Gibran dan Langkah Zig-zag dalam Pilkada

Bakal calon Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka berjalan usai menjalani uji kelayakan dan kepatutan penjaringan calon Wali Kota Solo di Kantor DPP PDI Perjuangan, Menteng, Jakarta, Senin (10/2/2020). Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap Gibran Rakabuming Raka dan pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa sebagai bakal calon Wali Kota Solo pada Pilkada Solo tahun 2020. | AKURAT.CO/Dharma Wijayanto
AKURAT.CO, Siapa yang tak tahu Gibran Rakabuming Raka. Putra sulung presiden Jokowi, yang sukses dalam bisnis kuliner, namun masih awam di dunia politik. Hari ini, DPP PDIP akan mengumumkan Gibran, sebagai calon walikota Solo yang diusung PDIP. Mengalahkan dan menyingkirkan kader senior PDIP Solo, Achmad Purnomo.
Langkah Gibran, untuk maju menjadi calon walikota Solo, itu merupakan haknya. Namun langkah tersebut, membuat rakyat geleng-geleng kepala. Membuat rakyat bertanya-tanya, apa yang sedang dimainkan Jokowi, yang mendorong anaknya, untuk menjadi kepala daerah.
Paling tidak, ada dua hal mengapa publik bertanya-tanya, terkait langkah ziz-zag Gibran, dari penjual martabak “markobar”, ingin menjadi walikota Solo. Pertama, kita sama-sama tahu dan paham, Jokowi pernah membuat pernyataan, bahwa anak-anak dan keluarganya tak akan berpolitik.
baca juga:
Kedua, mengapa PDIP meloloskan dan merekomendasikan Gibran, untuk menjadi calon walikota Solo. Padahal, Gibran tak lolos administrasi dalam pencalonan di internal PDIP.
Begitu cepat, langkah Gibran menuju calon walikota Solo. Gibran langsung di atas angin politik Solo. Dan menjadi isu politik nasional. Diawali dengan mudahnya mendapat kartu tanda anggota PDIP, lalu diterima Megawati di Jakarta. Dan hari ini diumumkan, menjadi calon walikota dari PDIP.
Dari awal, sejak kemunculan Gibran di politik, saya sudah membaca dan menganalisa, dia akan mudah menjadi walikota Solo. Dilihat dari kemampuan politik masih awam, pengalaman birokrasi nol, pengalaman mengelola partai nihil, dan pengalaman kepemimpinan juga tak ada.
Namun, kenapa PDIP mencalonkan Gibran. Bukan Purnomo, kader senior PDIP Solo. Itu artinya Gibran istimewa di mata PDIP. Istimewa karena dia anak presiden. Gibran diberi karpet merah oleh PDIP, karena dia anak Jokowi. Orang nomor satu di republik ini. Jika Gibran bukan anak presiden, tak mungkin PDIP mendukungnya.
Sejak Gibran melakukan langkah zig-zag, untuk maju dalam Pilkada. Dan ingin menjadi walikota Solo. Saya sudah mengamati dan mencermati, Gibran akan menjadi ganjalan bagi kader senior PDIP Solo, yang sudah berkeringat dan berdarah-darah berjuang untuk partai.
Hadirnya Gibran di PDIP, membuat PDIP bagai makan buah simalakama. Dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu. Tidak diloloskan, hubungan PDIP dengan Jokowi akan masalah. Diloloskan, PDIP telah melukai kadernya sendiri. Dan tak konsisten dalam menjalankan organisasi partai dengan baik.
Akhirnya, PDIP memilih untuk meloloskan Gibran, untuk menjadi calon walikota Solo. Dan kemungkinan menangnya besar. Peluang menangnya 90 persen. Perolehan suaranya bisa diatas 70 persen. Bahkan Gibran bisa saja akan melawan kotak kosong. Karena tak akan ada yang berani melawan dia di Pilkada Solo, Desember nanti.
Kalau pun ada calon lain, bisa jadi calon tersebut, hanya sebagai calon jadi-jadian atau calon boneka. Dimunculkan hanya untuk meramaikan saja.
