AKURAT.CO Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengatakan, neraca negara harusnya tidak hanya mencatat utang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja, tetapi juga mencatat utang milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Karena seringkali BUMN yang bermasalah dalam utang, pasti akan membebani APBN atau negara.
Oleh sebab itu, menggunakan mekanisme kebijakan belanja pada APBN menjadi bukti nyata bahwa contigency debt atau utang bersyarat yang selama ini dibukukan terpisah di BUMN, harus menjadi bagian utang yang diakui dan dicatat oleh negara.
“BUMN adalah milik negara 100 persen atau kurang sesuai gradasi kepemilikan sahamnya dan risiko ada pada APBN ketika BUMN mempunyai permasalahan soal going concern. Karena ketika kebijakan soal BUMN bermasalah, mekanisme penyertaan modal negara (PMN) lewat belanja di APBN menjadi solusinya,” kata Misbakhun dalam siaran persnya, Jumat (27/1/2023).
baca juga:
Ia mencontohkan kasus Garuda Indonesia yang bermasalah dengan pembayaran leasing pesawat dan berujung pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Maka yang turun langsung mengatasi masalah tersebut adalah negara lewat PMN yang menggunakan mekanisme belanja di APBN.
Menurut dia, sudah sangat jelas bahwa masalah keuangan di BUMN akan langsung berisiko juga kepada negara. Ketika BUMN bermasalah, maka akan masuk mekanisme penyelamatannya melalui kebijakan negara lewat PMN di APBN. Diketahui, uang APBN sebagian berasal dari uang pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan penerbitan utang.
Sebelumnya Garuda Indonesia juga beberapa kali mendapatkan PMN lewat belanja di APBN untuk menyelamatkan going concern usahanya.
“BUMN sebagai state own company, korporasi yang sahamnya dimiliki oleh negara 100 persen, kurang dari 100 persen, dan ada juga dengan kepemilikan minoritas tapi dengan mekanisme hak eksklusif dengan istilah saham merah putih, minority shareholder with extra right put option. Dikatakan bahwa penjaminan pemerintah maksimal 6 persen sebagai contigency debt,” ujarnya.
Lalu politisi Partai Golkar ini juga mencontohkan kasus Karaha Bodas, sebuah proyek pembangkit liatrik tenaga uap (PLTU) milik Pertamina joint venture dengan perusahaan Amerika Serikat yang gagal dikerjakan, sehingga berdampak gugatan pada abitrase international dan gugatannya itu ke Pertamina dan Government of Indonesia (GoI) sebagai pemegang saham.
Ketika kalah dalam gugatan dan terdapat kompensasi denda, maka yang ada di dalam amar putusannya disebutkan apabila putusan denda tidak dibayar maka seluruh aset milik Pertamina dan milik Pemerintah Indonesia sebagai jaminan untuk disita oleh otoritas hukum di Amerika Serikat.