
AKURAT.CO, 11 Agustus 1966, senyum dan napas lega menghiasi wajah beberapa tokoh penting Indonesia maupun Malaysia, seperti Presiden Soeharto, Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman, Menteri Pertahanan Malaysia Tunku Abdul Razak, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, hingga para intelijen kepercayaan kedua negara. Pasalnya pada hari itu, sebuah perjanjian perdamaian Indonesia-Malaysia yang kemudian lebih dikenal dengan "Jakarta Accord" resmi ditandatangani oleh Adam Malik dan Tunku Abdul Razak di Jakarta.
Penandatanganan Jakarta Accord adalah langkah lanjut dari usaha Soeharto mengirim Ali Moertopo dan Adam Malik untuk membuat kontrak perjanjian dengan Malaysia terkait dengan upaya penormalan hubungan antara kedua negara di Bangkok. Kontrak perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Bangkok pun berlangsung sekitar tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1966.
Kala itu, Perjanjian Bangkok berisi tiga hal pokok. Poin pertama berisi pernyataan bahwa rakyat Sabah dan Sarawak akan diberikan kebebasan untuk menentukan nasib dan kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia. Poin kedua adalah kedua pemerintah akan menyetujui pemulihan hubungan diplomatik. Sementara poin terakhir adalah baik Indonesia maupun Malaysia harus bersedia untuk menghentikan segala bentuk permusuhan.
baca juga:
Dengan pengesahan Jakarta Accord ini, kampanye "Ganyang Malaysia" Sukarno yang terjadi sekitar empat tahun lamanya bisa dihentikan tanpa kekerasan. Tentu saja, sebelum kedua negara sepakat untuk mengakhiri konflik, berbagai perundingan rahasia dengan pihak Malaysia sudah berulang kali dilakukan satuan khusus legendaris di masa Orde Baru, Operasi Khusus (Opsus) bentukan Ahmad Yani.
Jauh sebelum Jakarta Accord tercapai, dalam perundingan di London pada Oktober 1961, Federasi Malaysia diputuskan terdiri dari Tanah Melayu, Singapura, Sarawak, Sabah, serta Brunei. Namun, keputusan ini bagi Soekarno adalah siasat Inggris serta negara-negara imperialis untuk memporak-porandakan kerja sama negara-negara Asia Tenggara. Dengan kata lain, berdirinya Malaysia pada 16 September 1963 bukanlah serta merta hadiah dari Inggris.
Alahsil, Soekarno pun tidak tinggal diam. Bersama dengan Filipina (negara ini saat itu juga mengklaim Sabah), pendirian Federasi Malaysia ditolak mentah-mentah. Namun, ketiga negara yang kemudian dikenal dengan persekutuan MAPHILINDO (Federasi Malaysia, Indonesia, dan Filipina) sempat membuat Persetujuan Manila pada 31 Juli 1963. Dalam persetujuan tersebut, ketiga negara sepakat untuk memberikan kebebasan rakyat Sabah (Borneo Utara) dan Sarawak untuk mempertimbangkan pemilu dan menentukan nasib sendiri.

Namun pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan, Malaysia justru melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri dan tidak memberikan tempat bagi negara lain untuk ikut campur. Penolakan Malaysia inilah yang kemudian membuat Indonesia mengangap bahwa Malaysia memang boneka Inggris dan telah melanggar Persetujuan Manila.
Suasana pun makin kacau setelah demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur bergejolak. Soekarno membara ketika tahu bahwa para demonstran Malaysia menyerbu gedung KBRI, merobek-robek fotonya serta meminta Tunku Abdul Rahman untuk menginjak lambang Garuda. Tidak jauh berbeda, pemuda Indonesia juga marah dan menyerbu kedutaan Malaysia dan Inggris.
Akhirnya pada 17 September 1963, Malaysia memutuskan untuk mengakhiri hubungan diplomatik dengan Indonesia. Keputusan itu kemudian dibalas oleh pemuda Indonesia dengan menyerbu Kedutaan Inggris dan Malaysia.
Aksi saling serang kedutaan serta pihak Inggris yang justru memperuh suasana kemudian membuat semuanya bertambah kacau. Pada September 1963, Soekarno pun mulai berapi-api dengan mengeluarkan kata-kata "Konfrontasi Malaysia" dan "Ganyang Malaysia".
Namun rupanya tidak semua pihak, khususnya Angkatan Darat Indonesia setuju dengan kampanye Ganyang Malaysia yang diserukan Soekarno. Pimpinan besar Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani serta Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution pun merekrut Soeharto untuk ikut berperan dalam opsus untuk menggemboskan gerakan konfrontasi Malaysia yang dicanangkan oleh Soekarno. []