Kampanye Ofensif

Calon presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat mengikuti acara Debat Perdana Capres di Hotel Bidakara, Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Dalam debat ini kedua calon presiden dan wakil presiden harus memaparkan tema materinya meliputi isu penegakan hukum, korupsi, HAM dan terorisme. AKURAT.CO/Sopian | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, Bukan hanya dalam dunia sepak bola, gaya ofensif (menyerang) diperagakan. Dalam percaturan politik pun sama, gaya ofensif terkadang menjadi senjata yang ampuh, untuk melumpuhkan lawan politik.
Dunia sepak bola, tak jauh beda dengan dunia politik. Jika dalam sepak bola, gaya ofensif menjadi andalan, untuk menggolkan bola ke pihak lawan. Dalam dunia politik, kampanye dengan gaya menyerang dilakukan untuk memenangkan pertarungan Pemilu.
Selain strategi ofensif, dalam sepak bola dikenal pula strategi defensif (bertahan). Tidak harus selalu ofensif, untuk memenangkan pertandingan. Sesekali perlu melakukan gaya defensif, agar pihak lawan stres dan tidak bisa menjebol gawang. Di saat memperagakan permainan defensif, namun jangan lupa juga, melakukan counter attack, agar kesebelasan lawan lengah, kalang kabut, lalu bisa mencetak gol.
Dalam dunia politik, strategi defensif tidak berlaku. Karena jika lawan politik, menyerang dengan hoaks, fitnah, dan pembusukan, yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, maka akan sulit menepis dan mengklarifikasinya. Jadi gaya defensif, dalam politik merupakan gaya usang, jadul, dan tak menguntungkan.
baca juga:
Lihat saja, bagaimana gaya ofensif Donald Trump dengan gaya kampanye ala-Rusianya, mampu mengalahkan Hillary Clinton, dalam pemilihan Presiden Amerika tahun 2016 yang lalu. Belajar dari kasus Pilpres Amerika tersebut, Indonesia juga sedang mengalami hal yang sama. Kampanye Pilpres diwarnai dan didominasi kampanye ofensif yang masif.
Kampanye ofensif Prabowo-Sandi, hampir-hampir menjungkir balikan logika berpikir masyarakat. Tak ada kata lain, suka tidak suka, senang tidak senang, untuk melawan petahana, pasangan Prabowo-Sandi harus bermain terbuka, agresif, dan ofensif.
Petahana memang memiliki keunggulan. Karena prestasi kerjanya bisa terlihat dan dapat dinilai oleh masyarakat. Jika tingkat kepuasan kinerja Jokowi, dalam lima tahun terakhir, dianggap baik oleh masyarakat, maka untuk menghancurkan citranya, agar jelek dan jatuh di mata pemilih, maka harus diserang.
Dan inilah yang sedang terjadi, dalam ruang kampanye saat ini. Kritikan yang keras, kencang, tajam, dan pedas menyasar Jokowi-Ma’ruf, dari mulai persoalan utang negara, import, penguasaan aset di tangan segelintir orang, Indonesia akan bubar di 2030, isu PKI, anti-Islam, dan pro China yang dituduhkan kepada Jokowi, menjadikan pemerintah bereaksi. Menjadikan petahana mengklarifikasi. Dan menjadikan Jokowi, agak sedikit agresif dan ofensif.
Di politik, gaya ofensif tidak bisa dihadapi dengan gaya defensif. Karena jika lawan politik bermain ofensif, lalu petahana bergaya defensif, maka kubu lawanlah yang akan diatas angin. Gaya kampanye ofensif harus pula dihadapi dan dilawan dengan gaya ofensif. Jika gaya ofensif direspons dengan gaya defensif, maka petahana akan kerepotan.
Bagaimana pun isu-isu dan tuduhan-tuduhan, benar atau salah, baik atau tidak, perlu diklarifikasi dan harus clear. Jika isu-isu yang berkembang dan tuduhan-tuduhan yang masif, serta membabi buta tidak diklarifikasi, maka akan menjadi sebuah kebenaran. Ya, akan menjadi sebuah kebenaran. Dan jika sudah menjadi kebenaran, maka sulit untuk menangkis dan mengcounter isu-isu dan tuduhan-tuduhan tersebut.
