Asmara, Maut dan Kehendak

Suci Fitri Rohmah bersama sang kekasih Yodi Prabowo. | Facebook/Suci Fitri Rohmah
AKURAT.CO, Bagaimana kita memahami asmara membuncah berujung pembunuhan? Pekerjaan sulit. Hanya pelaku yang benar-benar bisa mengetahui kebenarannya. Seperti halnya Romeo dan Juliet, cuma mereka berdua yang bisa memahami kenapa memilih kematian daripada harus terpisah. Toh juga banyak kisah serupa, tapi pilihan mereka berbeda, lebih memilih melanjutkan hidup daripada mengakhirinya. Para ahli bisa menerka, berusaha untuk memahami. Tapi apakah memang seperti itu yang ada di benak dan rasa pelaku ? Entahlah.
Konon, dalam sejarah, dosa pertama anak manusia di dunia ini adalah pembunuhan. Dalam bentuk fratrisida, pembunuhan seseorang oleh saudaranya sendiri. Dan, itu berkaitan dengan asmara. Pelakunya adalah Kabil (atau Cain), anak tertua Nabi Adam dan Hawa. Korban pembunuhan adalah Habil (Abel), adik Kabil. Namun, motif asmara ini tak dinukil secara terang-terangan dalam Alkitab, Alquran atau dalam keyakinan Yahudi yang umum.
Dalam ketiga agama Samawi ini, penyebab pembunuhan Habil yang kentara adalah kecemburuan atas penerimaan persembahan atau korban oleh Tuhan. Kabil, yang berkorban hasil pertanian namun dengan kualitas yang jelek—bahkan konon berupa biji rami sisa makanan setelah dia sendiri makan kenyang—tak terima dengan keputusan Tuhan. Sebab Tuhan, karena melihat pengurbanan Habil yang memberikan ternak terbaiknya, lebih memilihnya.
baca juga:
Dalam Islam, Habil kemudian dinyatakan sebagai representasi dari orang-orang yang bertakwa atau tunduk sepenuhnya kepada Tuhan (Quran 5:27). Sedangkan Kabil merupakan representasi dari para pecundang, orang-orang yang merugi (Quran 5:30). Dalam Kitab Kejadian (4:12-14), Kabil dikutuk Tuhan karena telah membunuh Habil: tanah atau bumi yang diolahnya tak akan menjadi dan dia akan jadi pelarian dan pengembara di muka bumi. Kata Kabil “Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung.”
Salah satu versi legenda yang bercerita tentang terbunuhnya Habil bermula dari soal asmara adalah seperti terekam dalam legenda Palestina, Folk-Lore of the Holy Land: Moslem, Christian and Jew, yang disusun J. E. Hanauer (1907). Demikian pula dalam legenda Yahudi dalam The Legends of the Jews, yang disusun Louis Ginzberg (1909), yang bahkan mengisahkan betapa selain soal korban dan asmara, juga ada masalah profesi dan takdir.
Kita mulai dengan soal asmara. Kabil dan Habil terlahir masing-masing dengan seorang saudari kembar. Karena di masa itu belum ada manusia lain, Tuhan memerintahkan Adam dan Hawa untuk menikahkan anak mereka secara silang. Kabil menikahi saudara kembar Habil dan Habil menikahi saudara kembar Kabil. Konon alasannya adalah bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan di antara mereka yang bertali-darah terjauh.
Tapi Kabil menolak keputusan tersebut. Alasannya, secara fisik saudari kembarnya lebih cantik. Oleh karena itu, dia ingin menikahi saudari kembarnya sendiri dan tak mau menikah dengan saudari kembar Habil.
Sebagai jalan keluar, Adam memerintahkan Kabil dan Habil untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Persembahan yang diterima dan tidak diterima akan menandakan keputusan siapa menikah dengan siapa. Singkat kata, persembahan Habil diterima, yang berarti dia akan dinikahkan dengan saudari kembar Kabil.
Sekali lagi, Kabil tak terima. "Aku akan membunuhmu!” katanya pada Habil. Namun Habil justru menjawab “[Kalaupun] engkau menurunkan tanganmu untuk membunuhku, aku tidak akan melawan dan membalas, karena aku takut kepada Allah, Tuhan semua makhluk."
