Dinasti Politik dan Pertaruhan Demokrasi

Putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka berjalan menuju kediaman Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Kunjungan Gibran terkait dengan pencalonan dirinya sebagai Calon Walikota Solo 2020. | AKURAT.CO/Dharma Wijayanto
AKURAT.CO, Pilkada serentak 9 Desember 2020 tahun ini. Bukan hanya menjadi isu lokal di daerah. Tetapi juga telah menjadi isu nasional. Pilkada menjadi menarik dan unik, karena para kontestannya, terdiri dari dan merupakan anak dan menantu presiden, anak wakil presiden, anak dan adik para menteri, dan dari keluarga pejabat lainnya.
Dinasti politik dalam Pilkada, tak bisa terhindarkan. Karena secara politik, para pejabat menginginkan keluarganya jadi kepala daerah. Merasa sedang berkuasa, merasa sedang menjadi pejabat, mumpung kuat, mumpung masyarakat hormat, kesempatan inilah yang dimanfaatkan para pejabat, untuk mendorong keluarganya, agar bisa menjadi pejabat untuk mengikuti jejaknya.
Dinasti politik di negara ini memang tak dilarang. Tak ada undang-undang dan aturan lainnya, yang melarang atau membatasi dinasti politik. Namun, dinasti politik sangat meresahkan. Karena mereka muncul tiba-tiba. Tak punya pengalaman politik dan birokrasi. Tak pernah berkeringat, dan berdarah-darah berjuang untuk partai. Lalu datang langsung menjadi calon kepala daerah.
baca juga:
Mengapa dinasti politik dibenci publik, itu karena dinasti politik muncul dan hadir, disaat rakyat sedang kesulitan menanggung beban hidup. Disaat rakyat sedang kesusahan. Karena banyak yang tak bisa makan. Kemiskinan dimana-mana, kobodohan merejalela, pengangguran membengkak, dan rakyat hidup dalam ketidakpastian.
Dinasti politik muncul, sebagai bagian dari keserakahan para pejabat, yang memaksakan diri dan ingin keluarganya berkuasa. Keangkuhan para elite, dalam menempatkan sanak familynya, menjadi penerus kekuasaannya.
Akhirnya, orang lain tak boleh berkuasa. Orang lain tak boleh menjabat apa-apa. Seolah-olah hanya keluarga pejabat tersebut, yang berhak untuk berkuasa dan memiliki jabatan. Seolah-olah rakyat yang berprestasi, tak boleh menjadi kepala daerah.
Dinasti politik akan selalu berkelindan dengan kasus korupsi. Karena secara terus menerus kasus-kasus korupsi ditutupi, oleh anak atau istri, dan keluarga lainnya yang menjadi kepala daerah. Jika sang suami menjadi kepala daerah, lalu mendorong istri atau anaknya, biasanya istri dan anaknya tersebut, jika terpilih nanti, ditugaskan untuk menjaga dan mengamankan kasus-kasus korupsi suami atau ayahnya.
Dinasti politik tak salah, jika yang didorong dan didukung adalah keluarga yang memiliki prestasi dan kemampuan yang mumpuni, berpengalaman dalam pemerintahan, dan amanah. Juga pernah merasakan gemblengan partai politik yang mendukungnya. Tidak tiba-tiba muncul, lalu berkuasa.
Namun, dinasti politik yang muncul akhir-akhir ini. Lebih diwarnai oleh politik aji mumpung. Mumpung ayahnya presiden, mumpung ayahnya wakil presiden, mumpung kakaknya menteri, mumpung ayah atau ibunya anggota DPR, dan mumpung keluarganya sedang jadi pejabat, maka mereka memperluas kekuasaannya, dengan cara mendorong keluarganya jadi kepala daerah.
Di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Soal dinasti politik pernah rame dan menjadi perbincangan publik. Karena ketika itu, dinasti politik akan diatur dalam revisi UU Pilkada. Paling tidak, ada jede waktu mencalonkan diri dalam Pilkada. Namun aturan pembatasan dinasti politik tak jadi diterapkan. Karena UU tak jadi disahkan.
