
AKURAT.CO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti enam isu prioritas dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan).
Kehadiran omnibus law kesehatan yang digadang-gadang sebagai bentuk penguatan sistem kesehatan masih menyisakan berbagai ruang untuk perbaikan.
"Kami melihat RUU Kesehatan masih sisakan banyak ruang perbaikan. Di samping pembahasan yang cenderung terburu-buru, banyak pasal yang perlu dikembangkan untuk kuatkan sistem kesehatan," kata Founder & CEO CISDI, Diah Saminarsih, dalam konferensi pers virtual, Senin (20/3/2023).
baca juga:
Dia menjelaskan, sebanyak enam isu prioritas dalam RUU Kesehatan yang disoroti CISDI. Pertama, melalui daftar inventaris masalah (DIM) yang disampaikan ke Kementerian Kesehatan, CISDI mendefinisikan Integrasi Layanan Kesehatan Primer atau Layanan Kesehatan Dasar sebagai integrasi layanan, mulai dari upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif.
Menurut Diah, integrasi ini mencakup upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang terkoordinasi di berbagai tingkat dalam fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta.
"Sebagai catatan, bila merujuk Pasal 165 RUU Kesehatan, pemerintah dan DPR masih memaknai integrasi pelayanan kesehatan primer terbatas penguatan puskesmas dan jejaringnya. Padahal, menurut Deklarasi Astana, integrasi harusnya menguatkan kerja sama layanan primer pemerintah dan swasta," ujarnya.
Kedua, RUU Kesehatan belum berkomitmen memberikan insentif yang layak dan pengakuan kepada kader-kader kesehatan sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK).
"CISDI merekomendasikan pemerintah dan DPR RI memastikan imbalan jasa atau upah kepada kader kesehatan atas perannya sebagai bagian sumber daya manusia kesehatan seperti diatur Pasal 36 RUU Kesehatan," kata Diah.
Tidak berhenti pada upah, pemerintah juga perlu mengakui kader kesehatan sebagai tenaga kerja yang memiliki hak ketenagakerjaan dengan cakup peningkatan kompetensi melalui sertifikasi dan pelatihan kerja.
"Pada 2018 WHO bahkan menyatakan kader kesehatan berhak dapatkan remunerasi berdasarkan tuntutan pekerjaan, kompleksitas, jumlah jam kerja, pelatihan hingga tupoksi (tugas pokok dan fungsi)," kata Diah.
Ketiga, RUU Kesehatan menjelaskan kelompok rentan dengan sempit dan sangat terbatas sebagai ibu hamil dan menyusui, bayi, balita dan lanjut usia. Padahal, dalam catatan CISDI, kerentanan adalah satu hal yang meluas dan interseksional. CISDI dan Puskapa (2022) mencatat lebih banyak bentuk sub-populasi rentan yang perlu diperhatikan.
"Ini mulai dari kelompok disabilitas dan disabilitas mental, kelompok di daerah 3T hingga kelompok yang tersisih karena identitas maupun status sosio-ekonomi. Redefinisi ini penting agar masyarakat rentan dapatkan akses layanan kesehatan yang lebih inklusif dan non-diskriminatif," jelasnya.
Keempat, dalam aspek tata kelola, RUU Kesehatan dikhawatirkan mengganggu otonomi dan independensi BPJS Kesehatan dengan diwajibkannya BPJS Kesehatan melaksanakan penugasan Kemenkes. Padahal, otonomi sangat penting agar BPJS Kesehatan dapat mempertahankan dan menjalankan fungsi pembeli dalam sistem kesehatan.
Kelima, RUU Kesehatan belum eksplisit mengatur penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) yang bersinggungan dengan variabel-variabel peningkat faktor risiko atau penyakit. Padahal, kesehatan yang buruk dapat dipengaruhi beberapa faktor berisiko seperti konsumsi alkohol, merokok, kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang buruk, termasuk konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) berlebih.
Terakhir, RUU Kesehatan belum mengatur secara tegas pelarangan iklan, promosi dan sponsorship (IPS) untuk produk-produk yang mengandung zat adiktif, terutama rokok yang selama ini belum diatur pelarangan IPS-nya secara total.
"CISDI mendorong pemerintah dan DPR RI mengakomodasi masukan publik dan kelompok masyarakat sipil serta membuka ruang partisipasi seluas-luasnya dalam proses legislasi setelah terselenggaranya public hearing dan sosialisasi publik," tutur Diah.
"CISDI mengajak seluruh elemen masyarakat berkolaborasi mengawal seluruh proses pembahasan hingga pengesahan RUU Kesehatan. Sehingga RUU ini bisa menguntungkan atau berdampak baik kepada masyarakat banyak tanpa melupakan kelompok rentan," demikian Diah.