Dilema Peredaran Senjata Perang Amerika di Timur Tengah: Dijual ke Sekutu, Dipakai oleh Musuh

Peralatan perang mutakhir yang dikirim dari Amerika Serikat untuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk perang di Yaman diketahui jatuh ke tangan pihak-pihak lain, termasuk kelompok teroris dan musuh | CNN
AKURAT.CO, Di gang sempit nan kumuh di wilayah Taiz, Yaman, terselip toko-toko senjata ilegal di antara toko-toko pakaian wanita. Jika satu sisi tergantung dagangan jilbab, abaya, dan gaun warna-warni, di sisi lainnya diperdagangkan pistol, granat tangan, dan senapan serbu buatan Amerika Serikat.
Itulah gambaran pasar gelap senjata di Yaman. Meski ilegal, tetap saja aneka jenis senjata ini ramai diperdagangkan, termasuk senjata asal Amerika Serikat.
Senjata ini bahkan bisa dibeli secara perorangan tanpa syarat kepemilikan senjata. Toko lain bahkan bisa menyuplai senjata untuk para militan. Pasar gelap inilah yang turut berkontribusi meningkatkan permintaan akan senjata Amerika berteknologi tinggi. Akibatnya, konflik kekerasan di Yaman tak kunjung berakhir.
baca juga:
Tentu hal ini mencuatkan sebuah pertanyaan: bagaimana bisa senjata mutakhir buatan Amerika ramai beredar ke siapa pun di Yaman?
Dilansir dari CNN, di tahun 2015 lalu, Arab Saudi membuat koalisi untuk mengusir pemberontak Houthi di ibu kota Yaman ini. Perang pun membagi wilayah ini menjadi dua. Aneka senjata perang membanjir untuk menyuplai kubu Arab Saudi. Bukan hanya senapan, ada juga tank antirudal, kendaraan bersenjata, laser pendeteksi panas, dan meriam. Semuanya dijual tanpa aturan yang jelas.

Awalnya, senjata itu disuplai untuk kebutuhan koalisi Arab Saudi. Namun, di tengah kacaunya Yaman, peralatan perang mutakhir itu dijual, dicuri, diserahkan, atau ditinggalkan begitu saja entah dari atau ke kubu mana pun. Tak ada sistem yang bisa melacaknya. Beberapa senjata asal Amerika Serikat pun jatuh ke tangan kelompok-kelompok teroris.
Meski para elite menghadang mereka untuk mendapatkan alat perang, hukum 'rimba' penawaran dan permintaan seketika mampu menghapus larangan itu. Para pemimpin milisi pun punya banyak kesempatan mendapat peralatan militer itu sebagai imbalan ikut membantu memerangi Houthi.
Pasar senjata ini pun berkembang pesat. Mulai dari senapan hingga tank buatan AS, para pedagang mampu memperjualbelikannya dengan harga tinggi.
"Senjata Amerika harganya mahal, tapi banyak dicari," kata salah satu pedagang di sana.
Di tengah kekacauan perang, Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) memutuskan maju ke garis depan di Taiz tahun 2015 silam. Mereka menjalin alienasi menguntungkan dengan milisi pro-Saudi.
Salah satu milisi AQAP, Abu Abbas, kini punya kendaraan lapis baja Oshkosh buatan AS. Padahal, di tahun 2017, pria itu dinyatakan sebagai teroris oleh AS. Namun, kelompok itu masih menikmati dukungan dari koalisi Saudi.
Sementara itu, terdapat kuburan peralatan militer buatan AS yang dibuang di titik pergolakan di kota pelabuhan Hodeidah. Padahal, jelas-jelas wilayah itu diduduki oleh Alwiyat al Amalqa dari Brigade Giants, milisi Salafi atau ultrakonservatif Sunni.
Sekitar setengah lusin kendaraan antiranjau 'terparkir' di sana. Hampir semuanya dilabeli milik Brigade Giants. Padahal, salah satunya masih berlabel ekspor yang menunjukkan dikirim dari Texas ke Abu Dhabi, UEA. Nyatanya, kendaraan perang itu kini berada di tangan milisi.
Kendaraan itu bukanlah kendaraan biasa. Kendaraan lapis baja itu diklaim mampu menahan tembakan senjata balistik, ledakan ranjau, dan alat peledak mutakhir.
Di sisi lain, Departemen Pertahanan AS menegaskan kalau pihaknya belum memberikan izin kepada Arab Saudi atau UEA untuk menyerahkan persenjataan AS ke kelompok lain di lapangan.

"Amerika Serikat belum mengizinkan Arab Saudi atau Uni Emirat Arab untuk memberikan peralatan apa pun ke pihak lain di Yaman. Pemerintah belum bisa mengomentari lebih lanjut terkait masih dilakukannya investigasi atas laporan pelanggaran ini," kata juru bicara Pentagon, Johnny Michael.
Tak hanya AQAP dan Brigade Giants, persenjataan perang mutakhir ini diketahui juga jatuh ke tangan musuh utama, Houthi. Pada September 2017, saluran TV yang dikelola Houthi menyiarkan gambar pemimpin pemberontakan mereka, Mohammed Ali al-Houthi, dengan bangganya duduk di atas kendaraan lapis baja itu.
Peralatan perang seperti ini dirampas di medan perang lalu diperiksa oleh intelijen Iran. Menurut seorang anggota Houthi, ada bagian yang dikenal dengan sebutan Pasukan Keamanan Pencegahan. Unit ini bertugas mengawasi perpindahan teknologi militer dari dan ke Teheran.
"Intelijen Iran memeriksa teknologi perang AS dengan sangat cermat. Semua senjata itu pasti ditelusuri detailnya, misalnya terbuat dari apa dan bagaimana cara kerjanya," kata narasumber yang tak mau disebutkan namanya.
Menurut laporan lembaga Conflict Armament Research, pasukan Houthi di Yaman ternyata sudah memproduksi massal senjata peledak mutakhir.
Sementara itu, anggota Dewan Politik Houthi, Hiram Al Assad, membantah adanya Pasukan Keamanan Pencegahan.
Carut-marut peredaran senjata perang ini tentu menyebabkan perang tak berujung. Puluhan ribu nyawa melayang akibat konflik, termasuk anak-anak. Jutaan orang pun menderita kelaparan.
Diperkirakan ada 200 kasus kurang gizi di desa Tohta, daerah garis depan yang dikelilingi meriam dan mortir di pantai Laut Merah, dekat Hodeidah.
Di sisi lain, terlalu banyak tokoh politik yang kuat dan figur-figur kunci yang dimakmurkan oleh konflik ini melalui perdagangan senjata. Akibatnya, mereka tak berniat menyetujui proses perdamaian yang akan mengancam keuntungan finansial mereka.
Sejauh ini, AS menjadi pemasok terbesar senjata ke Arab Saudi dan UEA. Dukungannya sangat penting bagi kelanjutan perang di Yaman.
Para anggota parlemen AS sendiri sedang mencoba menyusun resolusi untuk mengakhiri dukungan Trump kepada koalisi itu. Sayangnya, orang nomor satu di AS ini menganggap pembatalan kesepakatan bernilai miliaran dolar ini adalah tindakan yang bodoh.
"Saya tidak ingin kehilangan semua investasi yang sudah dibuat untuk kepentingan negara kita sendiri," ujar Presiden Amerika Serikat Donald Trump. []