Jadikan JILF Sebagai Pemantik Imajinasi
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat berkunjung ke Jakarta International Literary Festival (JILF) di Taman Ismail Marzuki. | AKURAT.CO/Herman Syahara
AKURAT.CO Jakarta telah menggelar hajat sastra dan literasi bertaraf internasional. Tepatnya pada 20-24 Agustus lalu, Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang didukung Kemendikbud, menggelar acara Jakarta International Literary Festival (JILF). Ini adalah festival sastra bertaraf internasional pertama yang dimiliki DKI Jakarta.
Acara yang berlangsung di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta itu diramaikan dengan seminar, simposium, pameran dan penjualan buku, bincang sastra dan penulis, pembacaan karya, dan pasar hak cipta buku yang mempertemukan pemilik hak cipta (penulis) dengan penerbit.
Untuk yang pertama kali ini, JILF –yang dikuratori oleh penulis Eka Kurniawan, Isyana Artharini, dan Yusi Avianto Parenom, mengundang 55 penulis, 26 penerbit, dan 21 komunitas sastra. Selain dari Indonesia, mereka berasal dari Afrika Selaran, Botswana, Filipina, India, Inggris, Jerman, Malaysia, Mauritius, Palestina, Singapura, Siprus, Thailand, dan Turki.
baca juga:
Untuk mengetahui sejauh mana dukungan Pemprov DKI Jakarta dan kemungkinan manfaat yang dapat dipetik warga Jakarta dan masyarakat umum lainnya, berikut adalah wawancara khusus AKURAT.CO dengan Gebernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kedapatan sedang berkeliling gerai buku di acara tersebut didampingi Pengelola dan Sutradara Teater Tanah Air Jose Rizal Manua dan berbincang dengan penyelenggara.

Secara literasi, apa manfaat Jakarta Literary International Festival (JILF) ini bagi warga Ibukota Jakarta dan masyarakat umum lainnuya?
Kota itu bukan sekadar kumpulan bangunan. Disebut kota karena di dalamnya ada kumpulan manusia. Bangunan yang masih lengkap bila manusianya tidak ada maka itu disebut kota mati. Jadi kehidupan kota karena ada manusianya.
Kota Jakarta, dengan populasinya yang sebesar ini, yang berkumpul dari seluruh Indonesia dan luar negeri, harus jadi tempat interaksi kebudayaan. Dan ekspresi kebudayaan adalah peradaban. Dan, kalau dalam bahasa Arab, adab itu berarti sastra.
Ternyata acara ini banyak memikat kaum muda?
Bagi generasi baru acara seperti ini adalah kesempatan untuk belajar, mendapat pengalaman, dan inspirasi. Lalu bagi Jakarta, kita kedatangan tamu penulis dan sastrawan yang sudah diakui dalam konteks dunia.
Kedatangan sastrawan bertaraf internasional itu membuat benchmark kita menjadi lebih tinggi. Kita ingin nantinya para penulis dan sastrawan bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi tamu mempesona di negeri orang. Untuk mencapai ke sana digodoknya di Indonesia. Di Indonesia di mana, ya, di Jakarta.
Dalam sejarahnya, Jakarta pernah menjadi tempat berkembangnya para sastrawan Indonesia. Karena itulah kita ingin hidupkan kembali suasana itu. Kami mendukung kegiatan ini . Dan insya Allah nanti ingin kita buat sebagai kegiatan tahunan.
Kita sekarang ini sedang dalam proses. Tapi lagi-lagi, untuk disebut sebagai sebuah pusat kebudayaan bukan karena bangunannya, tapi karena ekosistemnya memungkinkan tumbuh berkembang kegiatan seni dan budaya. Dan kita ingin TIM menjadi salah satu pusat kebudayaan dunia. Bukan hanya untuk Indonesia.
Di dalam ekosistem ini ada unsur fisik dan non fisik. Kita biasa menyebutnya hard infrastructuredan soft infrastructure. Keduanya harus kita fasilitasi.
Apa harapan Anda terhadap penyelenggaraan acara JILF?
Lebih banyak warga yang datang mengunjunginya. Para orang tua, ajak anak-anaknya. Para kakak, ajak adik-adiknya. Jadikan acara ini untuk memantik imajinasi. Harapannya, porses kreatif itu tumbuh. Karena imajinasi merangsang semua karya sastra. Saya juga menganjurkan agar teater di kampung-kampung ditumbuhkan.
Yang mau kita rangsang dari generasi baru kita adalah tumbuhnya imajinasi. Kalau imajinasi berkembang, maka awal dari proses kreatif itu terjadi. Tidak ada kreatifitas tanpa imajinasi. Ujungnya memang kreasi dan inovasi tapi dimulainya dari kemampuan imajinasi. Maka acara seperti ini adalah pemantik imajinasi. Saya mengajurkan bacalah novel, cerpen, dan karya sastra lain sebagai pemantik imajinasi.
Oh, ya, banyak yang sedih dan menyayangkan ditutupnya bioskop 21 di TIM. Apa pendapat Anda?
Ini adalah konsekuensi dari proses pertumbuhan dan perkembangan zaman. Dan kita tahu bahwa hukum universal yang langgeng hanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang lainnya tumbuh berganti dan berkembang. []