Kini politik dinasti tak diatur dalam aturan apapun. Oleh karena itu, tak aneh dan tak heran, jika politik dinasti terus tumbuh dan berkembang terjadi di banyak daerah.
Dua puluh dua tahun reformasi telah berjalan. Bukan demokrasi yang terkonsolidasi dengan baik. Bukan demokrasi yang tumbuh dan berkembang. Tetapi oligarki dan politik dinasti yang semakin terkonsolidasi dan menguat.
Dalam satu daerah saja. Seperti di Tangerang Selatan, ada tiga kekuatan politik dinasti yang bertarung. Saras yang merupakan keponakan Prabowo, akan bertarung untuk memperebutkan kursi walikota Tangerang Selatan, dengan Azizah anak wapres, dan Pilar Saga Ichan, yang merupakan keponakan Airin walikota Tangerang Selatan saat ini.
Belum lagi Gibran, sang anak presiden. Akan dengan mudah menang di Pilkada Solo. Apalagi jika lawannya kotak kosong.
Bisa dibayangkan, yang berkompetisi dan yang bertarung di Pilkada Tangerang Selatan dan Solo, merupakan anak dan keponakan pejabat di negeri ini. Kenapa ini bisa terjadi. Karena mereka menguasai infrastruktur dan suprastruktur politik. Membangun oligarki di partai politik, kuat secara finansial, punya kekuasaan dan jabatan, memiliki jaringan, menguasai birokrasi, dan punya semua hal yang membuat mereka percaya diri, untuk berkontestasi di Pilkada.
Bagaimana dengan anak dan keponakan petani, nelayan, buruh, dosen, guru, pedagang, penjual kaki lima, pekerja profesional, dan profesi lain yang dari non pejabat, apakah bisa bersaing dengan mereka, para penguasa di partai politik, penguasa daerah dan penguasa Indonesia, dan juga penguasa finansial.
Konstruksi politik di negara ini, memang menguntungkan anak, menantu, adik, kakak, keponakan, sepupu, paman, bibi, suami, dan istri pejabat. Tak menguntungkan bagi keluarga, yang tak berlatarbelakang dinasti politik. Oleh karena itu, yang menjadi kepala daerah saat ini dan kedepan, kebanyakan akan diisi oleh anak dan keluarga pejabat.
Demokrasi sedang dipertaruhkan. Jangan sampai demokrasi dibajak oleh kekuatan oligarki dan politik dinasti. Demokrasi akan pudar dan hanya akan menjadi asesoris, jika oligarki dan politik dinasti semakin kuat, dan mengusai jabatan-jabatan politik di republik ini.
Masyarakat tak berdaya menghadapi kekuatan oligarki dan dinasti politik. Masyarakat hanya bisa mengelus dada, atas merebaknya dan menguatnya pola suksesi kepemimpinan daerah, melalui politik dinasti.
Namun rakyat punya hak untuk bersuara. Berhak untuk menyampaikan pendapatnya. Berhak untuk menyalurkan aspirasinya. Dan berhak untuk menjaga proses demokratisasi di negara ini.
Salah satu cara, agar rakyat bisa menjaga agar demokrasi on the track dan agar oligarki dan dinasti politik tak semakin menguat, adalah dengan menjadi rakyat dan pemilih yang cerdas. Suaranya tak bisa dibeli. Hak pilihnya merdeka. Dan memilih kepala daerah, berdasarkan kualitas calonnya. Bukan berdasarkan kuantitas isi kantongnya.
Pilkada 2020 merupakan pertaruhan kita dalam berdemokrasi. Apakah demokrasi akan dikalahkan oleh oligarki dan politik dinasti. Ataukah demokrasi memilih jalannya sendiri, yang sunyi dan tak bertepi. Keserakahan para pejabatlah, yang telah menjadikan negara ini, dikuasai oleh keluarga dan kelompoknya mereka.[]