
AKURAT.CO Ungkapan permintaan maaf dari terpidana Bom Bali I, Hisyam bin Alizein alias Umar Patek, ramai disorot media asing.
Terlihat beberapa surat kabar ternama dari Amerika, Australia, Kanada hingga Inggris memberitakan hal tersebut, menggambarkan Patek sebagai 'militan Indonesia'. Artikel mereka dirilis pada Selasa (13/12), hari di mana Patek menangis sambil meminta maaf kepada para keluarga korban.
Outlet Australia, ABC News menjadi salah satu yang mewartakan kabar Patek usai dibebaskan dari penjara, dan bagaimana ia meminta maaf saat berada di Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.
baca juga:
"Seorang militan Indonesia yang dibebaskan minggu lalu setelah menjalani sekitar setengah dari hukuman penjara 20 tahun sebelumnya karena membuat bahan peledak yang digunakan dalam bom Bali tahun 2002 telah meminta maaf kepada para keluarga korban," tulis ABC News dalam teras beritanya.
Bertajuk 'Paroled Indonesia Bombmaker Apologizes for 2002 Bali Attack', ABC News mengungkap bahwa Patek adalah anggota terkemuka jaringan Jemaah Islamiyah yang terkait al-Qaida, yang dipersalahkan atas ledakan di dua klub malam di Pantai Kuta. Tragedi ini telah menewaskan 202 orang, dengan kebanyakan turis asing, termasuk 88 warga Australia, kata ABC News.
Hal serupa diungkap oleh media asing lain, seperti Washington Post hingga Reuters, menyebut bahwa Patek merupakan anggota kelompok Jemaah Islamiyah, yang dinyatakan bersalah karena perannya dalam meracik bom yang mematikan di dua klub malam di Bali 2002 silam. Pengeboman itu juga menewaskan 38 warga Indonesia. Patek sendiri bebas bersyarat minggu lalu, tambah Reuters.
Selanjutnya, seperti media tanah air, surat kabar asing mengutip langsung pernyataan Patek yang meminta maaf kepada warga Bali hingga Australia.
"Saya minta maaf tidak hanya kepada masyarakat di Bali khususnya, tetapi saya juga meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia," kata Patek kepada wartawan saat mengunjungi mantan militan Ali Fauzi, teman lama yang menjalankan program deradikalisasi para militan di Desa Tenggulun, Jawa Timur
"Saya juga meminta maaf yang sebesar-besarnya terutama kepada warga Australia yang juga merasakan dampak yang sangat besar dari kejahatan bom Bali. Saya juga meminta maaf kepada para korban dan keluarganya baik di dalam maupun di luar negeri, apapun kewarganegaraannya, apapun sukunya, apapun agamanya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semuanya," tambah Patek sebagaimana dikutip media-media asing.
Digambarkan pula secara detail oleh ABC News dan Washington Post bagaimana penampilan Patek yang mengenakan kemeja abu-abu dan penutup kepala tradisional Jawa. Dikatakan Patek mendapatkan sambutan hangat dari teman-teman lamanya, beberapa di antaranya adalah mantan narapidana yang mengikuti program deradikalisasi yang dipimpin oleh Fauzi.

-Memanfaatkan pengaruh Patek-
Menurut ABC News, pihak berwenang Indonesia mengatakan bahwa Patek berhasil direformasi di penjara. Dia pun dikatakan akan digunakan untuk mempengaruhi militan lain agar berpaling dari terorisme. Patek sendiri masih dalam pengawasan dan harus mengikuti program pendampingan hingga pembebasan bersyaratnya berakhir pada 29 April 2030.
Bagaimanapun, berita bulan Agustus tentang rencana pembebasan awal Patek, telah memicu kemarahan di Australia. Perdana Menteri Anthony Albanese menggambarkannya sebagai 'menjijikkan, menambahkan kebebasannya akan menyebabkan tekanan lebih lanjut bagi warga Australia yang mengalami trauma pengeboman. Keberatan Australia pun sempat mendorong pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menunda pembebasan Patek, sementara Indonesia menjadi tuan rumah KTT Kelompok 20 bulan lalu.