Gaya oposisi yang ofensif, memang harus dicounter dan dilawan dengan ofensif pula. Karena ofensifitas kedua kubu, akan beradu pada ruang publik. Dan biarlah publik yang akan menilai. Namun kampanye jual beli serangan, antar kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, tidak membuat politik semakin panas.
Gaya ofensif memang lebih menguntungkan kaum oposan. Karena bergerak untuk melawan dan menghancurkan incumbent. Kinerja incumbent yang dianggap baik, jika terus menerus diserang dengan isu-isu hoaks, maka bisa saja akan kerepotan dan kedodoran, dan bisa berujung kekalahan.
Kampanye ofensif Jokowi, memang agak terlihat tidak seperti biasanya. Gayanya yang sederhana dan santai. Tiba-tiba banyak mengeluarkan peluru untuk menyerang kaum oposisi. Gaya ofensif Jokowi tidak dilarang dan tidak juga salah. Karena disaat oposisi menyerang dan itu sudah dilakukan sejak lama, maka satu-satunya cara dan satu-satunya jalan untuk menghadapi mereka, dengan cara menyerang balik. Bukan dengan cara diam dan bertahan.
Jika Jokowi defensif, maka akan terlihat lemah dan bisa kalah. Oleh karena itu, bergaya agresif dan ofensif dalam berkampanye, merupakan suatu keniscayaan, jika incumbent masih ingin bertahan, dan jika ingin menang pada pertarungan Pilpres, 17 April 2019 mendatang.
Tak agresif dan tak ofensif akan merugikan Jokowi. Melakukan counter attack kepada pihak oposisi, adalah merupakan kewajaran dan sangat rasional. Diam atau bergaya defensif, berarti sama saja dibully tanpa melawan, dihakimi tanpa membela, dan difitnah tanpa mengklarifikasi.
Memang gaya ofensif Jokowi, dinilai sebagian orang sebagai bentuk kepanikan. Tapi bukan itu yang sedang diperagakan Jokowi. Jokowi sedang menunjukkan, bahwa dia yang selama ini diam, bangkit, agresif, dan melakukan tindakan ofensif untuk menunjukkan powernya.
Jokowi ingin menunjukkan bahwa dia tidak lemah. Dia kuat. Dia tidak takut pada lawan politiknya. Dan siap menghadapi serangan-serangan politik yang lebih keras, tajam, dan dahsyat.
Politik memang berbeda dalam mengamalkan agama. Jika dalam ajaran agama, serangan lawan via hoaks dan fitnah, harus dihadapi dengan kesabaran, senyuman, dan kita dianjurkan untuk tidak membalas orang yang memfitnah kita.
Namun dalam politik, fitnah dan hoaks harus dilawan. Harus dicounter. Harus diklarifikasi. Jika tidak, maka hoaks dan fitnah akan menjadi kebenaran dalam masyarakat. Jika politik sudah diisi dan dipenuhi dengan fitnah, hoaks, dan kebencian, maka demokrasi akan terdegradasi.
Kampanye ofensi terkadang sangat diperlukan untuk mencegah agresivitas dan ofensivitas serangan lawan. Gaya ofensif lawan dalam berkampanye tidak bisa dihadapi dengan cara defensif dan ala kadarnya.
Melihat gaya kampenye kedua kubu, yang sama-sama menggunakan gaya kampanye tentu akan semakin menarik. Bukan hanya karena gaya kampanye ofensif yang dianggap membahayakan. Tetapi gaya ofensif sudah menjadi keharusan dan gaya kampanye baru kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Agresif silahkan. Ofensif juga boleh. Tidak ada yang melarang. Asalkan kampanye dengan gaya agresif dan ofensif, bukan untuk menjungkir balikan keadaan, kebencian, dan fitnahan. Bukankah begitu! []