
AKURAT.CO, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik untuk apa bupati nonaktif Pemalang Mukti Agung Wibowo menggunakan uang yang diduga dari hasil suap lelang jabatan di wilayahnya. Pendalaman tersebut didapat penyidik lewat pemeriksaan dua saksi pada Senin (7/11/2022).
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dugaan aliran penggunaan uang oleh tersangka MAW (Mukti Agung Wibowo) yang salah salah satunya berasal dari setoran para ASN di Pemkab Pemalang," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Ali membeberkan kedua saksi tersebut yakni Manager Apartemen pada Denpasar Residence Ismiatun Retno Utami dan wiraswasta Mustafid Ayonk. Meski begitu Ali tak merinci lebih jauh terkait materi pendalaman lainnya yang dilakukan penyidik terhadap keduanya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk menjaga kerahasiaan proses penyidikan.
baca juga:
Ali menjelaskan keterangan keduanya bakal dibeberkan ke publik usai kasus itu nantinya telah berada di meja persidangan. Sebab keterangan keduanya kini telah ditulis di dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Terkait kasus suap jual beli jabatan di Pemkab Pemalang, KPK sebelumnya menetapkan Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo sebagai tersangka.
Bersama Mukti, KPK juga menetapkan lima tersangka lainnya, yakni Komisaris PD Aneka Usaha Adi Jumal Widodo; Penanggung Jawab Sekretaris Daerah Pemalang Slamet Masduki; Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sugiyanto; Kepala Dinas Kominfo Yanuarius Nitbani; dan Kadis PU Mohammad Saleh.
Slamet, Sugiyanto, Yanuarius, dan Saleh selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Mukti dan Adi selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. []