Patek meninggalkan Bali tepat sebelum pengeboman, dan menghabiskan sembilan tahun dalam pelarian yang membawanya dari Indonesia ke Filipina hingga Pakistan.
Di Filipina selatan, para pejabat mengatakan Patek telah bergabung dengan kelompok ekstremis lokal Abu Sayyaf, menghabiskan beberapa tahun melatih militan dan merencanakan serangan, termasuk terhadap pasukan AS di negara itu.
Patek akhirnya ditangkap pada Januari 2011 di kota yang sama di Pakistan, tempat Angkatan Laut AS membunuh Osama bin Laden hanya beberapa bulan kemudian. Patek sedang bersembunyi di kamar lantai dua sebuah rumah di Abbottabad, dengan hadiah USD1 juta untuk kepalanya. Ia bersembunyi ketika pasukan keamanan Pakistan, yang bertindak berdasarkan informasi dari CIA, menerobos masuk.
Patek kemudian diekstradisi ke Indonesia. 'Di sanalah kebaikan petugas polisi yang membantunya mendapatkan perawatan medis, tampaknya mulai menggerogoti keyakinannya tentang orang-orang yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh', kata ABC News.
Patek telah mengungkapkan penyesalannya di persidangan, mengatakan dia membantu membuat bom tetapi tidak tahu bagaimana bom-bom itu akan digunakan. Saat itu, dia juga mengeluarkan permintaan maaf yang luas, termasuk kepada keluarga korban.
Patek adalah anak seorang pedagang daging kambing. Dia pergi ke sekolah komputer dan belajar bahasa Inggris sebelum direkrut ke Jemaah Islamiyah oleh Dulmatin, sesama militan yang ditembak mati oleh polisi Indonesia pada Maret 2010.
Setelah penangkapannya, Patek mengatakan kepada interogator bahwa dia belajar membuat bom selama tugas 1991-1994 di Pakistan, dan kemudian di Afganistan.
Patek mengatakan pada Agustus bahwa dia berkomitmen membantu pemerintah Indonesia dengan program deradikalisasi, 'sehingga mereka dapat sepenuhnya memahami bahaya terorisme dan bahaya radikalisme'.
Fauzi mengatakan dia bisa menghargai rasa sakit yang disebabkan oleh pembebasan awal Patek, tetapi berharap keluarga korban dan teman-teman Australia bersedia memaafkannya.
Saudara Fauzi, Amrozi bin Nurhasyim dan Ali Ghufron, yang sering disapa Mukhlas, dan Ali Imron juga menjadi terpidana dalam tragedi Bali. Amrozi dan Mukhlas, bersama dengan pengebom ketiga, Imam Samudra, dieksekusi pada tahun 2008. Mereka tidak pernah menyatakan penyesalan, dengan mengatakan bahwa pengeboman itu dimaksudkan untuk menghukum AS dan sekutu Baratnya atas dugaan kekejaman di Afganistan dan di tempat lain.
"Fauzi mendapati dirinya dalam daftar buronan polisi meskipun dia berada di pulau Sulawesi di Indonesia, ketika dia menerima kabar tentang pembantaian tersebut. Fauzi tidak pernah didakwa atas pengeboman tersebut, tetapi dia menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam tahanan polisi di Jakarta," ungkap ABC News.
Pengebom lainnya, Ali Imron, dibebaskan dari eksekusi dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah menunjukkan penyesalan dan membocorkan rencana tersebut kepada penyelidik.
Bom Bali tetap menjadi serangan JI yang 'paling spektakuler', menurut ABC News. Meskipun beberapa serangan lain juga terjadi sejak itu, tetapi tidak ada yang mematikan seperti halnya bom Bali. Analis memuji tindakan keras yang telah menjaring lebih dari 2.500 militan antara tahun 2000-2021, termasuk kematian beberapa pemimpin kunci dalam aksi polisi. []