Partisipasi Milenial dalam Kontestasi Elektoral

Dua orang wanita menunjukan jarinya yang bertinta usai melaksanakan pencoblosan Pilkada Jawa Barat di TPS 9, Jalan Abdul Sahab, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Rabu (27/6/2018). Di TPS 9 Sawangan, Kota Depok ini ada sekitar 237 pemilih yang tertera di daftar pemilih tetap (DPT) untuk ikut dalam pelaksanaan pilkada serentak 2018 di kawasan Jawa Barat. Ada empat calon pasangan yang maju dalam pemilihan Gubernur Jabar 2018 ini, mereka adalah Ridwan Kamil - Uu Ruzhanul Ulum (Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura), Hasanuddin - Anton Charliyan (PDI-Perjuangan), Sudrajat - Ahmad Syaikhu (PKS, PAN, dan Gerindra), Deddy Mizwar - Dedi Mulyadi (Golkar dan Demokrat) | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Pada 9 Desember 2020, negara kita akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak di 270 wilayah, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Pilkada adalah sarana demokrasi di tingkat lokal untuk melahirkan pemimpin (Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupti dan Walikota-Wakil Walikota) terbaik guna mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Milenial diharapkan berkontribusi besar dalam kontestasi elektoral tersebut. Kontribusi milenial bisa dimulai dengan partisipasi aktif mengawal setiap tahapan Pilkada, mulai pemutakhiran daftar pemilih, pencalonan, kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara, Harapannya semua tahapan itu dijalankan dengan kualitas prima berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang free and fairness.
Pertama, dalam konteks pemutakhiran daftar pemilih. Pemutakhiran data pemilih dilaksanakan mulai 15 Juli 2020 sampai 13 Agustus 2020 melalui pencocokan dan penelitian (coklit) langsung ke rumah-rumah pemilih oleh petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP). Hasil coklit dari PPDP ditetapkan menjadi daftar pemilih sementara (DPS) dalam setiap tingkatan, dari desa/kelurahan, kecamatan sampai kabupaten dan provinsi.
baca juga:
DPS kemudian diumumkan ke masyarakat untuk mendapat tanggapan. DPS dilakukan perbaikan hasil tanggapan masyarakat untuk ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT) pada 16 Oktober 2020 mendatang. Ada waktu sekitar 4 (empat) bulan bagi KPU Kabupaten/Kota untuk penyusunan daftar pemilih yang benar-benar akurat, bersiha dan mutakhir.
Partisipasi milenial dalam proses ini sangat penting dan menentukan akurat, bersih dan mutakhir tidaknya daftar pemilih. Makin tinggi tingkat partisipasi masyarakat makin besar pula menghasilkan dafatr pemilih berkualitas. Partisipasi milenial bisa dalam bentuk individu atau kelompok maupun dengan cara berkolaborasi dengan Bawaslu di masing-masing kabupaten/kota.
Partisipasi bisa dalam wujud melaporkan langsung ke PPDP, PPS, PPK atau KPU Kabupaten/Kota jika terdapat pemilih meninggal dunia, TNI/Polri, pemilih belum genap berusia 17 tahun atau lebih dan belum menikah, masih terdaftar dalam daftar pemilih; pemilih yang memenuhi syarat tetapi belum terdaftar dalam daftar pemilih; serta melaporkan jika PPDP tidak melakukan coklit secara door to door atau turun ke lapangan (rumah).
Kedua, dalam konteks pencalonan. Milenial harus mampu memainkan peran sebagai educated man dalam rangka menghadirkan calon-calon kepala daerah yang kompeten, visioner dan berintegritas. Meskipun pencalonan adalah ranah partai politik, tetapi milenial harus ikut menjadi pelopor sekaligus kekuatan moral (moral force) lahirnya mekanisme demokrasi di tubuh partai politik.
Harapannya partai politik memiliki aturan yang akuntabel dan transparan mengenai rekruitmen kader, khususnya kader yang akan dicalonkan dalam pilkada. Sehingga kader yang dicalonkan adalah figur yang berkualitas dengan rekam jejak (track record) yang baik, bersih, jujur, visioner serta pro pemberantasan korupsi.
Di tengah pandemi Covid-19 ini dibutuhkan figur pemimpin yang mampu mengatasi berbagai persoalan dengan cepat dan tuntas. Memimpin yang menjadi teladan bagi semua orang. Pemimpin yang mampu menggerakkan rakyatnya untuk bersatu mengatasi masalah bersama. Pemimpin yang mengayomi semua orang tanpa memandang status sosial, suku, agama, kultur dan budaya.