Di tengah kebingungan tentang bagaimana membunuh Habil, setan muncul dalam rupa manusia dan mencontohkan dengan memecahkan kepala seekor burung dengan dua batu. Dalam kegalauan, Kabil membunuh Habil dan setelah itu membawa jasad saudaranya kesana-kemari sampai Tuhan memberi tahu cara memperlakukan jenazah.
Namun juga ada soal takdir. Konon, tak lama setelah terlahir, Kabil yang terlahir lebih dahulu berdiri dan lari. Ketika kembali, dia memegang jerami, yang dalam bahasa Ibrani disebut cain atau kabil. Lantas dia dinamai Cain atau Kabil. Adam selanjutnya mengajarinya bercocok tanam dan berhasil.
Selang berapa waktu, Hawa selanjutnya melahirkan Habil dan saudarinya. Dia menamainya Habil atau Abel, karena berdasar mimpinya, anak itu hanya akan hidup sementara. Hebel dalam Bahasa Ibrani berarti ephemeral, hidup sementara.
Baik Adam maupun Hawa, oleh karena itu, sudah tahu akan terjadi tragedi fratrisida yang tak akan bisa ditolak. Adam sendiri kemudian memisahkan kedua anaknya sedari awal: masing-masing tinggal di dua tempat berbeda dan juga menjalankan dua profesi berbeda. Ini persis seperti dirinya dan Hawa yang tak kuasa menolak takdir dan terlempar dari surga.
Di sini menarik menyimak protes Kabil kepada Tuhan yang dinukil dalam bentuk pertanyaan kepada Habil. “Dulu aku percaya” katanya, “bahwa dunia ini diciptakan melalui dan demi kebaikan, namun kini kulihat perbuatan baik tak selalu berbuah kebaikan. Tuhan memerintah dunia dengan sewenang-wenang. Kenapa Dia menerima korbanmu sementara menolak korbanku?”
Tetapi Habil membantahnya. Tuhan, katanya, tak melihat siapa yang berbuat, tetapi perbuatannya. Pengorbanannya diterima Tuhan karena memang merupakan representasi dari kebaikan, ketika pengorbanan Kabil ditolak karena merepsentasi ketidakbaikan.
Namun benarkah sesederhana itu? Bagaimana dengan mimpi yang memberi pertanda atau kabar (precaution) dari Tuhan tentang apa yang akan terjadi pada Kabil dan Habil? Kenapa harus Kabil yang merepresentasi kejahatan dan Habil yang merepresentasi kebaikan? Kenapa perlambang kebaikan yang harus mati secara fisik dan perlambang kejahatan yang tetap hidup meski dalam nestapa? Tidakkah ini pertanda tentang Tuhan yang memerintah dengan kesewenang-wenangan (arbitrary power)?
Kembali pada soal asmara, yang dalam legenda Kabil-Habil menjadi muasal perselisihan, ternyata terus memakan korban dalam berbagai bentuk berbeda. Salah satu kasus terbaru di Indonesia dan muncul di ranah publik adalah pembunuhan terhadap editor MetroTV, Yodi Prabowo. Seperti kesaksian pacar Yodi, ada kemungkinan kekasihnya dibunuh oleh orang yang ingin memilikinya (Akurat.co, 12/7/2020). Mungkin, ketimbang membiarkan kekasih hati jatuh ke tangan sang saingan, dalang pembunuhan rela menyuruh orang lain membunuh orang yang disukainya itu.
Soal apropriasi, kehendak untuk memiliki, adalah faktor yang sejak awal tak dapat disangkal dan ditolak sebagai sebab perang dan pembunuhan. Dan kehendak adalah anugerah Tuhan yang tak diberikan pada para malaikat, seperti dalam ajaran agama-agama Semitis.
Seperti terekam dalam kisah penciptaan Adam, kepemilikan manusia akan kemampuan berkehendak sudah diindikasikan para malaikat sebagai penyebab pertumpahan darah. Tetapi, Tuhan sendiri menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia memungkinkan mereka untuk menghindari pembunuhan dan perang. Meskipun, ironisnya, pembunuhan dan perang tetap saja terjadi. Dan soal asmara saja telah membunuh ribuan bahkan jutaan orang dari zaman ke zaman, di mana tak jarang para pelakunya juga melakukan atas nama kebenaran dan kebaikan.
Wallaahu a’lam bi al-shawaab.