News

Ekosistem Karbon Biru Mesti Dikelola Secara Berkelanjutan

Ekosistem Karbon Biru Mesti Dikelola Secara Berkelanjutan
Peluncuran studi bertajuk "Ekosistem Karbon Biru Sebagai Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia" di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.  (Dok. IOJI)

AKURAT.CO Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pemangku kepentingan diminta terus berupaya menjadikan ekosistem karbon biru (EKB) sebagai modal alam yang harus dikelola secara berkelanjutan. 

"Untuk itu, upaya perlindungannya agar semakin diperkuat berdasarkan prinsip keilmuan dan keterbukaan," kata CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (3/2/2023).

Hal tersebut juga disampaikan Mas Achmad Santosa dalam peluncuran hasil studi bertajuk "Ekosistem Karbon Biru Sebagai Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia" yang digelar di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, beberapa waktu lalu. 

baca juga:

Seminar ini merupakan kolaborasi Kementerian LHK bersama KKP dengan IOJI yang didukung oleh The Asia Foundation (TAF). 

Menurut Mas Achmad Santosa, sebagai pemilik 17 persen cadangan karbon biru dunia, Indonesia berpeluang besar memanfaatkan EKB sebagai salah satu solusi untuk mengatasi perubahan iklim. EKB yang meliputi hutan mangrove, padang lamun (seagrass), rawa air asin (salt marshes) memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon atau carbon sequestration and storage, yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. 

Dia menambahkan, EKB juga memegang peran signifikan untuk adaptasi perubahan iklim, terutama bagi masyarakat pesisir yang ruang hidup dan penghidupannya berpotensi terdampak oleh climate-related coastal risks, seperti cuaca ekstrem, badai, erosi, banjir dan sebagainya. 

"Berbagai risiko ini bisa mengakibatkan dampak sosial-ekonomi, terancamnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya layanan ekosistem yang berdampak pada kelangsungan hidup manusia dan alam," ujarnya. 

Selain itu, Mas Achmad Santosa menyoroti sekalipun EKB memiliki potensi yang besar dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, kondisi EKB telah lama terancam oleh tekanan antropogenik. 

"Ketika terdegradasi, EKB akan beralih dari penyerap karbon menjadi pelepas emisi karbon yang signifikan. Degradasi juga merusak perlindungan ekosistem pesisir serta mengancam penghidupan masyarakat yang bergantung pada EKB," terangnya. 

Mas Achmad Santosa melalui IOJI mendorong supaya pemerintah Indonesia menjadikan EKB ke dalam kategori Critical Natural Capital. Dia pun menegaskan bukti keilmuan peran EKB sudah sangat jelas. EKB adalah solusi berbasis laut (ocean-based solution) sekaligus sebagai critical natural capital untuk pengendalian perubahan iklim serta menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. 

Dia menambahkan, konsekuensi dari penetapan EKB sebagai CNC berarti EKB berhak, layak dan harus dijamin dengan instrumen perlindungan yang kuat. 

CNC sendiri merupakan elemen utama dari konsep atau paradigma pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang sejalan dengan konstitusi khususnya Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945. 

"Ayat tersebut menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional," jelas Mas Achmad Santosa. 

Adapun, studi disusun menggunakan metode normatif-empiris dengan pendekatan komparatif selama satu setengah tahun termasuk wawancara, diskusi kelompok terfokus dan tinjauan lapangan ke tiga provinsi yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. 

Studi mengkaji enam elemen tata kelola EKB yaitu kerangka hukum dan kebijakan nasional; penataan kelembagaan; partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; keamanan tenurial; pengawasan dan penegakan hukum; serta pendanaan dan pendistribusian manfaat secara berkeadilan. 

Kebijakan berbasis sains atau scientific based policies memerlukan koordinasi yang baik untuk merealisasikan potensi EKB dalam berkontribusi pada pencapaian ambisi iklim Indonesia Target Pembangunan Berkelanjutan serta peningkatan kesejahteraan blue carbon dependent people. 

"Blue carbon ecosystem governance yang kuat melalui kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan akan menjadi katalisator untuk memastikan masa depan EKB yang berkelanjutan dan berkeadilan," demikian Mas Achmad Santosa.