Dilihat dari peta politik di Solo, PDIP menjadi partai pemenang mayoritas di Solo. Dan dari 45 jumlah kursi DPRD Solo, PDIP mendapat 30 kursi.
Majunya Gibran di Pilkada Solo, ini menandakan oligarki dan politik dinasti sedang memenuhi ruang politik lokal dan nasional. Oligarki dan politik dinasti terkonsolidasi dengan baik, mengalahkan proses demokrasi, yang sudah dibangun sejak reformasi.
Partai-partai politik juga gagal dalam melakukan pelembagaan politik. Fungsi partai, seperti kaderisasi dan rekrutmen politik, hanya jadi hiasan. Tak benar-benar diterapkan. Akhirnya yang menjadi calon kepala daerah, bukanlah hasil dari rekrutmen dan kaderisasi terbaik di internal partai.
Partai lebih memilih, untuk mencaplok dan mengambil figur lain, di luar partai. Entah itu dari pengusaha atau profesi lainnya. Yang punya banyak uang, untuk dijadikan kepala daerah. Partai politik, yang harusnya menjadi tempat kaderisasi kepemimpinan di daerah dan nasional. Dan tempat kawah candra dimuka kepemimpinan politik bangsa. Dibajak oleh oligarki dan politik dinasti, yang sudah menguasai partai politik.
Mungkin ada skenario, untuk menjadikan Gibran sebagai next Jokowi. Mumpung Jokowinya masih jadi presiden. Masih berkuasa. Masih powerful. Maka, skenario ingin menjadi next ayahnya, bisa saja dilakukan.
Mungkin Gibran ingin meniru sang ayah. Dari mulai menjadi walikota Solo, menjadi gubernur di Provinsi DKI Jakarta, lalu menjadi presiden Indonesia.
Namun langkah Gibran tak akan mudah. Tak akan semulus ayahnya. Karena rakyat sudah cerdas. Rakyat sudah paham dan mengerti, terkait kepemimpinan Jokowi. Bagi rakyat, Jokowi sebagai presiden, kinerjanya biasa-biasa saja, dan banyak kebijakannya yang berlawanan dengan kehendak rakyat.
Dari mulai kasus penyelesaian penyiraman air keras kepada Novel, yang seperti drama dan sandiwara, pelemahan KPK, lolosnya revisi UU Minerba, Perppu Corona, kenaikan iuran BPJS, potongan Tapera, dan masih banyak lagi. Itu semua akan menyulitkan langkah Gibran ke depan. Karena publik melihat Jokowi biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dengan kebijakan-kebijakannya.
Bagus atau tidaknya kepemimpinan Jokowi saat ini, akan menjadi ukuran bagi langkah politik Gibran ke depan. Jika Jokowi sukses memimpin bangsa ini, maka langkah Gibran akan mudah dalam politik Indonesia. Namun jika Jokowi gagal dalam mengelola negara ini, maka langkah Gibran, hanya akan di posisi walikota Solo saja.Tak akan bergerak maju dalam politik. Menjadi gubernur di daerah lain pun akan sulit.
Apapun skenario Gibran dan Jokowi. Itu hak mereka. Apapun langkah PDIP merekomendasikan Gibran untuk menjadi calon walikota Solo, itu pun hak PDIP. Namun rakyat sedang disuguhi akrobat politik yang tak enak. Dan sedang dipertontonkan drama politik yang tak sehat.
Tapi itulah politik, dipolitik apapun bisa terjadi. Apapun bisa mungkin. Gibran yang tak lolos administrasi pencalonan di internal PDIP pun, diloloskan dan direkomendasikan PDIP, untuk menjadi walikota Solo.
Langkah zig-zag Gibran, telah membuat kita sadar. Bahwa kekuasaan itu enak. Kekuasaan itu lezat dan nikmat. Sehingga Jokowi yang dulu bilang, keluarganya tak akan berpolitik. Ternyata berpolitik.[]