Ketiga, dalam konteks kampanye. Kampanye menjadi momentum masyarakat, khususnya milenial, untuk menilai program kerja serta visi dan misi para pasangan calon. Apakah program kerja itu sesuai dengan keinginan dan harapan serta berpihak masyarakat atau sebaliknya. Kampanye juga menjadi momentum penting untuk mengetahui tekam jejak (track record) masing-masing pasangan calon.
Pada ranah ini, milenial harus ikut berpartisipasi dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat mengenai pentingnya pemilih pemimpin yang baik. Memilih pemimpin tidak semata-mata soal janji manis saat kampanye, tetapi soal komitmen dan kepedulian serta niat pengabdian untuk membangun kemajuan daerah. Tanpa dilandasi niat tulus mengabdi, sulit bagi kepala daerah merealisasikan berbagai program dan janji-janjinya.
Sudah banyak contoh daerah yang maju dan berkembang pesat sesuai dengan potensi daerahnya ketika dipimpin figur yang tepat. Sebaliknya, sudah banyak pula contoh dimana kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) yang terpilih ditangkap KPK atau penegak hukum karena melakukan abuse of power dan melanggar sumpah janji.
Keempat, dalam konteks pemungutan dan penghitungan suara. Milenial harus ikut berpartisipasi aktif dalam memberikan suaranya di TPS. Jumlah kaum muda dengan rentang usia 17-30 tahun diperkirakan mencapai angka sekitar 33.877.029 orang atau setara 32% dari 105.865.716 daftar pemilih sementara dalam Pilkada 9 Desember 2020. Jumlah tersebut sangat mempengaruhi terpilihnya figur kepala daerah berkualitas.
Di tengah kontestasi elektoral dilaksanakan di masa pandemi Covid-19 dengan berbagai ketentuan protokol kesehatan, diprediksi mengurangi antusiasme masyarakat datang ke TPS. Kondisi ini bisa jadi dimanfaatkan oleh pasangan calon tertentu untuk melakukan cara-cara kotor seperti, politik uang (money politics) untuk mempengaruhi pemilih. Milenial harus ikut mengawal supaya praktik money politics ini tidak terjadi.
Kelima, setelah semua peran tersebut dijalankan dengan baik maka tugas terakhir milenial adalah mengawal kinerja kepala daerah terpilih. Bagaimana memajukan dan mengembangkan daerah, bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat, dan bagaimana memberantas kemiskinan, dan bagaimana kesejahteraan dan keadilan sosial diwujudkan.
Pada fase inilah pekerjaan paling krusial yang harus diwujudkan oleh kepala derah sesuai program kerja dan janji-janji kampanye. Milenial harus mampu mengawalnya sekaligus menjadi kontrol atas semua kebijakan yang dibuat. Mengingatkan tatkala janji-janji yang dikampanyekan tidak ditepati. “Menegur” ketika program kerja yang disusun tidak dijalankan. “Menjewer” jika pola kepemimpinannya melenceng dari aturan hukum, dan harus mendukung penuh serta mengawal sampai sukses jika kebijakan yang dibuat berpihak pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Supaya peran milenial tersebut berjalan efektif harus ada dukungan dari seluruh komponen masyarakat. Perubahan yang besar sulit diwujudkan tanpa dukungan pihak lain. Pada titik ini, kepaduan dan komitmen semua kelompok masyarakat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pilkada berkualitas dan melahirkan pemimpin berintegritas.
Sayangnya, banyak milenial (termasuk masyarakat) yang masih apatis terhadap politik. Mereka menganggap politik itu buruk, kotor, dan penuh noda. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, korupsi, penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, rekayasa hukum, manipulasi aspirasi masyarakat, yang dilakukan para elit (politik) dan pemimpin (kelapa daerah) menjadi alasan menguatnya apatisme masyarakat termasuk milenial.
Harus diakui bahwa praktik tersebut sering dipertontonkan secara telanjang ke masyarakat. Hal itu dikarenakan politik masih dimaknai semata-mata who gets what, when, and how—sebagaimana yang dikatakan Harold D. Lasswell, bukan sebagai arena pengabdian dan alat perjuangan untuk mencapai kesejahteraan serta kepentingan masyarakat.
Padahal esensi dari politik adalah untuk kepentingan dan kebaikan masyarakat. Seperti kata Gus Dur, politik itu mulai karena memperjuangkan kepentingan nasib orang banyak. Jika dijalankan dengan benar dan amanah, kemuliaan politik dapat dirasakan banyak orang. Sebaliknya, jika caranya buruk, keburukan politik juga akan dirasakan banyak orang. []