Pemerintah Perlu Mendiversifikasi Objek Cukai Agar Tak Ada yang Merasa Jadi 'Hero'
Akurat Solusi : Roadmap IHT

Terlihat di layar Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan saat memberikan materi dalam acara diskusi Akurat Solusi di Kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (23/8/2020). Diskusi ini mengambil tema Menuju Roadmap Industri Hasil Tembakau yang Mengedepankan Kedaulatan dan Kemandirian Bangsa, 'Mengakhiri Polemik Kebijakan Cukai'. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO Rektor Insitut Teknologi dan bisnis Ahmad Dahlan, Mukhaer Pakkanna berharap bahwa pemerintah melakukan ekstensifikasi atau diversifikasi objek cukai. Pasalnya selama ini aturan cukai hanya mencakup 3 objek yakni etanol, atau mentah, minuman beralkohol, dan hasil tembakau.
"Memang kita selama ini berharap ekstensifikasi atau diversifikasi objek cukai. Jangan sampai rokok ini menjadi hero dengan 95 persen penyumbang cukai. Beberapa negara lain itu banyak (objek cukainya), kita hanya 3 objek cukai, sudah bertahun-tahun ini diawetkan UU-nya," katanya dalam Webinar Akurat Solusi, bertajuk 'Mengakhiri Polemik Kebijakan Cukai' yang diadakan di Jakarta, Minggu (23/8/2020).
Menurutnya selama ini Industri Hasil Tembakau yang menyumbang 95 persen cukai sehingga membuat mereka selalu merasa menjadi 'hero' atau pahlawan dengan kontribusinya. Sehingga Mukhaer melihat Industri ini yang selalu mengintervensi kebijakan pemerintah terkait tembakau.
baca juga:
"Pada akhirnya karena merasa kontribusi yang besar maka faktor ekternalitas negatif dari rokok akan sulit diatasi. Seperti misalnya buruh petani yang dibayar terlalu murah atau prevelansi rokok remaja dan orang miskin yang semakin meningkat," tuturnya.
Ia mengatakan bakal banyak intervensi ekonomi politik yang dilakukan industri besar tembakau untuk terus menekan kebijakan tembakau Indonesia. Ini agar semua kebijakan terus berpihak pada mereka.
"Kalau misalnya mereka diapresiasi terus menerus jadi industri besar, mereka merasa menjadi hero, maka ini bisa mendeterminasi kekuataan ekonomi politik karena merasa kontribusi," ujarnya.
Mukhaer mengatakan selama ini pemerintah selalu melihat positif penerimaan dari cukai tersebut namun belum melihat dampak kerugian yang disebabkan industri besar.
Menurut perhitungannya ekternalitas negatif rokok merugikan petani hingga orang miskin sekitar Rp727 triliun, kemudian jika melihat multiplier efek dari rokok maka ditotalkan semua Rp1.521 triliun.
"Eksternalitas negatif, ini berefek mencapai kerugian Rp727 triliun, kemudian jika kita melihat multiplier efek negatinya kita totalkan semua Rp1.521 triliun dibandingkan penerimaan cukai sebesar dibawah Rp200 triliun," ungkapnya. []