, tempat-tempat prostitusi “setengah resmi” tersebut ditutup. Namun, kita tahu, praktik prostitusi tak pernah benar-benar bisa diberantas.
baca juga:
Pertanyaan kemudian, kenapa prostitusi tak bisa diberantas? Karena tak pernah bisa diberantas, tidakkah prostitusi itu pada dasarnya sesuatu yang alamiah, yang tak mesti dilarang? Tidakkah prostitusi itu terkait dengan hak manusia atas tubuhnya? Apakah bedanya menggunakan tubuh untuk prostitusi dengan menggunakan tubuh untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya? Jika praktik prostitusi memang merupakan persoalan sosial, bagaimana sebaiknya menanganinya?
Salah satu jawaban unik dan mendasar diberikan oleh filosof Perancis, Michel Foucault (1926-1984). Pada 1977, Michel Foucault ditanya pendapatnya oleh salah satu komisi dalam pemerintahan tentang reformasi hukum terkait dengan kejahatan seksual. Dia tidak menyebut prostitusi sebagai kejahatan seksual dan menentang pelarangan konten-konten yang mengandung unsur seksual. Foucault secara eksplisit hanya menyebutkan dua bentuk tindakan seksual yang betul-betul harus menjadi perhatian hukum: pemerkosaan dan hubungan seksual dengan anak-anak.
Jawaban Foucault ini tentu saja sejalan dengan pemikirannya secara umum. Kurang lebih ia menyatakan bahwa manusia semestinya berkuasa penuh atas tubuhnya. Akan tetapi, lembaga sosial seperti negara dan agama, atas dasar berbagai alasan, berusaha membatasi kekuasaan tersebut. Agama, misalnya, mengatur tubuh manusia supaya tak berzina. Sedangkan negara mengatur tubuh manusia supaya patuh dan produktif.
Dalam Discipline and Punish: The Birth of The Prison (1975), pengaturan ini disebut oleh filosof Perancis, Michel Foucault, sebagai bentuk pendisiplinan. Pendisiplinan bertujuan untuk melahirkan "docile bodies", tubuh-tubuh yang patuh, yang siap dikendalikan dan diperintah. Tubuh-tubuh ini sesuai dengan kebutuhan tata ekonomi, politik dan kesejahteraan dalam abad industri: bekerja di pabrik-pabrik, kebutuhan militer dan ruang-ruang kelas.
Dengan kata lain, pendisiplinan akan melahirkan tubuh-tubuh yang tidak akan menyimpang (delinquents), yakni yang tidak akan mengganggu atau merusak tatanan sosial yang diidealkan dalam suatu welfare state, negara kesejahteraan berdasar kepatuhan warga negara. Di antara alat-alat yang digunakan untuk pendisiplinan adalah penjara, sekolah, rumah sakit dan pabrik.
Lebih lanjut, dalam History of Sexuality (1976) Foucault menyebut pembangunan dan pengembangan tatanan sosial melalui pengaturan tubuh dalam suatu lembaga negara ini sebagai biopolitik. Ini merupakan alat yang beroperasi sedemikian rupa untuk menjinakkan manusia dalam suatu populasi, sehingga mereka tidak lagi memiliki otonomi penuh atas tubuhnya, dan oleh karena itu bertindak atas dasar kepatuhan.
Dalam biopolitik, negara dengan berbagai lembaga di dalamnya memiliki biopower, yakni kuasa atau kekuatan politik yang dengan berbagai cara merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan manusia dan selanjutnya mengendalikan mereka. Mengutip Foucault, biopolitik adalah untuk “memastikan, melanggengkan, dan memultiplikasi kehidupan” di mana tujuan akhirnya adalah untuk “memastikan orde dalam kehidupan”.
Namun, pada kenyataannya, pengaturan tubuh manusia tak bisa dikatakan sepenuhnya berhasil. Di tengah keberadaan berbagai lembaga yang menjadi mesin penegakan orde sosial—seperti hukum dan agama—praktik-praktik menjual kemolekan tubuh, alias prostitusi, karena motif ekonomi ataupun kesenangan tetap terjadi. Bahkan semakin keras dan beragam bentuk institusionalisasi sosial, semakin canggih juga muncul praktik-praktik baru.
Seiring dengan itu, dalam peraturan hukum Indonesia, prostitusi sebenarnya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 281-283 hanya mengatur tentang pelanggaran kesusilaan, Pasal 284 mengatur tentang larangan perzinahan, dan Pasal 296 serta 506 tentang mucikari atau makelar perbuatan cabul. Kesusilaan terkait dengan kejahatan kesopanan di muka umum, perzinahan berhubungan dengan status menikah-tidak menikah seseorang dan kemucikarian terkait dengan fasilitasi seks berbayar.
Demikian pula dengan undang-undang yang lebih baru. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya mengatur distribusi, transmisi, dan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan muatan yang melanggar kesusilaan. Artinya, selaras dengan KUHP, Pasal ini pada dasarnya mengatur tentang pelanggaran kesusilaan dalam satu konteks sosial.
Singkat kata, tidak ada larangan prostitusi di mana seseorang terlibat dalam praktik menjual kemolekan tubuhnya untuk aktivitas seksual dalam rangka untuk mendapatkan bayaran tanpa perantara. Negara melalui undang-undang hanya mengatur hal-hal terkait kesusilaan sejauh itu berhubungan dengan ketertiban dan kenyamanan umum. Demikian pula, negara mengatur bagaimana eksploitasi seksual terhadap perempuan tidak terjadi, yakni terkait adanya mucikari yang mengambil keuntungan dengan memfasilitasi perbuatan cabul.
Jika demikian halnya, hemat saya, dengan belajar dari analisis Foucault dan apa yang tertera dalam KUHP, ada dua catatan pokok. Pertama, dengan kembali pada definisi umum dari prostitusi sebagai sebagai bisnis atau praktik layanan atau komersialisasi seksual demi upah tertentu, sampai kapan pun, negara atau lembaga sosial apapun tak akan pernah berhasil memberantasnya. Tindakan memberantasnya tak akan lebih dari upaya menghalau bayang-bayang.
Kedua, penyelenggara negara—legislatif, eksekutif dan yudikatif— harus lebih fokus pada aspek kesejahteraan, ketertiban sosial dan hak asasi manusia. Artinya, campur tangan negara adalah di wilayah-wilayah yang potensial bagi terjadinya praktik-praktik seksual eksploitatif, seperti pemerkosaan, pedofilia, dan perdagangan manusia, serta langkah-langkah preventif berorientasi ekonomi.[]