
AKURAT.CO Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan pengawasan pelaksanaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dapat dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945.
Mekanismenya dapat dilakukan oleh DPR RI berupa pengembalian RUU APBN untuk diperbaiki oleh pemerintah manakala tidak sesuai dengan PPHN.
Misalnya, presiden yang menggantikan Presiden Joko Widodo dalam RUU APBN mendatang tidak memasukan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, maka DPR RI bisa mengembalikan RUU APBN tersebut.
baca juga:
Karena tidak sesuai dengan PPHN yang di dalamnya turut mengatur tentang pembangunan dan pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke ibu kota Nusantara di Kalimantan Timur.
Menurut Bambang, kehadiran PPHN dapat membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi.
Di tahun 1947 Presiden Soekarno dan pendiri bangsa bahkan sudah mampu menggambarkan pentingnya pemanfaatan nikel di Sulawesi, Emas di Papua, Gas Alam dan Timah di Sumatera, serta Batubara di Kalimantan.
"Seharusnya saat ini kita juga harus mampu membuat perencanaan jangka panjang dalam memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia untuk memakmurkan Indonesia," ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dan Peluncuran Buku PPHN Tanpa Amendemen di Universitas Terbuka Convention Center, Tangerang Selatan, Selasa (21/3/2023).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, keberadaan PPHN dapat menjaga kesinambungan pembangunan nasional. Karena mempunyai kekuatan hukum mengikat, meskipun terjadi peralihan kekuasaan lembaga eksekutif, yaitu presiden, termasuk juga lembaga legislatif yaitu MPR, DPR dan DPD, bahkan hingga di tingkat pemerintahan yang paling kecil yaitu desa.
"Tidak seperti saat ini, karena ketiadaan peta jalan pembangunan, setiap presiden, gubernur, hingga walikota/bupati terpilih memiliki paradigma pembangunannya masing-masing. Jangankan beda partai, antara pemimpin yang satu partai saja terkadang bisa saling berseberangan. Masing-masing memiliki ego sektoral, sehingga pembangunan yang dilakukan antar periode pemerintahan terkesan tidak selaras dan tidak berkesinambungan," jelas Bamsoet.
Bamsoet yang juga dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka menerangkan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan seperti Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lainnya yang saat ini terancam sebagai negara gagal, yaitu Pakistan, Mesir dan Bangladesh.
Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai Kahar Fiscal.
Karena itu, hemat dia, Indonesia perlu menghadirkan PPHN sebagai produk hukum yang dapat menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara dengan menggunakan kekuasaan subjektif superlatif yang pernah dimiliki MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara.
Kewenangan subjektif superlatif itu juga penting untuk dapat mengatasi jika terjadi kondisi force majeure/kedaruratan, kondisi Kahar Fiscal dalam skala besar, hingga memutuskan jalan keluar atas suatu kebuntuan politik di bidang keuangan antar lembaga negara.
"Misalnya, siapa yang berhak memutuskan suatu perencanaan jangka panjang yang telah diputuskan tidak dapat diteruskan atau diubah," pungkas Bamsoet.[]